Terik di luar sana tetap sampai ke dalam berupa udara panas yang cukup menyengat. Membuat tidur siang penuh dengan kegiatan menyeka keringat dan mencari angin. Sepertinya lelap tak lagi cocok, duduk dan menulis beberapa kalimat di depan kipas mungkin cukup untuk membuat pikiran ini penat dan terpejam dengan sendirinya.
Para jari masih terpaku di atas huruf-huruf. Menyentuh dan mengangkatnya ke langit-langit. Mata melenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan. Semilir kipas angin memberatkan hembusan napas. Apa kiranya yang bisa ditulis siang ini?
Mungkin, membaca adalah ide yang baik untuk meliput ide yang terpendam. Kubuka file-file tulisan lama. Beberapa menit aku memilah apa yang akan kubaca. Mulai dari memilih genre tulisan lalu menentukan tulisan mana yang ingin kusambangi. Awalnya puisi terlihat menarik. Tapi, beberapa cerita pendek yang jarang dibuat tampaknya lebih segar.
Jadilah aku memilih kisah pendek untuk dibaca. Kutemukan sebuah cerita lama yang pernah memenuhi lembar-lembar kosong tempo dulu. Jelas tak usang karna paparannya menjulang vertikal. Tidak seperti lembar-lembar kertas yang nyata. Lagipula ia hanya memiliki satu pembaca, yakni penulisnya. Kusorot judul di muka, lalu menyusurinya perlahan.
Jejak langkah si teman malam, kabar ini kutemukan sesaat setelah kesunyian melesat. Kudengar seseorang bersuara. Memecah keheningan dalam suasana yang tercipta.
"Berapa jam lagi pagi akan datang?"
"Tolong hitungkan!"
"Jika aku melamun, tolong kejutkan. Jika aku tertidur, tolong bangunkan.
Apa yang harus aku lakukan ... tolong bisikkan!"
Se-abad yang lalu aku menemukannya. Dia hadir dalam hitam dan putih, namun bukan sebagai monokrom. Melainkan harmoni yang lebih hangat daripada corak mentari di dinding sekolah.Tentu saja dengan rasa manis yang tidak membosankan.
Se-windu sebelum itu, aku menyukai jika 'gelap' yang lebih dominan perihal rasa. Tapi tetap berporos pada perpaduan antara pahit dan manis. Ketika harmoni hadir, aku beralih. Dan dialah tokoh se-abad.
Meski ia tak panas atau hangat, ia mampu menghangatkan. Bagaimanapun, bukan itu poin utamanya. Yang penting dia bisa membuatku terjaga. Dan ternyata terus bisa. Hingga akhirnya ia berhenti ada.
Kehilangan sudah tentu. Tahun ini baru tahun pertamaku bertemu dengan harmoni, dan menjadi tahun titik balik untuk kembali pada teman malam, tokoh se-windu yang lebih sederhana, tapi setia. Ampuh pula.
Dinamika untuk kembali pada tokoh se-windu tidak terlalu rumit. Tapi cukup berbekas untuk sesuatu yang ingin dilupakan. Terutama soal rasa. Kombinasi memberikan bagian dari setiap yang berbeda. Tapi, mau bagaimana  jika hasil dari perpaduan itu telah tiada.
Pada suatu malam di tahun yang sama. Aku dan teman malamku, kembali berjumpa. Ia kusapa dalam suasana yang hangat dan bersahabat. Rasanya tidak berubah, masih tetap seperti se-windu lalu, saat pertama kali ia mengalir di jalur perhubungan cap dan penampungan.
Tunggu dulu, ini kenangan di malam se-abad yang lalu. Bukan hari ini. Dan jika kuingat kembali, pekatnya begitu sempurna dalam gelap. Aromanya menyingkirkan waktu yang cepat. Dan aku suka, sampai hari ini.
Pahitnya teredam oleh butir-butir halus putih yang mudah larut. Entah mengapa, saat itu aku merasa bangga. Meski tak sedang bahagia, aku merasa jatuh cinta sepanjang tema tiap kali berjumpa dengannya.
Pertemuanku dengan tokoh se-windu se-abad lalu terabadikan sangat singkat. Mungkin karna memoar saat meneguknya di malam-malam sebelum se-windu dulu cukup buruk. Meskipun ia telah menjadi teman malam yang menjagaku, pertemuan kami berhenti sampai di sini.
Setelah sebuah rasa bangga itu, berhenti-lah yang menjadi kata penutup perjumpaan kami. Ya sudah, sejak se-abad lalu, malamku tidak pernah lagi ditemani.
Tapi malam ini, setelah se-abad lamanya, tiba-tiba aku rindu berat. Sangat berat. Rindu pada nyanyian gelas kaca. Rindu pada gelombang pekat dengan poros dalam yang memanjakan mata. Rindu pada aroma menyengat yang mengundang rasa hangat.
Pedih-perih di malam seratus delapan tahun lalu telah dikalahkan oleh rindu yang besarnya sejagat. Padamu teman malamku.
Saat sekitarku telah terlihat lelah. Aku membuka pintu dan pergi mencari tokoh seratus delapan tahun itu. Setelahnya, tak perlu menunggu lama harumnya mempesona dan aku pun terperdaya. Manja dengan suasana. Berkat kehadirannya aku pasti terjaga lebih lama.
Pekerjaan yang melelahkan kalah dengan nostalgia bersama tokoh seratus delapan tahunku. Jika sudah begini, aku pasti lupa waktu, tak ingat pagi, dan kehilangan kantuk.
Jangan terlalu bingung memikirkan se-windu, se-abad atau seratus delapan tahun itu kawan. Mereka hanya waktu yang tak bisa diulang seperti pada masanya. Jangan pula bertanya hidupku sudah berapa lama. Ini hanya sebuah cerita yang sederhana.
Beberapa waktu lalu, aku tak menyangka jika dia rupanya telah menjadi prioritas di antara sederet hal sederhana lainnya. Tokoh seratus delapan tahunku itu tenar dalam celoteh-celoteh guyon yang tampak asik. Sementara aku yang dulu selalu ditemaninya seolah acuh meski sesungguhnya butuh.
Sudahlah, membaca kisah lama seakan mengorek kejadian nyata yang fiksi adanya. Kebebasan telah terkekang oleh mata yang mengering. Matahari juga semakin tinggi, kumandang berselang pertanda cerita harus diakhiri. Aku beranjak dan meraih kesejukan dengan rencana rebahan di waktu setelahnya. Tanpa berharap mimpi datang dan menjadi reuni cerita lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H