Paradoks Kepemimpinan Korup
Di sisi lain, kita melihat pola yang mirip dalam kepemimpinan korup di berbagai negara. Para pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat sering kali justru menjadi sumber masalah.Â
Mereka mengklaim memerangi kejahatan dan ketidakadilan, namun pendekatan yang mereka gunakan lebih sering bersifat represif daripada solutif.Â
Misalnya, kecanduan narkoba sering kali dilawan dengan tindakan militeristik yang brutal. Alih-alih mengatasi akar masalah seperti kemiskinan dan kurangnya pendidikan, pemerintah memilih untuk memberantas masalah ini dengan cara yang tidak manusiawi.Â
Akibatnya, mereka justru menciptakan masalah baru: pelanggaran hak asasi manusia, trauma, dan kebencian terhadap aparat penegak hukum.
Pemerintahan yang korup juga cenderung membuat kebijakan yang memperparah kemiskinan dan ketidakadilan. Misalnya, proyek-proyek pembangunan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sering kali menjadi ladang korupsi.Â
Anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur dan menyediakan layanan publik diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat justru semakin terpinggirkan.
Konsep Kesederhanaan sebagai Solusi
Di tengah kompleksitas dan kekacauan yang diciptakan oleh ego, ada keindahan dalam kesederhanaan. Orang yang kesehariannya hanya di rumah, menjalani hidup dengan sederhana, justru adalah orang yang paling berguna di dunia. Ia duduk, berjalan, makan, tidur, dan buang air.Â
Ia tidak menciptakan polusi, tidak menebarkan kebencian dan kemarahan, dan tidak menghabiskan energi fosil dengan bepergian, seperti para pejabat yang naik pesawat pribadi untuk melakukan hal yang sia-sia.
Belajar untuk menjadi tak berguna berarti belajar untuk menyadari diri kita yang sesungguhnya. Kita adalah bagian dari seluruh alam semesta ini, baik yang material maupun yang lebih dari itu.Â