Mohon tunggu...
Runive
Runive Mohon Tunggu... Penulis - Evi Nur Humaidah

Apalagi kalau bukan menulis?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petik Kenang di Waktu Siang

6 Januari 2019   14:12 Diperbarui: 21 Januari 2019   20:37 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terik di luar sana tetap sampai ke dalam berupa udara panas yang cukup menyengat. Membuat tidur siang penuh dengan kegiatan menyeka keringat dan mencari angin. Sepertinya lelap tak lagi cocok, duduk dan menulis beberapa kalimat di depan kipas mungkin cukup untuk membuat pikiran ini penat dan terpejam dengan sendirinya.

Para jari masih terpaku di atas huruf-huruf. Menyentuh dan mengangkatnya ke langit-langit. Mata melenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan. Semilir kipas angin memberatkan hembusan napas. Apa kiranya yang bisa ditulis siang ini?

Mungkin, membaca adalah ide yang baik untuk meliput ide yang terpendam. Kubuka file-file tulisan lama. Beberapa menit aku memilah apa yang akan kubaca. Mulai dari memilih genre tulisan lalu menentukan tulisan mana yang ingin kusambangi. Awalnya puisi terlihat menarik. Tapi, beberapa cerita pendek yang jarang dibuat tampaknya lebih segar.

Jadilah aku memilih kisah pendek untuk dibaca. Kutemukan sebuah cerita lama yang pernah memenuhi lembar-lembar kosong tempo dulu. Jelas tak usang karna paparannya menjulang vertikal. Tidak seperti lembar-lembar kertas yang nyata. Lagipula ia hanya memiliki satu pembaca, yakni penulisnya. Kusorot judul di muka, lalu menyusurinya perlahan.

Jejak langkah si teman malam, kabar ini kutemukan sesaat setelah kesunyian melesat. Kudengar seseorang bersuara. Memecah keheningan dalam suasana yang tercipta.

"Berapa jam lagi pagi akan datang?"

"Tolong hitungkan!"

"Jika aku melamun, tolong kejutkan. Jika aku tertidur, tolong bangunkan.

Apa yang harus aku lakukan ... tolong bisikkan!"

Se-abad yang lalu aku menemukannya. Dia hadir dalam hitam dan putih, namun bukan sebagai monokrom. Melainkan harmoni yang lebih hangat daripada corak mentari di dinding sekolah.Tentu saja dengan rasa manis yang tidak membosankan.

Se-windu sebelum itu, aku menyukai jika 'gelap' yang lebih dominan perihal rasa. Tapi tetap berporos pada perpaduan antara pahit dan manis. Ketika harmoni hadir, aku beralih. Dan dialah tokoh se-abad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun