Siapa yang tak kenal Fatimah di kampung ini. Jika kau berjalan ke barat sewaktu subuh, kau akan mendengar Fatimah mengaji dari rumahnya yang beratap pandan dan bertembok pagar di dekat persawahan orang-orang kampung. Fatimah setiap pagi membaca Arrahman dengan suara terindah miliknya.
Sejak Fatimah masih ingusan, dia mengaji dengan ayahnya yang buruh tani itu. Mereka hidup berdua di sana. Ibunya meninggal tersengat listrik ketika Fatimah masih bayi. "Kau tahu? Tuhan akan menurunkan rizki jika kita membaca Arrahman setiap subuh," kata ayah dulu. Tapi Fatimah yang lugu itu tak mengerti, dia mengaji sebab tak mau ayah memecutnya dengan lidi.
"Benarkah Tuhan menurunkan rizki sebab kita mengaji, yah?" Fatimah bertanya.
"Benar, Fat."
"Kalau begitu, ayah tak perlu bekerja. Kita mengaji saja sepanjang waktu."
Ayah tersenyum, dengan bersemangat memberi pertanyaan kembali, "Pikirmu tenaga ayah siapa yang memberi?"
"Ayah makan tiga kali sehari."
"Dari mana makanan itu?" Fatimah diam. Yang dia tahu, sayur-sayuran di hadapan mereka adalah apa yang mereka tanam di sawah peninggalan kakek, dan satu kali seminggu mereka harus berhutang satu liter beras dari warung.
"Itu semua dari Tuhan, nak. Dia yang membuat ayah kuat bekerja," ayah menjawab pertanyaannya sendiri, yang jawaban itu tidak sempat dipikirkan Fatimah sebab -menurutnya- ayah tak kuat, tak jarang ayah demam dan tiap malam meminta Fatimah untuk memijatnya.
Fatimah tumbuh menjadi gadis cantik, dia telah menjadi kembang kampung. Kecantikannya membuat ayah Fatimah jarang ke sawah, sebab ada saja pemuda kampung yang membantu Fatimah. Tenaga ayah jadi lebih kuat untuk mengerjakan sawah orang lain yang memberinya upah. "Kau adalah rizki terbaik yang ayah punya," kata ayah suatu hari.
Sejak itu, Fatimah baru yakin bahwa surah Arrahman benar memberikan Rizki bagi keluarganya. Sejak saat itu pula, dia mulai membaca Arrahman tanpa ayah minta. Dan sudah tentu, Fatimah menjadikan ayah sebagai rizki terbaiknya juga.
***
Masa-masa sekolah telah diusaikan Fatimah dengan banyak prestasi. Dia mendapat beasiswa masuk perguruan tinggi dari pemerintah. Tapi hal itu tak membuatnya lantas berbahagia, sebab jika dia pergi ayah akan hidup sendiri. Fatimah tidak akan sanggup jauh dari ayah. Tapi mesti begitu, ayah menyarankan Fatimah untuk mengambil beasiswa itu, "Ayah bisa sendiri," kata ayah yang selalu membuat Fatimah tak tahan untuk menangis.
Di tengah kecilnya hati Fatimah untuk melanjutkan kuliah, ayah sakit parah. Batuknya sering mengeluarkan darah. Karena hal itu, Fatimah selalu tak bisa mengusaikan Arrahman. Ngajinya selalu terhenti sebab harus memasakkan air untuk ayah minum dan mandi. Dia sama sekali tak ingin terlambat melayani ayah.
"Ngajinya selalu setengah, Fatimah." Ayah berkata.
"Tidak apa-apa. Pasti Tuhan mengerti," jawab Fatimah selalu.
"Bagaimana dengan melanjutkan kuliah?"
Fatimah diam.
"Maaf. Ayah menyulitkan jalanmu," yang kemudian disambut dengan bantuan Fatimah mengelap air mata ayah. Fatimah juga mengelap air matanya sendiri dengan mukena yang dia kenakan.
"Yang penting ayah sehat saja dulu," ucap Fatimah dengan suara hampir tenggelam oleh isaknya sendiri.
Fatimah sempat berulang kali hendak membawa ayah ke rumah sakit, "Rumah sakit hanya mengecilkan hati kita, Fatimah. Kau tahu ayah sakit parah, itu sudah cukup. Ayah tak perlu obat, Fatimah. Ayah tak perlu." Tolak ayah, membuat Fatimah tak lagi memaksa ayah.
Watak ayah memang begitu. Dia sangat abai terhadap kebutuhannya sendiri. Seperti misalkan ketika ayah menuruti kemauan Fatimah agar dibelikan seragam sekolah. "Sudah, jangan menangis. Besok ayah belikan", ucapnya, padahal uang itu telah dia niatkan terlebih dahulu untuk membeli koko baru.
***
Fatimah benar-benar menghapus keinginannya untuk kuliah, bahkan jika ayah sudah sembuh. Dia hanya ingin merawat ayah, sebab ayah tidak lagi muda. Ayah akan sering sakit kedepannya karena lelah bekerja sendiri untuk keluarga sejak ibu meninggal. Rencananya, jika ayah sudah sembuh, dia akan bekerja di sawah saja untuk sekadar menyambung hidup. Tidak ada lagi yang perlu dibiayai. Fatimah akan menghapus cita-citanya, toh juga dia hidup bersama rizki terbaiknya. Dia tak butuh cita-cita untuk mengejar rizki lainnya.
Tetapi, ayah tidak juga membaik. Batuknya semakin parah dan terus-terusan, sampai-sampai Fatimah tidak dapat tidur bermalam-malam. Dia juga benar-benar tak sempat lagi mengaji, -bahkan di dalam hati. Fatimah benar-benar sibuk dan tidak bisa memikirkan apapun jika mendengar batuk ayah, seolah dia juga merasakan.
Pemuda yang biasa berlawat ke rumahnya tak pernah lagi datang, sebab jijik terhadap dahak dan darah, juga takut tertular.
"Jangan berhenti membaca Arrahman setelah salat subuh. Rizki bisa hilang," ayah mengatakan itu pada suatu subuh.
"Tidak apa-apa. Pasti Tuhan mengerti," jawab Fatimah lagi. Ayah tidak bisa menimpali, sebab dia akan batuk tiap selesai bicara. "Yang penting ayah sehat saja dulu," Fatimah melanjutkan.
Fatimah menuju dapur dengan mukena subuhnya untuk mengambil air hangat yang diletakkannya di tungku sebelum salat tadi. Ayah memejamkan mata, barangkali dia lelah. Sampai Fatimah kembali, ayah tak juga batuk lagi, barangkali ngantuk membuatnya tidur pulas. Fatimah menuangkan segelas air hangat, juga menumpahkan seluruh air dalam cerek pada sebuah bejana yang setengahnya telah berisi air dingin.
"Bangunlah sebentar dulu ayah, agar saya bisa bukakan baju ayah. Tubuh ayah harus dilap dengan air hangat," ayah masih saja tidur. "Ayah, bangun dulu, tubuh ayah harus dicuci," mata ayah tak kunjung terbuka. Fatimah heran, biasanya mendengar gemercik air saja, ayah langsung bangun untuk menanggalkan pakaian.
Fatimah mengguncang-guncang tubuh ayah pelan, "Ayah," guncangannya semakin keras, tapi ayah tak juga sadar. Wajah ayah begitu pucat dan tenang. Fatimah menyodorkan telunjuknya di bawah lubang hidung ayah untuk memastikan bahwa nafasnya masih berhembus. Bergetar tangan Fatimah. Tidak ada angin lembab menyentuh telunjuknya. "Ayah!" Fatimah mengeraskan suara. Dirasakannya juga nadi ayah tidak lagi berdetak. Fatimah mulai faham. Ayah telah diambil Tuhan. Fatimah menangis dengan tangisan paling lirih yang belum dia lakukan sepanjang hidupnya. Dia mengingat Tuhan.
"Ayah, kau benar. Sekarang Tuhan mengambilmu, rizki terbaikku."
***
Itu cerita Fatimah, anak tetanggaku. Jika kau benar-benar ingin mengambil Fatimah sebagai istri, mantapkanlah niatmu. Kau sendiri terlihat seperti orang berada yang baik hati. Esok lusa bawalah walimahmu ke rumahnya, untuk menyampaikan niatmu di hadapannya. Mudah-mudahan, kalian saling suka. Buatlah Fatimah menjadikanmu rizki terbaik setelah ayahnya.
Lombok Timur, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H