***
Fatimah benar-benar menghapus keinginannya untuk kuliah, bahkan jika ayah sudah sembuh. Dia hanya ingin merawat ayah, sebab ayah tidak lagi muda. Ayah akan sering sakit kedepannya karena lelah bekerja sendiri untuk keluarga sejak ibu meninggal. Rencananya, jika ayah sudah sembuh, dia akan bekerja di sawah saja untuk sekadar menyambung hidup. Tidak ada lagi yang perlu dibiayai. Fatimah akan menghapus cita-citanya, toh juga dia hidup bersama rizki terbaiknya. Dia tak butuh cita-cita untuk mengejar rizki lainnya.
Tetapi, ayah tidak juga membaik. Batuknya semakin parah dan terus-terusan, sampai-sampai Fatimah tidak dapat tidur bermalam-malam. Dia juga benar-benar tak sempat lagi mengaji, -bahkan di dalam hati. Fatimah benar-benar sibuk dan tidak bisa memikirkan apapun jika mendengar batuk ayah, seolah dia juga merasakan.
Pemuda yang biasa berlawat ke rumahnya tak pernah lagi datang, sebab jijik terhadap dahak dan darah, juga takut tertular.
"Jangan berhenti membaca Arrahman setelah salat subuh. Rizki bisa hilang," ayah mengatakan itu pada suatu subuh.
"Tidak apa-apa. Pasti Tuhan mengerti," jawab Fatimah lagi. Ayah tidak bisa menimpali, sebab dia akan batuk tiap selesai bicara. "Yang penting ayah sehat saja dulu," Fatimah melanjutkan.
Fatimah menuju dapur dengan mukena subuhnya untuk mengambil air hangat yang diletakkannya di tungku sebelum salat tadi. Ayah memejamkan mata, barangkali dia lelah. Sampai Fatimah kembali, ayah tak juga batuk lagi, barangkali ngantuk membuatnya tidur pulas. Fatimah menuangkan segelas air hangat, juga menumpahkan seluruh air dalam cerek pada sebuah bejana yang setengahnya telah berisi air dingin.
"Bangunlah sebentar dulu ayah, agar saya bisa bukakan baju ayah. Tubuh ayah harus dilap dengan air hangat," ayah masih saja tidur. "Ayah, bangun dulu, tubuh ayah harus dicuci," mata ayah tak kunjung terbuka. Fatimah heran, biasanya mendengar gemercik air saja, ayah langsung bangun untuk menanggalkan pakaian.
Fatimah mengguncang-guncang tubuh ayah pelan, "Ayah," guncangannya semakin keras, tapi ayah tak juga sadar. Wajah ayah begitu pucat dan tenang. Fatimah menyodorkan telunjuknya di bawah lubang hidung ayah untuk memastikan bahwa nafasnya masih berhembus. Bergetar tangan Fatimah. Tidak ada angin lembab menyentuh telunjuknya. "Ayah!" Fatimah mengeraskan suara. Dirasakannya juga nadi ayah tidak lagi berdetak. Fatimah mulai faham. Ayah telah diambil Tuhan. Fatimah menangis dengan tangisan paling lirih yang belum dia lakukan sepanjang hidupnya. Dia mengingat Tuhan.
"Ayah, kau benar. Sekarang Tuhan mengambilmu, rizki terbaikku."
***