Mohon tunggu...
Ewia Putri
Ewia Putri Mohon Tunggu... Penulis - seorang aktivis kemanusiaan konsen terahadap persoalan ekonomi, perempuan dan kemanusiaan

saya merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, saya tamatan s2 magister ilmu ekonomi di universitas jambi, sekarang sedang senang2 menjadi pengamat dan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Kesederhanaan vs Kompleksitas Ego

6 Juni 2024   07:41 Diperbarui: 9 Juni 2024   00:15 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pikiran manusia. (Sumber: KOMPAS/CHY)

Paradoks Kepemimpinan Korup

Di sisi lain, kita melihat pola yang mirip dalam kepemimpinan korup di berbagai negara. Para pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat sering kali justru menjadi sumber masalah. 

Mereka mengklaim memerangi kejahatan dan ketidakadilan, namun pendekatan yang mereka gunakan lebih sering bersifat represif daripada solutif. 

Misalnya, kecanduan narkoba sering kali dilawan dengan tindakan militeristik yang brutal. Alih-alih mengatasi akar masalah seperti kemiskinan dan kurangnya pendidikan, pemerintah memilih untuk memberantas masalah ini dengan cara yang tidak manusiawi. 

Akibatnya, mereka justru menciptakan masalah baru: pelanggaran hak asasi manusia, trauma, dan kebencian terhadap aparat penegak hukum.

Pemerintahan yang korup juga cenderung membuat kebijakan yang memperparah kemiskinan dan ketidakadilan. Misalnya, proyek-proyek pembangunan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sering kali menjadi ladang korupsi. 

Anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur dan menyediakan layanan publik diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat justru semakin terpinggirkan.

Konsep Kesederhanaan sebagai Solusi

Di tengah kompleksitas dan kekacauan yang diciptakan oleh ego, ada keindahan dalam kesederhanaan. Orang yang kesehariannya hanya di rumah, menjalani hidup dengan sederhana, justru adalah orang yang paling berguna di dunia. Ia duduk, berjalan, makan, tidur, dan buang air. 

Ia tidak menciptakan polusi, tidak menebarkan kebencian dan kemarahan, dan tidak menghabiskan energi fosil dengan bepergian, seperti para pejabat yang naik pesawat pribadi untuk melakukan hal yang sia-sia.

Belajar untuk menjadi tak berguna berarti belajar untuk menyadari diri kita yang sesungguhnya. Kita adalah bagian dari seluruh alam semesta ini, baik yang material maupun yang lebih dari itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun