Darel datang di Minggu malam. Membawa oleh-oleh kue bolu untuk Mama. Penampilannya malam ini, tidak seperti di hari-hari lain lebih yang sering menggunakan kaos dan celana belel. Dengan kemeja berwarna abu-abu dan celana kain, ia lebih kelihatan lebih tampan dan berwibawa.
Mama dan Papa menyambutnya ramah. Mereka berbincang seperti sudah kenal lama. Aku pamit ke dapur untuk membuat minuman dan cemilan, meninggalkan tiga orang itu yang sedang mengobrol dengan hangat.Â
Darel, kami bertemu dua bulan yang lalu di tempat yang temaram dalam keadaan aku yang kacau. Lampu jalan dan cahaya bulan tidak cukup menerangi gelap malam ketika itu. Aku baru saja diputuskan oleh Arie hanya karena meminta kepastian hubungan kami. Lima tahun bukan waktu yang singkat berpacaran, dan kurasa sudah saatnya kami saling berkomitmen.
Arie menolaknya dengan alasan-alasan yang membuatku muak. Ia masih belum siap untuk menikah. Ia masih butuh waktu yang panjang untuk ke jenjang itu. Lalu, apa gunanya ia memacariku? Atau seumur hidup kami hanya berpacaran tanpa menikah? Arie yang terus kudesak untuk segera melamarku, lebih memilih hubungan ini berakhir. Lima tahun itu tidak berarti baginya, berbeda denganku yang meraung dalam hati, ia membuatku patah hati.
"Nona, apa ada keluargamu meninggal? Kenapa terlihat sangat sedih?"
Pria itu apa ia tidak tahu, sedih bukan saja karena berita meninggal dunia, tapi banyak, salah satunya karena putus cinta. Di usia 27 tahun dengan mempunyai pekerjaan tetap, seharusnya ... aku sudah menikah. Nyatanya aku salah mengawali sebuah hubungan yang kupikir ia akan memberiku anak-anak yang lucu.
Pria itu, sejak kapan ada di sini, mungkin karena sibuk mengeja luka, tidak kusadari kedatangannya. Bahkan motornya yang terparkir di sisi jalan, sama sekali tidak terdengar bunyinya.Â
Pria itu mendekat, ikut duduk di sampingku, di tepi jalan yang sepi. Jarak kami teramat dekat, tanpa permisi, aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Aroma sensual dari parfumnya menyerbu penciumanku. Sedikit menenangkan.
"Aku diputuskan. Hu-hu-hu," ucapku disertai sesenggukan. Air mataku tumpah tanpa bisa kutahan.Â
"Cuma pacar ditangisi," timpalnya dengan nada yang angkuh. "Dia bukan siapa-siapamu, tidak pantas untuk ditangisi. Suami bukan, keluarga bukan."
Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya. Menatap wajahnya yang tidak menunjukkan simpati dengan nasibku. " Kamu tidak pernah putus cinta, ya?"
Pria itu menanggapi dengan tawa kecil. Mengesalkan sekali. Diambilnya sebungkus rokok di saku jaketnya, lalu mencabut sebatang dan menyalakan pemantik. Ia menghisap kreteknya kuat, kepulan asapnya ia buang di udara.
"Pernah, tapi percuma menangisinya."
"Kalian kaum lelaki memang bedebah. Putus cinta itu dianggap biasa."
"He, jangan menyamakan kasusku dengan kasusmu, Nona."
Udara malam membuatku kedinginan. Dress di bawah lutut sama sekali tidak bisa memberi perlindungan pada badanku. Aku mendekap tubuhku yang menggigil. Pria bercambang itu masih sibuk dengan rokoknya.Â
"Pakai ini, biar tidak dingin." Ia melepas jaket jeans-nya dari tubuhnya lalu menyodorkan ke aku. Jaketnya bercampur aroma parfum dan rokok, tapi terasa pas di penciumanku. Tanpa diminta dua kali, segera kukenakan jaketnya.
"Lain kali kalau putus cinta, jangan ke tempat sepi."
"Bisakah kau tidak mengejekku, Tuan"
Buruk sekali nasibku hari ini, sudah kehilangan kekasih, bertemu laki-laki yang menyebalkan. Kulirik ponsel, sudah jam 9 malam. Kubuka aplikasi ojol, tapi sinyal kurang bagus. Aku berkali-kali sial hari ini.
"Sudah hampir larut, Nona. Mari kuantar pulang. Aku khawatir, jangan sampai kau bunuh diri."
Ya, Tuhan, kenapa makhluk tampan di sampingku ini begitu menyebalkan. Aku ingin sekali mencabik-cabik mulutnya yang tidak beretika itu. Dari cahaya temaram pun, aku bisa mengakuinya tampan. Rahang tegas dengan janggut di dekat dagu yang menunjukkan kematangannya sebagai laki-laki. Tubuh tinggi tegap dengan rambut pendek.
"Aku bukan orang jahat. Kalau tidak mau, aku pergi. Kabarnya di sini sering ditemui wanita berambut panjang dengan kaki tidak menyentuh tanah."
"Baiklah." Aku tidak punya pilihan lain. Aku mengutuk diri, kenapa bisa tersesat ke taman yang sudah lama ditutup. Tidak ada kendaraan yang lewat dan jauh dari pemukiman warga. Patah hati memang sejahat itu.
Di sepanjang perjalanan dengan setiap bahagia yang pernah ada dengan Arie, terkenang satu-satu di kepala. Motor besar yang dikemudikan pria itu seperti melambat jalannya, dicegat oleh kenangan-kenangan pahit yang mungkin akan abadi di catatan hidupku.
"Kita belum berkenalan, Nona. Namaku Darel. Darellano"
Darel---pria itu menurunkanku di alamat yang kusebutkan tadi, tentunya di depan rumahku. Ia pemuda yang manis ternyata, tidak seperti kekhawatiranku konyolku di jalan tadi.
"Mairy Sofia. Kau bisa memanggilku May."
"Cantik. Seperti pemiliknya."
Bibirku melengkung sedikit, mungkin karena pujian Darel. Kupikir berhari-hari aku tidak akan tersenyum, nyatanya hanya pujian sesederhana itu aku bisa tertawa.
"Terimakasih untuk hari ini, Darel. Seandainya tidak ada kamu, saya akan bertemu perempuan yang kakinya tidak menapak di tanah itu."
"Hei, saya hanya bercanda."
"Ha, kau hampir bikin jantungku copot tadi. Sialan kau."
Kami tertawa bersama di malam hening yang mungkin semua penghuni komplek-ku telah lelap bersama mimpi-mimpinya.
"May, boleh minta nomor kamu?"
Sebelum Darel pergi, kusebutkan nomor ponselku dengan harapan bahwa ini pertemuan pertama yang akan menjadi pertemuan-pertemuan di hari-hari berikutnya. Aku senang dengannya yang konyol.
Dan harapanku terkabul, ia rutin menghubungi dengan cerita-cerita konyolnya yang menghiburku di malam-malamku yang sepi.Â
Arie---ia menghilang di pikiranku bersama kemarau berganti hujan. Benar yang dikatakan Darel, ia bukan siapa-siapaku, tak berhak untuk kutangisi.
Hari-hari indah yang terlalui di dua bulan ini dengan Darel mengalir begitu saja saat kusajikan tiga gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng. Kabar Darel pagi tadi yang ingin bertemu orang tuaku cukup mengagetkan. Bermacam-macam pikiran berkelelindan di kepalaku.
"Pak, Ibu. Saya ingin mengatakan sesuatu yang penting malam ini."
"Apa itu, Nak Darel?" tanya Papa.
"Saya ingin membawa orang tuaku Minggu depan ke sini, untuk melamar Mairy."
Kulihat wajah Papa dan Mama tersenyum, ia tampak bahagia. Kejutan yang diberikan Darel malam ini, paling indah di sepanjang hidupku.
***
"Ini terlalu cepat, Rel. Kita baru kenal dua bulan, pacaran baru satu minggu."
Dua hari setelah itu, kuajak Darel bertemu di cafetaria setelah pulang kantor. Ia yang punya job pemotretan model busana, agak terlambat datang. Kumaklumi, ia seorang fotografer dengan jam terbang tinggi.
"Aku takut kau mau bunuh diri lagi, seperti yang lalu ..."
Kucubit pinggangnya dengan keras. Tapi ia malah meraih tanganku dan menggenggamnya lalu dikecup. Romantis sederhana seperti ini tidak pernah kudapatkan dari Arie. "May, aku tidak perlu waktu untuk lama untuk melamarmu."
Aku takmampu berkata-kata. Titik-titik air mata yang jatuh di pipi adalah keharuan dan kebahagiaan.Â
"Aku jatuh cinta padamu, May. Itu alasannya agar kita cepat .... satu ranjang."
Dalam sekejap, tawa Darel pecah. Ia memang mengesalkan, kan? Di saat aku terharu, ia malah bercanda. Bersamanya mungkin, hari-hari yang terlewati bersamanya akan dipenuhi tawa.
"May, kau juga cinta padaku, kan? Jangan malu mengatakannya."
"Iya, aku sangat jatuh cinta padamu. Tidak pernah memiliki cinta sebesar ini sebelumnya."
Kami saling menggenggam tangan meninggalka kafetaria. Darel sesekali membisikkan kata cinta. Tuhan
 begitu sangat baik lada aku. Mematahkan hatiku, lalu dipertemukan pria tampan bernama Darrelio.Â
Tidak selalu di sebuah tempat yang indah kita menemukan cinta yang sebenarnya, dan tidak selalu pula sedikitnya pertemuan untuk aku dan kau menjadi satu. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H