Mohon tunggu...
evi wiwid
evi wiwid Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi liburan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Analisis Perkawinan Beda Agama di Indonesia

27 Mei 2024   09:02 Diperbarui: 3 Juni 2024   07:19 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Pasal 1 UUP, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa. Kata "ikatan lahir batin" dalam pengertian tersebut di maksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya dengan adanya ikatan lahir saja atau hanya dengan ikatan batin saja, namun harus keduanya ada dalam perkawinan. Ikatan lahir dapat dimaknai bahwa perkawinan adalah ikatan yang dapat dilihat, artinya adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Perkawinan sebagai salah satu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum dan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum penting sekali hubungannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum itu.

Perkawinan beda agama berdasarkan pada UUP Pasal 2 ayat (1) dan (2). Jika dilihat pada Pasal 2 ayat 1 UUP, sahnya suatu perkawinan adalah menurut hukum agamanya atau keyakinannya masing-masing. Pada ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku. Dengan itu, maka dapat diketahui bahwa dalam melakukan perkawinan di wajibkan seagama agar pelaksaannya sesuai dengan aturan hukum dan tidak terjadi hambatan maupun penyelewengan agama, karena dalam pelaksanaannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Perkawinan beda agama tidak boleh di laksanakan dan tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah segama barulah perkawinan dapat di langsungkan dan dianggap sah, jika dicatatkan dalam pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUP.

Dalam Pasal ini terdapat penegasan bahwa perkawinan baru dapat di katakan sebagai perbuatan hukum yang sah apabila dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 UUP bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayan itu.

Perkawinan Beda Agama menurut pemahaman para ahli dan praktisi hukum dalam UUP secara garis besar dapat dijumpai tiga pandangan. Pertama, perkawinan beda agama tidak di benarkan dan merupakan pelanggaran pada UUP Pasal 2 ayat (1): Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan Pasal 8 huruf (f): bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Kedua, UUP tidak mengatur masalah perkawinan beda gama. Kedua pendapat itu, ada kelompok yang berpendapat bahwa UUP perlu disempurnakan, karena mengingat adanya kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama. Argumentasi yang dibangun kelompok itu didasarkan pada empat hal, yaitu:

UUP tidak mengatur perkawinan beda agama;

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, sehingga perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan;

Persoalan agama adalah bagian dari hak asasi seseorang;

Kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena dari ketentuan pasal diatas dapat dikatakan bahwa UUP tidak mengenal perkawinan berbeda agama karena hukum masing-masing agama melarang adanya perkawinan dengan perbedaan agama.

  Perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi syarat-syarat materil dan syarat-syarat formil. Di Indonesia syarat sahnya perkawinan di atur dalam UU Perkawinan yang berdasarkan Pasal 2 maka perkawinan sah secara hukum jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat materil dari perkawinan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah adalah syarat sah menurut agama masing-masing pihak dan jika kemudian perkawinan akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali merujuk pada hukum agama masing-masing pihak. Syarat formil perkawinan terkait dengan masalah pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU Perkawinan dan juga peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUP, bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sehingga lembaga agama diberikan wewenang untuk mengesahkan perkawinan. Sedangkan perkawinan beda agama dipandang dari hukum agama islam dan hukum non islam pada dasarnya tidak diperkenankan untuk dilaksanakan, sehingga apabila ada perkawinan beda agama yang dilaksanakan maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Karena, perkawinan beda agama yang dilaksanakan itu tidak memenuhi Pasal 2 ayat (1) UUP dan berakibat tidak dapat dicatatkan pada instansi yang berwenang baik Kantor Urusan Agama (KUA) untuk yang beragama islam ataupun Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk non islam, maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh Negara. Tata cara pelaksaan dan Pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana di tentukan dalam pasal 2 s/d 9 PP No. 9 Tahun 1975.

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemeberitahuan serta tidak terdapat suatu halangan untuk melangsungkan perkawinan, maka Pegawai Pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan. Namun adakalanya terjadi penolakan pelaksanaan dan pencatatan perkawinan baik di KCS ataupun di KUA karena masing-masing instansi yang menyelenggarakan perkawinan itu dianggap tidak sesuai dengan UUP yang berlaku di Indonesia. Terdapat beberapa perkawinan yang ditolak, salah satunya perkawinan beda agama yang ditolak untuk dilaksanakan dan dicatatkan oleh KCS ataupun KUA, alasan penolakan pelaksanaan dan pencatatan itu dikarenakan calon pasangan berbeda agamanya sehingga KCS ataupun KUA menilai bahwa perkawinan beda agama tidak memenuhi ketentuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUP.

Tidak adanya pengaturan perkawinan antar agama secara tegas dan eksplisit dalam UUP termasuk pencatatannya mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum, sehingga jika benar-benar terjadi kasus seperti itu, maka status hukum perkawinan tersebut menjadi tidak jelas dan dapat memaksa orang untuk berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak untuk menghindari permasalahan yuridis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun