***
Masa-masa sekolah telah diusaikan Fatimah dengan banyak prestasi. Dia mendapat beasiswa masuk perguruan tinggi dari pemerintah. Tapi hal itu tak membuatnya lantas berbahagia, sebab jika dia pergi ayah akan hidup sendiri. Fatimah tidak akan sanggup jauh dari ayah. Tapi mesti begitu, ayah menyarankan Fatimah untuk mengambil beasiswa itu, "Ayah bisa sendiri," kata ayah yang selalu membuat Fatimah tak tahan untuk menangis.
Di tengah kecilnya hati Fatimah untuk melanjutkan kuliah, ayah sakit parah. Batuknya sering mengeluarkan darah. Karena hal itu, Fatimah selalu tak bisa mengusaikan Arrahman. Ngajinya selalu terhenti sebab harus memasakkan air untuk ayah minum dan mandi. Dia sama sekali tak ingin terlambat melayani ayah.
"Ngajinya selalu setengah, Fatimah." Ayah berkata.
"Tidak apa-apa. Pasti Tuhan mengerti," jawab Fatimah selalu.
"Bagaimana dengan melanjutkan kuliah?"
Fatimah diam.
"Maaf. Ayah menyulitkan jalanmu," yang kemudian disambut dengan bantuan Fatimah mengelap air mata ayah. Fatimah juga mengelap air matanya sendiri dengan mukena yang dia kenakan.
"Yang penting ayah sehat saja dulu," ucap Fatimah dengan suara hampir tenggelam oleh isaknya sendiri.
Fatimah sempat berulang kali hendak membawa ayah ke rumah sakit, "Rumah sakit hanya mengecilkan hati kita, Fatimah. Kau tahu ayah sakit parah, itu sudah cukup. Ayah tak perlu obat, Fatimah. Ayah tak perlu." Tolak ayah, membuat Fatimah tak lagi memaksa ayah.
Watak ayah memang begitu. Dia sangat abai terhadap kebutuhannya sendiri. Seperti misalkan ketika ayah menuruti kemauan Fatimah agar dibelikan seragam sekolah. "Sudah, jangan menangis. Besok ayah belikan", ucapnya, padahal uang itu telah dia niatkan terlebih dahulu untuk membeli koko baru.