Bertambahnya penduduk Eropa yang tinggal di Salatiga pada awal abad ke 20 membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda merancang kota ini menjadi kota yang liveable (layak ditinggali) dan loveable (layak dicintai) bagi orang kulit putih.
Tercatat pada tahun 1905 setidaknya 17% orang kulit putih mendiami Salatiga yang terdiri atas 800 orang Eropa, 1.300 orang China, 80 orang timur asing dari jumlah penduduk kurang lebih 12.000. Jumlah ini terus berkembang sampai tahun 1930 terdapat 4.338 jiwa kulit putih dari jumlah penduduk yang juga berkembang mencapai angka 55.355 jiwa.
Banyaknya warga Belanda yang tinggal di Salatiga didorong oleh faktor geografis, pertahanan dan perekonomian. Kondisi geografis yang terletak di kaki Gunung Merbabu, Telomoyo dan Gajahmungkur dengan ketinggian rata-rata 600 mdpl serta suhu rata-rata 23-24 derajat celcius membuat kondisi yang sangat ideal untuk warga Eropa bermukim disini karena kondisi yang tidak jauh berbeda dengan negeri asal.
Salatiga dipandang strategis oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada masa lampau karena terletak di jalur perdagangan dari pantai utara Jawa menuju ke pusat kekuasaan pribumi di pedalaman seperti Surakarta dan Yogyakarta.
Sehingga ditempatkanlah pasukan militer infantri, kavaleri dan artileri dengan dibangunnya benteng Fort De Hersteller dan Fort De Hock, hal ini membuat banyak pasukan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang bertugas di wilayah ini.
Sistem Cultuurstelsel (tanam paksa) yang diperkenalkan pada 1830 menjadikan Salatiga sebagai Afdeeling karena kesesuaian faktor geografisnya. Tercatat 81 perusahaan pada 1920 menjadi bagian dari Afdeeling Salatiga seperti perkebunan Assinan, Banaran, Tlogo, Ampel Gading, Gogodalem, Jatirunggo, Kebonsari, Plaur, Sembir, Golli, Getas dan Gesangan.
Komoditas utamanya adalah kopi yang mencapai 240.000 tanaman saat itu menjadikan Salatiga sebagai lumbung kopi, serta berbagai tanaman lain yaitu karet, kina, coklat, kapuk, tembakau, sayuran, rempah dan gandum. Industri pertanian ini menjadi salah satu sumber pendapatan yang menjanjikan bagi Kerajaan Belanda, sehingga banyak tenaga kerja dan pengusaha yang terserap di industri tersebut bermukim di Salatiga.
Kepatihan Salatiga pun berganti status menjadi Stadsgemeente (Kotapraja dengan otonomi terbatas) dengan ketetapan Staatsblad Nomor 266 tahun 1917, kemudian statusnya ditingkatkan menjadi Gemeente (Kotapraja dengan otonomi penuh) pada tahun 1926.
Walaupun banyak dipertanyakan orang tentang penduduknya yang sedikit dan wilayah sekecil saat itu, Pemerintah Hindia Belanda tetap mengistimewakan daerah ini demi kepentingan kenyamanan warga kulit putih di Salatiga terutama berkaitan dengan manajemen rentang kendali, yaitu kapasitas koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik.
Gemeente Salatiga bermodalkan 8 desa yaitu Sidorejo Lor, Krajan, Kutowinangun, Kalicacing, Mangunsari, Gendongan, Tegalrejo, Ledok. Delapan desa tersebut membentuk wilayah menyerupai persegi panjang dengan ukuran empat kilometer dikali tiga kilometer dan luas 1.200 hektar saja.