Aku pasti diam. Sebab aku mengerti akan ke mana arah bicaranya. Aku selalu berbahagia menerima ajakannya untuk bertemu di taman itu. Atau lebih tepatnya, aku selalu berbahagia menjadikan waktu malu-malu untuk berlalu dengan cerita-cerita yang dia habiskan denganku, seolah aku bukan orang lain, seolah aku bukan orang asing.
"Kita selamanya akan begini, kan?"
"Iya, akan selalu,"
Aku pasti tersenyum, "Kalau begitu kau tidak perlu takutkan apapun."
Sampai di sini, aku harus berhenti melanjutkan cerita. Wajahmu sudah mulai mendung. Kau membuang wajah ke London Eye yang bercahaya. Kapal dengan dek terbuka yang kita tumpangi bergerak lamban sekali, seperti tidak hendak mengusaikan Thames yang romantis. "Kenapa kau diam?" Kau tetap menatap Ferris Wheel. "Tidak apa-apa aku melanjutkan ceritanya?" Kau tetap diam. "Angeline, aku ingin kau benar-benar mengenalku." Kau menatapku, "Lanjutkan, tidak apa-apa."
Lalu kulanjutkan ceritaku...
Dia akan menyeretku untuk duduk di hadapan beberapa swagger yang sedang bermain skate board. Lagi-lagi, belum bisa aku lupa caranya menatapku. Matanya yang sayu itu seperti hendak ikut bicara.
"Pacarmu lambat laun akan tahu soal kita. Dan aku takut." Terus terangnya.
"Kalau begitu aku juga takut. Pacarmu lambat laun akan tahu soal kita."
"Kita selamanya akan begini, kan?"
"Iya, akan selalu,"