Dia meniru caraku tersenyum, "Kalau begitu kau tak perlu takutkan apapun,"
Sampai seusai wisuda, satu tahun lalu, aku datang ke sini. Negrimu, Angeline. Dan aku bertemu denganmu. Terus terang aku menyukaimu, tidak seperti terhadapnya. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, seperti ketika aku pertama kali bertemu dengan pacarku dahulu. Pada kelas pertama itu, sebuah keberuntungan yang sangat aku memungutkan pulpenmu yang bergelinding tepat ke bawah bangku yang aku duduki, begitulah pertama kali kau dan aku berkenalan. Dan soal dia, aku tak tahu apa-apa lagi. Sebab sebelum aku meninggalkan Selong, dia mengatakan akan dilamar oleh pacarnya yang selalu jadi bahan pembicaraannya di taman denganku. Sementara aku lagi-lagi harus meminta pacarku bersabar untuk menunggu. "Sepertinya sekarang aku tidak akan kuat lagi," demikian lepas pacarku di bandara.
Angeline, aku belum paham kenapa kau terus menatap bianglala yang disebut-sebut terbesar dan tertinggi di Eropa itu. Mengapa tak kau nikmati saja udara London yang segar dari sungai ini sambil -barangkali- menggenggam tanganku.
"Apa lagi yang mau kau ceritakan dari taman itu, Rumasi?" Kau bertanya.
Ah, Angeline. Taman itu adalah tempat menyenangkan sekaligus menyedihkan buatku. Di taman itu aku tahu bahwa dia sangat mencintai pacarnya (itu aku tahu ketika dia memelukku sambil mengatakan bahwa dia sangat merindukan pacarnya). Tapi aku juga berbahagia sebab itu berarti hubunganku dengan pacarku tidak akan terganggu. Sebab dia hanyalah teman cerita.
"Angeline, banyak sekali yang ingin aku ceritakan. Tapi aku tidak tahu harus menceritakannya seperti apa."
"Dan bagaimana dengan pacarmu?"
Aku diam. Tiba-tiba kota dan lampu-lampu seperti hendak tenggelam. Kenapa kau harus bertanya tentang pacarku. Pacarku telah seperti mata London yang menatap kita dari atas Thames (yang hanya menatap tanpa perasaan, lebih-lebih akan marah, sebab aku masih ingat apa yang diucapkannya di bandara).
"Kenapa kau diam?"
"Barangkali cinta memang harus seperti ini, Angeline."
"Maksudmu?"