Mohon tunggu...
Excelindo Krisna Putra
Excelindo Krisna Putra Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaExcellent

Pengelana Masa • Perekam Peristiwa • Peramu Peradaban | Blog Pribadi: https://excelindokrisnaputra.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

ESTO, Kisah Perusahaan Otobus Pertama di Indonesia

1 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 1 Juli 2023   06:13 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus ESTO Salatiga | Sikano Dinpersip Kota Salatiga

Salatiga menjadi kota penting bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sehingga dirancang dengan konsep kota modern Eropa untuk kenyamanan warganya. Kota ini berperan sebagai kota bermukim warga Belanda, kota perkebunan dengan ditetapkannya afdeeling untuk mendukung sistem cultuurstelsel dan kota militer dengan dibangunnya benteng pertahanan serta penempatan pasukan militer infantri, kavaleri dan artileri Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).

Ditetapkannya Salatiga menjadi Stadsgemeente (kotapraja dengan otonomi terbatas) pada tahun 1917 menjadi tonggak awal transformasi menjadi kota yang modern mengikuti pola pembangunan kota di Eropa masa itu. Kelak pada tahun 1926 statusnya ditingkatkan menjadi Gemeente (kotapraja dengan otonomi penuh). Atas dasar penetapan itu, berbagai fasilitas dan infrastruktur dibangun untuk mendukung mobilitas fungsi kota tersebut, termasuk jalan umum dan jaringan transportasi yang terintegrasi.

Sebelum kendaraan berpenggerak mesin umum digunakan di Salatiga, pedati (gerobak sapi) untuk angkutan barang dan dokar (kereta kuda) untuk angkutan penumpang menjadi andalan utama moda transportasi massal masyarakat. Kedua moda transportasi tersebut menggunakan tenaga hewan sebagai penggerak, sehingga jarak tempuhnya terbatas yaitu dari Salatiga sampai ke Bringin, Tuntang, Ambarawa, Suruh, dan Boyolali. Pengguna jasa tranportasi yang ingin melanjutkan perjalanan harus berganti moda baik dokar kembali maupun kereta api.

Sebagai gambaran, seseorang yang akan berpergian dari Salatiga ke Surakarta harus naik dokar trayek Salatiga-Boyolali kemudian transit untuk pindah moda dokar trayek  Boyolali-Surakarta. Sistem dalam satu rangkaian dokar adalah umum, sehingga kusir akan menunggu penumpang penuh dengan kapasitas lima orang sebelum memulai perjalanan dan antar penumpang mungkin tidak saling mengenal. Berbeda dengan kaum priyayi dan Belanda yang menggunakan jasa dokar dengan sistem sewa, sehingga tidak perlu menunggu hingga penumpang penuh, lebih mengutamakan kenyamanan dan kecepatan karena beban dokar relatif ringan. Kusir dan kuda dokar setelah melayani penumpang akan beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Salatiga.

Moda transportasi darat berbasis jalan ditujukan untuk melayani angkutan jarak dekat dan menjadi angkutan antarmoda untuk angkutan darat berbasis rel yaitu kereta api. Angkutan darat berbasis rel dari pusat kota Salatiga dapat diakses melalui tiga stasiun yakni Stasiun Bringin, Stasiun Tuntang, dan Stasiun Willem I Ambarawa. Kereta api  adalah sistem transportasi yang efektif dan efisien untuk melayani antar kota atau jarak jauh yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melalui perusahaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).

Berdasar letak stasiun tersebut, integrasi antarmoda untuk mengangkut penumpang dan barang menjadi penting. Hal tersebut karena Salatiga menjadi tempat favorit untuk bermukim warga Belanda yang bekerja di Samarang (Semarang) khususnya di kompleks perkantoran yang sekarang disebut Kota Lama Semarang atau Samarang Oude Stad. Selain itu, tercatat 81 perusahaan pada tahun 1920 menjadi bagian dari afdeeling Salatiga, sehingga angkutan barang untuk mendistribusi hasil pertanian tak luput dari perhatian konsep integrasi angkutan antarmoda.

Usaha Transportasi Kwa Tjwan Ing

Merintis Sewa Mobil

Konsep integrasi angkutan antarmoda ini yang mendapat sentuhan modern dengan masuknya kendaraan berpenggerak mesin ke Salatiga. Peluang ini ditangkap dan dieksekusi oleh Seorang perantauan keturunan Cina-Jawa dari Kudus yakni Kwa Tjwan Ing bersama istrinya Siauw King Nio. Kemudian pasangan ini dikaruniai lima orang anak, kedua anak laki-lakinya kelak meneruskan usaha yang dirintis Kwa Tjwan Ing yaitu Kwa Hong Po dan Kwa Hong Biauw.

Autoverhuurder atau persewaan mobil menjadi divisi awal dirintisnya usaha transportasi Kwa Tjwan Ing dengan beberapa unit mobil kecil pada tahun 1921. Sewa mobil ini melayani berbagai keperluan tidak hanya di dalam kota, namun juga melayani tujuan luar kota. Deretan mobil menawarkan jasa sewa kendaraannya di ruas jalan Soloscheweg (jalan Jenderal Sudirman sekarang) tepatnya di depan toko Kwa San Kam, kawasan ini dipilih karena menjadi pusat keramaian dan pusat perekonomian.

Masyarakat menyambut kehadiran layanan sewa mobil, utamanya warga Belanda dan Eropa lain yang antusias dengan moda baru ini. Mereka yang terbiasanya menggunakan moda transportasi dokar mulai berpindah ke moda transportasi mobil. Perpindahan tersebut karena efisiensi waktu karena mobil dapat lebih cepat dari dokar, lebih aman dan nyaman dan lebih prestisius karena harga sewa mobil yang lebih tinggi saat itu.

Memulai Angkutan Barang Truk

Melihat potensi bisnis angkutan barang yang menarik, Kwa Tjwan Ing mulai membeli armada truk di tahun yang sama. Generasi pertama armada truk berdimensi kecil dan sederhana, truk ini masih menggunakan brand Kwa Tjwan Ing di badan kendaraannya dengan ciri khas tambahan nomor telepon kantor. Kemudian generasi kedua truk dibeli dengan armada yang lebih modern bermesin Chevrolet yang kelak turut menyandang brand ESTO di tahun 1923.

Sistem operasional truk ini dijadwalkan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan siang. Truk melayani trayek dari Salatiga menuju ke Semarang dengan membawa barang angkutan dari kedua daerah tersebut. Jadwal pagi dari Salatiga umumnya memuat hasil hortikultura untuk dibawa ke Semarang, sedangkan jadwal siang diisi dengan muatan arang. Untuk muatan yang dibawa dari Semarang umumnya adalah bahan kebutuhan pokok seperti beras, kopi, gula, dan sebagainya.

Peraturan lalu lintas yang diterapkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sangat ketat dan konsisten ditegakan. Sehingga pemilik harus sangat cermat dalam mengkalkulasi berat dan dimensi barang yang akan dimuat. Petugas biasanya dengan mudah mengidentifikasi berapa jumlah muatan dengan menghitung jumlah karung yang dimuat, umumnya karung tersebut memiliki bobot 100 kilogram.

Insting bisnis yang kuat dari Kwa Tjwan Ing membuatnya kembali menjadi pelopor angkutan barang bermesin. Sehingga hanya dia seorang yang memiliki moda truk untuk memenuhi permintaan pengguna jasa angkutan barang. Usaha tersebut menjadi berkembang karena keberanian memulai dan tidak adanya pesaing serupa di bidang usaha ini.

Lahirnya Usaha Otobus

Puncak dari kecemerlangan ide usaha Kwa Tjwan Ing adalah hadirnya bus dengan konsep integrasi antarmoda. Tahun 1923 merupakan awal dari berdirinya usaha otobus dengan mengoperasikan bus kecil untuk melayani trayek yang pasti dan meninggalkan bisnis sewa mobil. Awalnya badan bus masih tertulis nama Kwa Tjwan Ing. Kemudian dengan semangat baru lahirlah brand ESTO yang merupakan akronim dari Eerste Salatigasche Transport Onderneming atau dalam bahasa Indonesia berarti Perusahaan Transportasi Pertama Salatiga.

Hal yang melatarbelakangi bisnis baru Kwa Tjwan ing adalah fenomena meningkatnya permintaan konsumen atas hadirnya jasa transportasi bermesin. Di sisi lain, semakin banyak juga penawaran jasa transportasi mobil dengan para pengusaha Belanda yang menyewakan mobil mengikuti kesuksesan Kwa Tjwan Ing. Indikator lain keberhasilan usaha transportasi bermesin yang beliau rintis ialah hadirnya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Shell di Salatiga oleh Tan Hok dan Kwie Oei Poen.

Sehingga pengusaha sekaliber Kwa Tjwan Ing dengan jiwa pelopornya perlu memikirkan kembali inovasi apa yang perlu dihadirkan untuk menjaga kelangsungan usaha, akhirnya lahirlah usaha otobus bernama ESTO. Kwa Tjwan Ing berusaha mengurangi iklim persaingan dengan moda baru yang akan menciptakan pasar baru dengan potensi yang lebih besar. Usaha angkutan barang truknya turut bernaung dibawah nama usaha ESTO.

Penamaan ESTO

ESTO merupakan akronim dari Eerste Salatigasche Transport Onderneming jika diterjemahkan Eerste artinya pertama, Salatigasche merujuk pada Salatiga, Transport artinya transportasi, dan Onderneming artinya perusahaan. Dalam bahasa Indonesia berarti Perusahaan Transportasi Pertama Salatiga, hal ini merupakan penegasan atas usahanya yang merupakan perusahaan bus perintis pertama di Salatiga. Sebenarnya dalam usaha sewa mobil dan truk sebelumnya juga merupakan yang pertama di Salatiga. Hal ini mencerminkan bahwa Kwa Tjwan Ing memang sosok kreatif yang berdampak positif di zamannya.

Pemilihan nama berbahasa Belanda karena sang pemilik memahami secara mendalam tatanan sosial dan target konsumen yang dituju masa Hindia Belanda. Warga Belanda yang melihat nama ESTO akan langsung tertarik dan menggunakan jasa transpoortasi bus ini. Terlebih Kwa Tjwan Ing memisahkan antara penumpang kaum Belanda dan priyayi dengan kaum bumiputra. Hal ini terjadi karena ada keengganan orang Belanda saat itu menjadi satu ruang dengan warga bumiputra yang tercermin dari moda transportasi dokar sebelumnya.

Spesifikasi dan Layanan

Masa awal merintis usaha, karoseri atau badan bus dibangun dengan bahan kayu dan besi berwarna hijau tua, warna hijau ini kelak yang membuat ESTO dikenal dengan julukan "Kodhok Ijo" artinya "Katak Hijau". Generasi perintis bus menggunakan casis merek Ford, sedangkan generasi kedua bus ESTO teridentifikasi menggunakan sasis merek Chevrolet yang berasal dari Amerika Serikat. Sasis dengan merek Chevrolet ini yang nantinya menjadi sasis favorit pilihan ESTO sampai masa pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Kaca kendaraan hanya terletak di sisi depan, sedangkan pintu serta jendela di sisi samping dan belakang tanpa kaca. Ruangan bus terbagi atas tiga bagian, bagian depan tepat di belakang mesin, bagian tengah, dan bagian belakang.

Layanan yang ditawarkan ESTO mengikuti permintaan tatanan sosial saat itu yang memisahkan warga Belanda dengan warga bumiputra. Generasi pertama bus ESTO berkapasitas total 16-18 penumpang termasuk kru. Bagian depan bus berfungsi sebagai ruang kemudi untuk satu pengemudi dan satu penumpang. Bagian tengah diperuntukan sebagai layanan kelas satu berkonfigurasi kursi nyaman menghadap depan untuk warga Belanda, kelas satu ini berkapasitas enam penumpang. Sedangkan yang terakhir, kelas kedua berkonfigurasi bangku rotan panjang menghadap belakang untuk warga bumiputra, kapasitas yang mampu disediakan pada kelas ini yaitu sepuluh penumpang. Penumpang membayar tiket jasa transportasi bus kepada seorang kondektur yang berdiri di pintu belakang dengan tarif yang tentunya berbeda yakni 20 sen untuk kelas satu dan 10 sen untuk kelas dua.

Trayek Awal

Dasar dari pemilihan trayek bus ESTO ialah konsep integrasi antarmoda yang telah ada yang kemudian dikembangkan. Trayek Salatiga-Tuntang menjadi pilihan awal Kwa Tjwan Ing untuk melayani warga Salatiga yang akan melanjutkan perjalannya menggunakan moda kereta api melalui Stasiun Tuntang. Jadwal keberangkatan baik dari Salatiga maupun Stasiun Tuntang disesuaikan dengan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api.

Rute ini disambut baik oleh para pengguna jasa transportasi yang sebelumnya menggunakan moda transportasi dokar untuk menuju ke stasiun, terlebih bagi warga Belanda. Dokarpun tergeser perannya sebagai pemain utama menjadi pilihan alternatif khususnya bagi warga yang tertinggal jadwal bus ESTO.

Saat jumlah armada bus ESTO bertambah dengan analisis pasar yang tepat, Kwa Tjwan Ing memutuskan untuk membuka trayek Salatiga-Bringin. Dasar dari keputusan ini serupa dengan trayek sebelumnya yaitu faktor integrasi antarmoda antara pusat kota dengan Stasiun Bringin. Sehingga sistem operasional juga serupa yakni disesuaikan dengan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api.

Keunikan dari trayek kedua ini adalah terdapat tambahan target konsumen karena adanya Pasar Bringin dan perkebunan Getas. Tidak hanya pengguna jasa transportasi yang ingin melanjutkan perjalanan ke Stasiun Bringin, namun penumpang juga berasal dari para pedagang pasar dengan barang dagangannya maupun para pekerja di perkebunan getas yang membutuhkan angkutan.

Layanan bus ESTO dapat diakses melalui garasinya yang berada di Julianalaan (jalan Langensuko) dan autostandplaats atau terminal yang terletak di Soloscheweg (jalan Jenderal Sudirman). Terminal awal di Salatiga berada di pangkalan dokar yang disekat antara kendaraan bermotor dan tidak. Pemilihan lokasi ini untuk memudahkan akses pengguna di pusat ekonomi dan keramaian kota.

Peran terminal vital sebagai titik awal dan titik akhir perjalanan pengguna jasa transportasi, maupun titik transit untuk penumpang melanjutkan perjalanannya baik menggunakan moda bus atau moda lain. Integrasi antarmoda terjadi di terminal ini, pengguna yang tiba dapat mengakses moda lain dengan tujuan dalam kota atau jarak dekat.

Dokar dan mobil sewaan yang kemudian diebut oplet menjadi pilihan untuk menuju ke daerah seperti Tengaran, Kembangsari, Dadapayam, Pabelan dan sebagainya yang kelak rute tersebut menjadi cikal bakal trayek angkutan kota. Sarana oplet tumbuh dari para pengusaha sewa mobil yang mengikuti jejak kesuksesan Kwa Tjwan Ing. Beberapa oplet juga memiliki trayek yang sama dengan ESTO namun jam operasionalnya setelah jadwal operasi bus ESTO.

Sistem Operasional di Terminal dan Stasiun

Bertambahnya kuantitas layanan bus di Salatiga mendesak dibangunnya terminal baru yang lebih representatif. Kelak pada tahun 1930-an dibangunlah terminal baru tak jauh dari sebelumnya. Terminal dibangun diatas cekungan telaga kering dengan arsitektur yang indah berlatar gunung Merbabu sehingga mendapat julukan terminal terindah di Hindia Belanda (saat ini menjadi Tamansari Shopping Center).

Manajemen operasional yang dijalankan otoritas terminal optimal dan efisien. Administrasi kedatangan dan keberangkatan bus tercatat dengan baik, kondektur bus yang baru tiba melapor ke kepala kantor untuk menyerahkan dokumen perjalanan. Kemudian kondektur akan mendapat jadwal keberangkatan kembali yang di informasikan melalui pengeras suara terminal. Awak bus yang tidak disiplin mematuhi jadwal keberangkatan akan dikenakan sanksi berupa denda.

Terminal baru menyediakan 10 shelter keberangkatan bus, dengan 5 shelter di sisi utara dan 5 shelter di sisi selatan. Shelter di sisi utara masing-masing melayani tujuan Semarang dengan 2 ruas shelter, Magelang 1 ruas shelter, Bringin 1 ruas shelter, dan Ambarawa 1 ruas shelter. Sedangkan di sisi selatan tersedia tujuan Surakarta 2 ruas shelter, Karanggede 1 ruas shelter, Suruh 1 ruas shelter, serta 1 ruas shelter netral. Selain di terminal dan lokasi tujuan, bus juga dapat menaikkan dan menurunkan penumpang di beberapa halte yang sudah ditetapkan otoritas melalui peraturan pemerintah saat itu.

Untuk memenuhi kebutuhan penunjang perjalanan, disediakan toilet umum dan rumah makan bagi para pengguna jasa transportasi yang terdapat di lantai dua teminal. Lantai satu terminal dikhususkan untuk operasional terminal yaitu kantor dan agen bus. Berbagai layanan jasa juga disediakan di terminal antara lain jasa porter, jasa pengisi air radiator, jasa slinger atau yang menawarkan jasa menghidupkan mesin masa itu dan sebagainya.

Berbagai komunikasi isyarat dikembangkan oleh pengemudi bus yang berada di depan dengan kru bus yang berada di belakang yaitu kondektur untuk mensiasati kebisingan deru mesin dan jalanan. Selain isyarat tubuh, juga tersedia bel yang terhubung dari belakang ke depan untuk dioperasikan kondektur sebagai kode komunikasi kepada pengemudi. Tidak hanya untuk komunikasi internal satu bus, keakraban antar awak bus juga terlihat saat berpapasan dijalan dengan berbagai isyarat berupa klakson, lambaian tangan, kode jari dan sebagainya.

Sistem operasional untuk integrasi antarmoda bus di stasiun tak jauh berbeda dengan di terminal, awak bus yang datang melapor pada kepala stasiun. Kepala stasiun juga akan menjadwalkan kembali keberangkatan bus yang disesuaikan dengan jadwal kereta api. Area depan terbagi atas beberapa shelter sesuai dengan masing-masing trayek bus, hal ini diatur untuk kenyamanan penumpang antarmoda.

Kejayaan

ESTO menuju masa kejayaanya dengan bertambahnya armada dan trayek yang dilayani. Bertambahnya armada membuat perawatan armada semakin kompleks sehingga Kwa Tjwan Ing memutuskan untuk membuka bengkelnya sendiri pada tahun 1929 di Julianalaan (jalan Langensuko). Bengkel tersebut untuk menunjang operasional garasi utamanya yang dibangun tahun 1925. Semakin lengkap rantai bisnis Kwa Tjwan Ing untuk memastikan layanan jasa transportasinya tetap prima.

Sejak awal berdiri Kwa Hong Po (Winata Budi Dharma) sudah mengikuti jejak ayahnya dalam bidang usaha ini, Kwa Tjwan Ing pun nampaknya sudah mempersiapkan penerusnya ini. Tahun 1930 menjadi bukti, saat estafet kepemimpinan diserahkan kepada anaknya yakni Kwa Hong Po, ketika usaha ESTO dirasa sudah stabil dan sang anak siap untuk meneruskan. Manajemen perusahaan nampak terstruktur dan fungsional dimasanya dengan bidang kerja yang mengisi yakni pengemudi, kondektur, mekanik, pengawas, admin dan satuan pengamanan.

Di tangan generasi kedua ini, ESTO mampu berada di masa kejayaanya yang tercatat dalam sejarah. ESTO memiliki rute lokal yang masih dilayani dan terus berkembang seperti Salatiga-Bringin, Salatiga-Ambarawa, Salatiga-Suruh, Salatiga-Kopeng, Salatiga-Karanggede dan Salatiga-Banyubiru. Trayek antarkota yang dirintis yakni Semarang-Surakarta juga mendapat respon positif dari masyarakat, trayek ini juga yang menggantikan trayek Salatiga-Tuntang karena jalur menuju ke Tuntang sudah termasuk layanan ini.

Selain itu, ESTO di masa ini juga melayani trayek antarkota di berbagai kota penting masa itu yaitu Kendal, Pekalongan, Magelang, Purworejo, Kutoarjo, Yogyakarta, Sragen, Kudus dan Pati. ESTO menjadi sebuah perusahaan otobus yang populer di wilayah Jawa Tengah masa itu, karena menghubungkan berbagai kota dalam layanannya. Untuk melayani trayeknya dan memenuhi kebutuhan pengguna jasa transportasi, ESTO tercatat memiliki armada bus mencapai 100 unit.

Tertawan Krisis Global Perang Dunia          

Great Depression melanda dunia menyebabkan krisis global negara-negara termasuk Hindia Belanda pasca Perang Dunia I menuju Perang Dunia II. Dampaknya turut dirasakan ESTO yang sedang berada dipuncak kejayaan, seketika turun terhempas persoalan ekonomi pada tahun 1938. Beberapa armada bus yang dimiliki harus direlakan untuk menutup hutang bahan bakar kepada Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yakni anak perusahaan The Royal Dutch Shell Group (Shell). Beberapa armada lain juga diambil alih oleh perusahaan otobus ADAM. Jumlah armada ESTO yang tercatat menyusut hingga menyisakan 20 bus serta 22 truk.

Strategi penanganan untuk menghadapi krisis diambil oleh manajemen ESTO. Walaupun jumlah armada turun drastis, armada yang tersedia tetap dikerahkan untuk melayani pengguna jasa transportasi sesuai kemampuan perusahaan yakni trayek menuju ke Suruh, Bringin dan Ambarawa. Kwa Hong Biauw menggantikan Kwa Hong Po di pucuk pimpinan perusahaan. ESTO seolah merangkak untuk merintis kembali karena tertawan situasi global yang kurang menguntungkan.

Perang Dunia II meletus, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda terancam dengan invasi negeri matahari terbit Jepang yang mulai merambah ke Asia Tenggara tahun 1942. Pasukan KNIL yang bermarkas di Salatiga turut dikerahkan untuk menghalau Jepang dengan komando untuk bergerak menuju Cimahi. Jumlah pasukan yang besar tidak seimbang dengan kapasitas kendaraan militer yang dimiliki untuk mobilisasi pasukan secara cepat dan masif.

KNIL akhirnya meminta bantuan pada Kwa Hong Biauw untuk merelakan beberapa armada busnya untuk digunakan mengangkut pasukan. Badan bus yang berwarna hijau juga serupa dengan warna hijau khas militer Hindia Belanda saat itu. Pemerintah Kolonial memberikan kompensasi atas keputusannya tersebut dengan memberi "Surat Sakti" kepada Kwa Hong Biauw untuk mendapat kemudahan dan keringanan saat membeli bus baru kelak. Jepang akhirnya mampu menembus Salatiga, armada bus ESTO termasuk truk dan mobil jenazah yang dimiliki Kwa Hong Biauw turut dijarah oleh serdadu Jepang.

Pasca Kemerdekaan

Pasca Indonesia diproklamirkan sebagai sebuah negara, berbekal "Surat Sakti" warisan kolonial Kwa Hong Biauw membeli beberapa unit armada baru dengan diskon harga pada tahun 1948. Spesifikasi teknis armada yang dibeli ialah bus merek Chevrolet tipe Chevrolet Advance Design, berkapasitas mesin 3.500 cc inline-6 silinder, bertenaga 92 hp, torsi 239 Nm, sistem transmisi 3 percepatan manual, roda belakang ganda dan berkapasitas 1 ton. Kapasitas yang mampu diangkut generasi pertama tipe ini 18 penumpang dan naik menjadi 34 penumpang pada generasi kedua. Saat itu ESTO masih fokus melayani trayek Salatiga menuju Suruh, Bringin dan Ambarawa.

Kondisi politik dan ekonomi Indonesia semakin stabil pasca gejolak di awal kemerdekaan, pemerintah republik menerapkan berbagai aturan dan kebijakannya tak terkecuali bidang transportasi. Berbagai regulasi ditaati oleh operator jasa transportasi termasuk ESTO antara lain jumlah minimal armada dan kapasitasnya, inspeksi berkala armada oleh pemerintah provinsi, izin operasional serta trayek dan sebagainya. Jaminan kesejahteraan pekerja juga diperhatikan oleh perusahaan yakni gaji, tunjangan, asuransi kesehatan, pesangon, jam kerja, jadwal libur dan lain-lain.

Asa deru mesin bisnis ESTO semakin berkembang, manajemen memutuskan untuk mengakuisisi enam unit armada bus baru Chevrolet C50 pada dekade 1960-an sampai 1970-an untuk melayani trayek Semarang-Surakarta. Spesifikasinya lebih mumpuni dari tipe sebelumnya, sasis bus didatangkan dari Jakarta dan dibangun karoseri di daerah Surakarta. Di masa ini armada bus sudah menggunakan nomor lambung, berawalan huruf "C" yang diduga diambil dari inisial Chevrolet diikuti nomor jumlah armada mulai dari C-1 sampai C-6.

ESTO juga dikenal menawarkan sistem unik untuk pelangganya berupa kartu Abonement (kartu langganan) dan kartu Vriykaart (kartu bebas). Abonement menawarkan potongan harga tiket ditujukan kepada pelajar dan pekerja yang rutin menggunakan jasa ESTO. Sedangkan Vriykaart menawarkan bebas biaya tiket yang ditujukan untuk para pemegang jabatan penting pemerintahan atau individu yang punya pengaruh penting di perusahaan otobus. Penggunaan Vriykaart sangat ketat dan mengikat dikhususkan hanya untuk kepentingan perjalanan dinas disertai bukti surat tugas serta beberapa persyaratan lainnya.

Akhir Pengabdian

Simbah ESTO harus mengakhiri pengabdian di nafas terakhirnya pada tahun 2018, lima tahun sebelum usianya genap menginjak 100 tahun. Solusi pembentukan koperasi untuk mempertahakan eksistensi nama besar ESTO yang diusulkan pemilik kepada karyawannya sejak awal tahun 2000-an tak terealisasi. Beberapa dekade akhir masa pengabdiannya, ESTO dengan bus besar bermesin Mercedes-Benz masih melayani masyarakat yang umumnya pedagang dan para pelajar penerus bangsa di wilayah aglomerasi Salatiga utamanya trayek Salatiga-Ambarawa. Nampak beberapa bus medium pariwisata tua terparkir di depan garasi ESTO mencoba menjaga eksitensi perusahaan pada akhir masanya.

Memori kolektif beberapa generasi masyarakat Salatiga masih mengingatnya sebagai sarana transportasi pionir dan terintegrasi yang lekat dengan kota ini. ESTO sebagai generasi pertama perusahaan otobus Indonesia turut menggambarkan indikator kemajuan kota Salatiga kala itu khususnya bidang perekonomian serta sosial. Sudah selayaknya konsep integrasi antarmoda, jiwa pelayanan kreatif dan fakta sejarah lain yang dialami ESTO menjadi dasar kuat konsep transportasi kedepan untuk Salatiga dan republik ini pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun