Mohon tunggu...
Eyok Elabrorii
Eyok Elabrorii Mohon Tunggu... Penulis - penulis fiksi

Penulis yang mencintai blues dan air mineral.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tidak Ada Hujan November ini

20 Oktober 2020   19:38 Diperbarui: 20 Oktober 2020   22:34 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: iluszi.blogspot.com

Hari semakin terik. Hawa panas di aula mulai terasa meskipun angin tetap saja sepoi seperti kebanyakan bangunan agama lainnya. Bangunan-bangunan agama memang seperti itu, sematahari apapun panasnya ia akan tetap sejuk, kata Tuan Guru, itu disebabkan oleh Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa tempat-tempat semacam itu adalah bagian dari taman-taman surga.

Ojan membayangkan kalau-kalau Tuan Guru mengetahui kehamilan Aziza. Lamaran itu akan semakin kecil kemungkinannya untuk diterima sebab agama tidak membenarkan anak luar nikah bernasab dengan lelaki yang menghamili ibunya tanpa akad. Tuan guru pastilah menolak lamaran itu.

***

Zuhur sudah berkumandang di masjid pesantren. Ojan sudah benar-benar yakin bahwa Aziza tidak mungkin bercanda, walaupun tadi dia sempat berharap bahwa ini hanyalah permainan Aziza, nanti Aziza akan memberikan kejutan bahwa ini hanyalah sebagai peringatan anniversary mereka sambil membawa kue tart. Akan tetapi segera dia patahkan, sebab mereka tidak pernah bepacaran, juga tidak mungkin melakukan perayaan semacam itu di pesantren. Bahkan Ojan tidak khusyuk dalam salat. Dia gemetar di belakang Tuan Guru yang mengimami. Lantunan al-lahab dalam shalat itu diartikannya sebagai ayat kutukan yang menggelegar mengecam dirinya.

Ketidaktenangannya terus berlanjut setiap hari. Di kelas, dia hanya masuk mengabsen santri, kemudian memberi salah satunya buku untuk dicatat di papan tulis. Ah, bayangkan jika seluruh ustadz mengalami masalah seperti yang dihadapi Ojan, tentu pabrik kapur tulis dan spidol akan semakin maju. Juga, jika ada kesalahan kecil saja dari santri, Ojan akan marah-marah. Santri yang pada awalnya menyukai Ojan sekarang harus menemukan Ojan dengan tingkah yang berbeda sama sekali.

Hingga pada suatu malam, Ojan dipanggil oleh Tuan Guru ke rumahnya pada dua minggu setelah kejadian yang meresahkan Ojan dan menyedihkan Aziza itu. Tidak seperti biasanya, kali ini Tuan Guru duduk dengan tatapan tajam. Tidak ada senyum malam itu. Tuan guru menggebrak meja, “Demi Allah, ente laknat terbesar dalam keluarga kami!” Tuan guru membuka tegang yang gamang dengan sumpah itu. “Bagaimana sekarang caranya aku menyelesaikan masalah ini. Bunga milikku satu-satunya telah ente matikan”. Di luar, santri yang baru pulang mengaji terkejut mendengar gelegar suara Tuan Guru yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya.

“Ente ndak ingat gimana ana mengandalkanmu. Apakah ente tidak memikirkan betapa sulitnya jadi aku?!” Karena Tuan Guru berhenti bicara, Ojan benar-benar berpikir, apa susahnya jadi tuan guru? Bukankah Tuhan sendiri menjamin hidupnya behagia dunia-akhirat? Rumahnya semewah ini, satu mobil serta tiga motor sudah terparkir di bagasi, keluar halaman rumah saja sudah disambut para santri, dan lebih lanjut, orang-orang akan patuh terhadap segala titiahnya, dan nabi sendiri berucap bahwa tuan guru adalah pewarisnya. Hingga tuan guru melanjutkan bicara, “Asal ente tahu saja Ojan, lamaran ente telah aku rencanakan untuk aku terima. Tapi sekarang hukum agama mengharamkan kalian bersatu.” Mendengar itu, Ojan tertunduk menangis. Bukan mengis karena tekanan keadaan, melainkan karena dia telah mematahkan kepercayaan Tuan Guru atas Aziza. Tuan Guru benar-benar memandangnya sebagai orang suci, ustadz-ustadz, dan bahkan sesama tuan guru yang raden tidak masuk rencana berbahagia itu.

“Sekali lagi, apa ente ndak memikirkan betapa sulitnya jadi aku jika berita ini tersebar. Ente akan membunuh kepercayaan para santri beserta keluarganya terhadapku. Kita harus menyembunyikan kehamilan ini, Ojan. Tapi agama melarang kita berbuat demikian. Aku tidak ingin ikut berbuat dosa karena ulah ente dan Aziza. Aku tidak ingin menipu pelamar yang lain dengan menerima mereka sebagai tumbal atas nafsu binatang kalian.”

Keadaan terus tegang dan hening, di luar terlihat para santri sudah berkumpul mendengar kegaduhan Tuan Guru, ada yang beristigfar berkali-kali, ada yang hanya tertunduk, ada yang berteriak “Rajam!”, ada yang menangis, ada yang mengumpat, dan ada yang merekam kejadian itu barangkali sekadar untuk instasory, sebelum akhirnya dengan dingin dan gemetar Tuan Guru mengatakan, “Besok pagi kalian harus dirajam.”

Ojan semakin menunduk, suhu ruangan itu terasa semakin meninggi, tidak ada angin sepoi, AC hanya meniupkan sisa-sisa panas matahari yang seharian memanggang kepala. Dan hatinya mengatakan sesuatu kepada Aziza, “Tidak ada hujan November ini, Lale Aziza. Barangkali sebab kita. Barangkali sebab norma.”

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun