Mohon tunggu...
Ewia Putri
Ewia Putri Mohon Tunggu... Penulis - seorang aktivis kemanusiaan konsen terahadap persoalan ekonomi, perempuan dan kemanusiaan

saya merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, saya tamatan s2 magister ilmu ekonomi di universitas jambi, sekarang sedang senang2 menjadi pengamat dan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Kesederhanaan vs Kompleksitas Ego

6 Juni 2024   07:41 Diperbarui: 9 Juni 2024   00:15 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pikiran manusia. (Sumber: KOMPAS/CHY)

Kesadaran dan Kompleksitas Ego

Hidup manusia pada dasarnya sangat sederhana. Kita hanya perlu makan, buang air, dan beristirahat ketika lelah. Namun, manusia sering kali memperumit kehidupan dengan permainan ego yang penuh kerakusan dan kebencian. 

Mencoba mengubah dan menyelamatkan dunia sering kali hanyalah mimpi yang diilhami oleh kekacauan cara berpikir. Pola ini terlihat jelas dalam gerakan-gerakan sosial modern, terutama dalam komunitas Social Justice Warrior (SJW). 

Mereka melawan kebencian dengan menciptakan kebencian lebih jauh, dan melawan kebusukan dengan kemarahan yang sama membaranya. Dalam perjuangan untuk mewujudkan keadilan, mereka justru sering kali menciptakan ketidakadilan baru.

Permainan Ego dalam Perjuangan Keadilan

SJW sering kali menjadi contoh bagaimana niat baik bisa berubah menjadi bumerang. Mereka berjuang melawan ketidakadilan, namun metode yang mereka gunakan sering kali bersifat konfrontatif dan destruktif. 

Mereka menggunakan media sosial untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka, namun cara ini sering kali memperparah polarisasi sosial. Kebencian dan kemarahan mereka, meskipun berakar dari keinginan untuk perubahan positif, justru sering kali menciptakan lingkaran setan yang sulit dipecahkan.

Gerakan SJW sering kali memanfaatkan kekuatan media sosial untuk meningkatkan kesadaran tentang berbagai isu sosial. Namun, alih-alih membangun dialog yang konstruktif, mereka sering kali menggunakan platform ini untuk menyerang dan mempermalukan pihak yang berbeda pandangan. 

Praktik "cancel culture" misalnya, di mana individu atau organisasi yang dianggap melakukan kesalahan moral diserang secara massal, sering kali tidak memberikan ruang untuk perbaikan atau pemahaman yang lebih dalam. 

Ini menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpercayaan, di mana setiap orang merasa harus berhati-hati dengan apa yang mereka katakan atau lakukan, bukan karena mereka memahami kesalahan mereka, tetapi karena takut akan reaksi publik yang keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun