Mohon tunggu...
Evelyn Asrila Sare
Evelyn Asrila Sare Mohon Tunggu... Lainnya - Bunda Ev

Saya adalah seorang 'guru' bagi anak-anak dengan ruang kelas tanpa sekat. Bersama berproses dan kami menemukan kebahagiaan dalam tiap hal yang kami pelajari. Saya belumlah seorang penulis namun terus berjuang untuk menulis. Bukan bertujuan untuk menjadi seorang penulis namun saya berharap ada jejak kebaikkan yang bisa saya bagi untuk orang-orang yang membaca tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Diam

17 Agustus 2021   08:26 Diperbarui: 15 November 2022   04:52 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena rasa cinta ini harus diakhiri

Sebelum mulai menorehkan luka yang lebih dalam

Aku tahu cinta itu membebaskan

Membebaskanku untuk memilih tidak memilikinya

Kemarin kami bertemu lagi. Pendar-pendar cinta bergejolak membuat  wajahku panas. Aku harus menahan lebih kuat tumpuan ke dua kakiku. Sedang ia semakin berjalan mendekat. Tetap dengan senyum yang sama, ketika bayang wajahnya sukses jatuh di kedua bola mataku. Itu awal jumpa dengan bonus luka yang mengintip malu-malu dari kejauhan.

"Selamat pagi. Kamu cantik sekali pagi ini, Nia. Mungkinkah hujan semalam membuatmu nampak lebih fresh," katanya membuka percakapan. Aku hanya tersenyum. Ah, andai saja aku bisa menggenggam tangannya itu.

"Hei. Aku dengar ujianmu berhasil. Selamat ya!" katanya sambil menyodorkan tangannya.

Aku terpana. Apa dia bisa membaca isi hatiku ya? Seluruh wajahku kurasa semakin panas.

"Hei, Nia. Mana tanganmu? Kau biarkan tanganku seperti ini saja?"

Segera ku raih jabatan tangannya. Wajahnya berubah. Tetapi dia lalu tersenyum.

"Udara memang sedang dingin pagi ini. Tanganmu dingin sekali. Aku sampai berpikir, kau baru saja keluar dari lemari es." Dia terkekeh seperti biasa dan seperti biasa pula spontan mengatakan semuanya.

"Eh, ayo duduk. Kamu pasti punya alasan untuk menemuiku kan?" katanya sambil mengarahkanku untuk duduk di sebuah bangku di depan ruang kerjanya.

Kami berdua duduk bersama. Dekat sekali. Aku rasanya tak mampu bernafas. Lalu mulai mengingat-ingat apakah tadi aku memakai parfum? Apakah parfumku terlalu banyak? Apakah tadi setelah sarapan aku sudah gosok kembali gigiku? Apakah bajuku rapih? Pikiran itu lebih sibuk di benakku saat ini. Seolah-olah lagi ada hajatan besar dalam otakku. Sibuk, riuh, ramai.

"Nia? Kamu dengar apa yang saya tanyakan?"

Deg!

Astaga. Apa yang sudah aku lakukan?

"Eh iya. Maaf kak. Apa tadi?" tanyaku gugup

"Kamu sakit ya?" Ia bertanya balik

Aku hanya mengangguk. Rasanya ingin ditelan bumi saja. Bodoh sekali aku.

Tiba-tiba aku merasakan tangannya hangat di dahiku. "Badanmu tidak hangat," katanya tanpa sadar bahwa tindakan yang ia lakukan bisa membuatku pingsan saat itu.

"Jadi bagaimana? Apa yang mau kamu sampaikan?"

"Ehm. Begini kaka. Kemarin aku sudah ajukan rencana project ku, yang aku minta kaka bimbing. Dan hasilnya oke oleh dosenku. Menurut beliau, idenya menarik dan meminta aku untuk melanjutkan  tahapan detail desain."

"Terus?"

"Terus ya, aku mau bilang terima kasih atas bimbingan kakak. Terima kasih sudah mau selalu aku repotkan. Selanjutnya semuanya akan ku godok bersama teman-teman."

"Wah, bagus itu! Terus kamu mau bilang kalau aku sudah kamu campakkan karena aku sudah tidak kamu butuhkan lagi?" katanya dengan wajah memelas.

"Eh, tidak. Tidak. Bukan itu sungguh!"

Dia tertawa terkekeh sampai ada bulir air mata yang terbit di ujung kelopak matanya.

"Nia, Nia. Okelah. Selamat ya, untuk lolosnya idemu dengan berbagai argumentasi rasional yang kamu siapkan. Sejujurnya aku malah tidak banyak repot. Kamu sudah tahu apa yang kamu mau buat. Hanya kamu kurang percaya diri saja. Padahal kamu itu sebenarnya cerdas. Aku saja kagum padamu," katanya sambil menatap mataku dalam dan sukses membuatku ingin luluh dalam pelukan hangatnya.

"Selanjutnya, kamu bisa kapanpun datang ke tempat ini untuk mengajakku diskusi. Kamu dan teman-temanmu!"

Aku menarik nafas legah. "Makasih banyak kak. Sudah. Itu saja. Aku cuman mau bilang itu saja, kak." Aku langsung berdiri. Tak tahan berada terlalu dekat dengannya berlama-lama apalagi tatapan matanya itu.

Tiba-tiba, dia meraih tanganku. Dan untuk pertama kali aku mendengarnya berkata dengan nada yang sangat berbeda: "Terima kasih. Terima kasih sudah datang pagi ini"

Aku terdiam. Suasana menjadi sangat kikuk. Lalu ia bangun. Masih menggenggam tanganku dengan hangat, sampai dering ponselnya memisahkan kami.

Dia berjalan meninggalkanku sambil melambaikan tangan dan mengangkat ponselnya.

"Halo, sayang!" katanya.

Dan untuk pertama kalinya, bulir air mata menetes di pipinya.

Ende, Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun