Para pembaca tentu akan bertanya-tanya, apa dasar penulis menghakimi Megawati sebagai dalang terjadinya hiruk pikuk pilitik belakangan ini.
Jawabannya mudah saja. Kekacauan poklitik akhir-akhir ini akibat dari tandak-tanduk Jokowi. Adapun keberhasilan Jokowi memenangkan pilpres dan menjadi presiden, sebagian besar lantaran dukungan dari  Megawati dan PDIP. Munculnya ungkapan, 'petugas partai,' serta 'tanpa PDIP, Jokowi bukan siapa-siapa' adalah petunjuk nyata bahwa tindakan baik dan buruknya Pak Joko atas inisiasi dari Megawati. Terlebih, di saat Jokowi ugal-ugalan, Mega serta PDIP tak bergeming.
Sebagai pengusung presiden, Mega dan PDIP bertanggung jawab atas perilaku Presiden. Tatkala Presiden dianggap sudah menyimpang, melawan hukum, Mega dan PDIP musti melakukan tindakan nyata untuk 'menghentikannya'. Sebagai partai penguasa, PDIP itu mampu melakukannya.
Sayangnya, yang bisa kita cermati Mega dan PDIP hanya melontarkan kritik. Itu pun sebatas mengumbar kebobrokan pemerintah dalam kampanye. Demi meraih dukungan yang besar serta memenangkan jagoannya dalm pilpres, lantas membangun narasi Jokowi berhianat pada negara, Megawati dan PDIP, dengan membelot mendukung Prabowo. Menciptakan kesan seolah-olah Gerindra sebagai partai penguasa.Â
Partai politik memiliki peran mengawasi pemerintah, salah satunya dengan menyampaikan kritik. Akan tetapi, tidak hanya berhenti di situ. sekali lagi, harus ada tindakan nyata. Jika sebatas kritik, cukuplah jadi pengamat atau kritikus politik. tidak perlu bernaung di bawah partai politik.Â
Megawati dan PDIP telah mengantarkan Jokowi duduk di kursi presiden. Kita juga tidak bisa menganggap waras orang dan partai menjelek-jelekan Presiden yang telah diusungnya sendiri. Tapi tulisan ini juga bukan pembelaan kepada Prabowo, yang  dengan bangga berkata dalam sebuah kesempatan, "Kami adalah timnya pak Jokowi". Tanpa menyadari dirinya sedang dihancurkan
(lagu penutup: Symphony of Destruction by Megadeth)