Mohon tunggu...
Mamuth
Mamuth Mohon Tunggu... Full Time Blogger - teman bagi jiwa-jiwa yang bersahabat

kali, pagi, dan mentari

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Megawati, Penulis Naskah dan Sutradara Drama Konoha

10 Februari 2024   15:20 Diperbarui: 10 Februari 2024   15:21 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(musik pembuka: Master of Puppets oleh Metallica)

Drama Konoha sudah dimulai beberapa saat setelah digulingkannya orde baru. Era reformasi  memberikan ruang seluas-luasnya bagi lahirnya banyak partai politik. Beberapa diantaranya kemudian menjelma menjadi kerajaan-kerajaan kecil di dalam negara republik. Para pendiri partai  berperan sebagai pemilik sekaligus penguasa atas partai yang dibentuknya. Setiap lima tahun sekali, masing-masing parpol menyelenggarakan kongres atau munas partai, dengan salah satu agendanya yakni melaksanakan pemilihan ketua umum. Namun dalam faktanya, hanya sebatas formalitas saja. Toh pada hasilnya, petahana yang merupakan motor parpol akan kembali terpilih. Bahkan seringkali secara aklamasi. Bisa dibilang, rezim telah terjadi di tubuh beberapa parpol.

Sebut saja Surya Paloh bagi Nasdem, Prabowo di Gerindra, Hary Tanoesoebdijo pada Perindo, dan Megawati Putri Soekarno dengan PDI Perjuangannya.

Bukan mustahil bila di masa depan kepemimpinan partai-partai politik tersebut akan jatuh pada anak cucu pendirinya, seperti yang telah terjadi pada partai Demokrat. Dalam hal ini kita bisa melihat, partai-partai politik itu sebagai aset atau perusahaan keluarga.

Dari beberapa tokoh yang dituliskan di atas, yang memiliki kiprah panjang dalam perpolitikan tanah air, dan paling menonjol sehingga layak untuk disoroti, ialah Megawati. Tentu saja bukan Megawati Hangestri yang gambarnya dicuplik di muka, melainkan Megawati putri proklamator yang menjadi ketum PDIP.

Megawati sudah mencuri perhatian sejak mulai terjun ke pentas politik di masa orde baru. Bergabungnya Megawati dengan PDI dan pencalonannya sebagai anggota dewan memunculkan kehawatiran bagi penguasa saat itu, hingga melahirkan peristiwa kuda tuli. Tidak heran, setelah Soeharto tumbang, Nama Megawati semakin melambung. Dicalonkan (atau mencalonkan diri?) sebagai presiden, dan terpilih menjadi wakil presiden bagi KH. Abdurrahman Wahid. Lalu lewat upaya pemakzulan, Megawati berhasil menggeser GusDur di kursi presiden.

Meski sesudah masa jabatannya habis, Megawati tidak terpilih kembali menjadi presiden, tapi ia masih memainkan peranan penting dalam politik negeri ini. Bahkan sampai hari ini, termasuk dalam pemilihan presiden yang akan dihelat beberapa hari ke depan.

Kalah bersaing dengan Susilo Bambang Yudhoyono (yang terpilih untuk dua periode), sebetulnya Mega masih punya kesempatan untuk bersaing dalam kontestasi berikutnya. Namun ia lebih tertarik untuk bertahta di belakang layar. Pada pemilu 2014, Mega memilih mengusung Jokowi sebagai calon presiden, mantan walikota solo yang mencuri perhatian publik dengan memenangkan pemilihan Gubernur DKI.

Tentu ada beberapa pertimbangan bagi Mega dalam mengusung Pak Joko. Pengalaman pastinya menjadi pelajaran paling berharga. Walau partainya meraih suara terbesar pada pemilu 1999, Megawati masih kalah dari Gusdur yang perolehan suara partainya lebih kecil. Begitupula di pilpres tahun 2004, Megawati juga tidak bisa mengungguli SBY (dan terpilih kembali pada 2009) yang tidak lain merupakan mantan anak buahnya. Mungkin kekalahan-kekalahan ini membuat Mega berpikir bahwa dia sebenarnya tidak dikehendaki oleh mayoritas publik

Di samping rentetan kekalahan itu, yang menjadi pertimbangan bagi Megawati bahwa Joko Widodo merupakan sosok pekerja keras dan berkarakter penurut. Keberhasilannya memenangkan pemilihan Gubernur DKI dengan gaya blusukanya, menarik simpatik seantero negeri. Kans untuk memenangkan Presiden sangat terbuka lebar. Lantas dengan pembawaan Jokowi yang manut, membuat Megawati  leluasa untuk mengendalikannya. Seandainya Pak Joko terpilih, Ibu Mega masih bisa berkuasa dari balik dinding.

Seberapa manut Joko Widodo, kita bisa menyaksikan sikapnya  lewat tangkapan layar yang tersebar di media. Manakala bertemu Megawati ia membungkukan badan lalu mencium tangannya. Bagaimana Megawati berkuasa, kita mendengar ungkapannya "Jokowi sebagai petugas partai." Bahkan belakangan muncul lagi, "tanpa PDIP, Pak Joko bukan siapa-siapa."

Harus diakui, Kemenangan Jokowi atas Prabowo dalam pilpres 2014 merupakan keberhasilan dari Megawati. Terutama sikap legowonya. Andai saja Mega ngotot mencalonkan diri, mungkin dia akan kalah. Demikianpula pada periode berikutnya. Skema kuat dari Megawati membuat Praboeo tidak bisa mendongkel Jokowi di tahun 2019. Megawati menekan Jokowi, sebagai petugas partai, untuk bekerja dengan baik di periode pertamanya. Gencar membangun infrastruktur, blusukan ke pelosok tanah air, bikin kuis, bagi-bagi hadiah, sertifikat tanah, serta lain-lain supaya rakyat puas dan memilihnya kembali.

Megawati juga membuat skenario agar pemilihan terjadi Head to Head lagi antara Jokowi dengan Prabowo. Caranya ialah menyingkirkan orang-orang yang disinyalir bisa menjadi pesaing Jokowi. Misalnya memecat menteri yang kinerjanya menyedot perhatian publik.

Manakala upayanya berhasil, Jokowi terpilih untuk keduakalinya, Megawati bersiap untuk menyongsong 2024. Dengan perolehan suara Prabowo pada kedua pilpres sebelumnya sebagai patoakan, Megawati memprediksi Prabowo akan melenggang sebagai presiden 2024. Buat mengagalkannya, Megawati menyusun strategi yang radikal: hancurkan Prabowo!.

Pertama, Jokowi merangkul Prabowo serta Gerindra ke dalam koalisi. Lalu menjebak kroni Prabowo dengan korupsi.

Kedua, Jokowi disetir untuk melakukan tindakan-tindakan yang kontroversi. Menimbulkan antipati publik, hingga memantik kemarahan banyak pihak.  Mulai dari gagasan tiga periode, membuat pernyataan yang bertentangan dengan yang pernah disampaikan sebelumnya, sikapnya yang tidak netral (cawe-cawe), hingga mangutak-atik undang.

Kemudian, di tengah masyarakat yang merasa jengah (ditandai dengan gelombang demonstrasi mahasiswa), Jokowi secara terang-terangan memberikan dukungan penuh kepada  Prabowo. Dengan begitu, diharapkan membuat rakyat malas untuk memilih Prabowo dan mengalihkan dukungannya kepada boneka Megawati selanjutnya, Ganjar Pranowo.

Taktik itu sebagian sudah berjalan. Banyak penggemar Prabowo yang menarik dukungan. Namun tidak sesuai dengan harapan. Mereka tidak mengalihkan pilihannya kepada Ganjar, melainkan kepada calon yang di luar dugaan Megawati, Anies Baswedan. Ya, pencalonan Anies dalam pilpres tidak ada dalam hitungan Bu Mega. Anies Baswedan menjadi gubernur DKI berkat dukungan partai Gerindra. Sangat wajar bila dipredeksi, Anies akan maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo.

Terlepas dari di luar expektasi, kemunculan Anies membawa angin segar buat Megawati. Sukur-sukur Ganjar yang menang. Karena itu akan melanggengkan kekusaannya. Seandainya bukan Ganjar, tidak mengapa Anies yang teripih. Yang penting bukan Probawo yang menang. Sebab itu akan mengancam Soekarno yang nama baiknyasudah dipulihkan. Melalui peringatan bulan Bung Karno yang lebih besar dari perayaan hari lahir Pancasila, maupun pembangunan banyak patung Pak Koesno di hampir semua daerah. 

Anda tahu, mengapa Megawati sangat menginginkan Prabowo kalah. Sederhana saja alasannya. Pak Karno dilengserkan dan disingkirkan oleh Pak Harto. Sedang Prabowo menantu dari Pak Harto. Makanya jangan sampai Prabowo menang, karena kemenangan Prabowo akan berarti kekalahan bagi keluarga Soekarno. Seandainya Prabowo menang, Megawati masih punya skema terburuk,  yaitu dengan memasang Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo. Nantinya, Gibran akan menjadi kepanjangan tangan jokowi untuk mengendalikan Prabobowo. Yang mana Jokowi sendiri merupakan boneka Megawati. Alhasil, Megawati adalah tuan yang gaib bagi Praboeo. Atau, setidaknya Gibran akan berperan menjadi orang yang  mengawasi permerintahan dari dalam. Sekaligus persiapan jika Prabowo 'berhenti di tengah jalan'.

Apa Dasarnya?

Para pembaca tentu akan bertanya-tanya, apa dasar penulis menghakimi Megawati sebagai dalang terjadinya hiruk pikuk pilitik belakangan ini.

Jawabannya mudah saja. Kekacauan poklitik akhir-akhir ini akibat dari tandak-tanduk Jokowi. Adapun keberhasilan Jokowi memenangkan pilpres dan menjadi presiden, sebagian besar lantaran dukungan dari  Megawati dan PDIP. Munculnya ungkapan, 'petugas partai,' serta 'tanpa PDIP, Jokowi bukan siapa-siapa' adalah petunjuk nyata bahwa tindakan baik dan buruknya Pak Joko atas inisiasi dari Megawati. Terlebih, di saat Jokowi ugal-ugalan, Mega serta PDIP tak bergeming.

Sebagai pengusung presiden, Mega dan PDIP bertanggung jawab atas perilaku Presiden. Tatkala Presiden dianggap sudah menyimpang, melawan hukum, Mega dan PDIP musti melakukan tindakan nyata untuk 'menghentikannya'. Sebagai partai penguasa, PDIP itu mampu melakukannya.

Sayangnya, yang bisa kita cermati Mega dan PDIP hanya melontarkan kritik. Itu pun sebatas mengumbar kebobrokan pemerintah dalam kampanye. Demi meraih dukungan yang besar serta memenangkan jagoannya dalm pilpres, lantas membangun narasi Jokowi berhianat pada negara, Megawati dan PDIP, dengan membelot mendukung Prabowo. Menciptakan kesan seolah-olah Gerindra sebagai partai penguasa. 

Partai politik memiliki peran mengawasi pemerintah, salah satunya dengan menyampaikan kritik. Akan tetapi, tidak hanya berhenti di situ. sekali lagi, harus ada tindakan nyata. Jika sebatas kritik, cukuplah jadi pengamat atau kritikus politik. tidak perlu bernaung di bawah partai politik. 

Megawati dan PDIP telah mengantarkan Jokowi duduk di kursi presiden. Kita juga tidak bisa menganggap waras orang dan partai menjelek-jelekan Presiden yang telah diusungnya sendiri. Tapi tulisan ini juga bukan pembelaan kepada Prabowo, yang  dengan bangga berkata dalam sebuah kesempatan, "Kami adalah timnya pak Jokowi". Tanpa menyadari dirinya sedang dihancurkan

(lagu penutup: Symphony of Destruction by Megadeth)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun