Pekerjaan yang melelahkan kalah dengan nostalgia bersama tokoh seratus delapan tahunku. Jika sudah begini, aku pasti lupa waktu, tak ingat pagi, dan kehilangan kantuk.
Jangan terlalu bingung memikirkan se-windu, se-abad atau seratus delapan tahun itu kawan. Mereka hanya waktu yang tak bisa diulang seperti pada masanya. Jangan pula bertanya hidupku sudah berapa lama. Ini hanya sebuah cerita yang sederhana.
Beberapa waktu lalu, aku tak menyangka jika dia rupanya telah menjadi prioritas di antara sederet hal sederhana lainnya. Tokoh seratus delapan tahunku itu tenar dalam celoteh-celoteh guyon yang tampak asik. Sementara aku yang dulu selalu ditemaninya seolah acuh meski sesungguhnya butuh.
Sudahlah, membaca kisah lama seakan mengorek kejadian nyata yang fiksi adanya. Kebebasan telah terkekang oleh mata yang mengering. Matahari juga semakin tinggi, kumandang berselang pertanda cerita harus diakhiri. Aku beranjak dan meraih kesejukan dengan rencana rebahan di waktu setelahnya. Tanpa berharap mimpi datang dan menjadi reuni cerita lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H