Essensi kemerdekaan yang dengan keringat darah diraih leluhur, pahlawan dan para pendiri bangsa adalah terbentuknya Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Undang-undang dasar 1945 pasal 33 menjamin hak masyarakat tersebut atas tanah, air, udara dan seisinya agar digunakan untuk kebermanfaatan bersama, guna mencapai tujuan Negara yang berdaulat, adil dan makmur. Kini barisan kalimat di kitab tebal undang-undang dasar itu nampak hanya sebagai slogan dan jargon legitimasi secara yuridis untuk hukum bernegara. Lupa akan essensi, makna, tujuan bahkan sejarah.
Alih-alih mendapat kesejahteraan atau keadilan apalagi berdaulat juga makmur, kita justru disingkirkan dari hak kita sebagai manusia Indonesia. Beban tanggung jawab konsitusional yang dimiliki pemerintah sebagai penyelenggara negara merangkap abdi rakyat nyatanya hanya isapan jempol belaka. Tujuan kesejahteraan pun tak lebih dari embel-embel kebaikan ada pada negara yang terbentuk atas dasar kemaslahatan bagi rakyatnya.
Jika ada yang menyebutkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, mungkin dirinya sedang coba menghibur rakyat dengan kata-kata utopis tentang bagaimana idealnya sebuah negara mengayomi rakyatnya. Pada kenyataannya, Indonesia mungkin hanya didaulat menjadi sebuah negara, guna mengamini keinginan bangsa asing merampas hak rakyat tanpa harus mencederai kesepakatan internasional mengenai penjajahan dan perbudakan di era modern.
Akhir-akhir ini bangsa kita sedang mengalami dilema atas elegi kemanusiaan yang dirasa menjadi beban peradaban. Tentang fenomena negara juga pemimpin bangsa yang dengan sadar meminggirkan rakyat untuk berbagai kepentingan atas nama investasi dan pembangunan. Disatu sisi kita tak boleh menutup mata jika bangsa dan negara ini harus menjadi mercusuar dunia. Jalannya adalah, mengejar pembangunan dengan beratus proyek ambisius yang mencengangkan. Menjanjikan perubahan dan kehidupan yang mungkin akan lebih beradab bagi anak cucu di masa depan.
Tapi di sisi lainnya kita juga tak bisa membisu atas tindakan semena-mena soal kebijakan para pemangku jabatan dalam menyikapi riak dari pembangunan yang berusaha meminggirkan masyarakat secara paksa seringkali tanpa dialog dan menggunakan cara-cara kekerasan, menjadikan masyarakat sebagai tumbal atas nama pembangunan.
Menggusur, merampas hak rakyat, menganiaya siapapun yang melawan, membenturkan antar sesama anak bangsa, militer hadapi sipil, kayu melawan batu, senjata dihadapi dengan katapel, bentakan perintah pamong sipil yang disusul tangis histeris perempuan dan anak-anak, akhirnya meratakan dengan tanah hunian yang mungkin sudah ada sebelum si penggusur lahir. Meniadakan sejarah dan memberangus budaya kehidupan manusia ber-akal. Persis seperti penjajah melawan pribumi yang seringkali disebut sebagai kelompok pemberontak.
Atas hal tersebut, tak kurang akal pemerintah tetap berusaha menunjukkan tajinya dengan alibi jika mereka bukanlah ingin meminggirkan rakyat atau menganiaya dan menambah beban derita rakyat. Mereka ingin menata, agar daerah yang sebelumnya kumuh nan kotor dan menjijikan menjadi lebih baik, lebih mewah, lebih berkelas, lebih elit, lebih mahal harganya dan terjadilah perselingkuhan antara pengusaha dengan pemerintah. Pemerintah telah menjual kemanusiaan rakyatnya pada kekuatan modal pengusaha, berbisnis dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Seiring berjalannya waktu, kawasan si miskin pada dua atau tiga tahun mendatang disulap menjadi hunian nyaman, aman dan elegan berbentuk apartemen, kompleks rumah mewah dan gedung lain yang menyakiti nurani kemanusiaan, mempertebal dinding kesenjangan antar manusia.
Lantas, sebagai jalan keluar pemerintah datang seperti pahlawan yang baru saja memenangkan pertempuran di medan perang, menawarkan solusi dengan membuatkan barak-barak pengungsi yang dinamakan rumah susun. Selain sebagai solusi hal itu juga dianggap konsekuensi logis dari resiko pembangunan.
Diruang lain sebagian masyarakat yang tak terkena dampak secara langsung, membantu secara moril dan materiil korban aniaya saudara sebangsa. Anggaplah itu sebagai sebuah gerakan solidaritas kemanusiaan sesama anak bangsa.
Selama penderitaan tidak dijadikan objek tendensi politik tertentu, perlawanan dan perjuangan gerakan solidaritas yang berusaha melawan kesewenangan harus terus ada dan menjadi gelora semangat kehidupan berbangsa bernegara pada entitas kemanusiaan.