Pria itu menanggapi dengan tawa kecil. Mengesalkan sekali. Diambilnya sebungkus rokok di saku jaketnya, lalu mencabut sebatang dan menyalakan pemantik. Ia menghisap kreteknya kuat, kepulan asapnya ia buang di udara.
"Pernah, tapi percuma menangisinya."
"Kalian kaum lelaki memang bedebah. Putus cinta itu dianggap biasa."
"He, jangan menyamakan kasusku dengan kasusmu, Nona."
Udara malam membuatku kedinginan. Dress di bawah lutut sama sekali tidak bisa memberi perlindungan pada badanku. Aku mendekap tubuhku yang menggigil. Pria bercambang itu masih sibuk dengan rokoknya.Â
"Pakai ini, biar tidak dingin." Ia melepas jaket jeans-nya dari tubuhnya lalu menyodorkan ke aku. Jaketnya bercampur aroma parfum dan rokok, tapi terasa pas di penciumanku. Tanpa diminta dua kali, segera kukenakan jaketnya.
"Lain kali kalau putus cinta, jangan ke tempat sepi."
"Bisakah kau tidak mengejekku, Tuan"
Buruk sekali nasibku hari ini, sudah kehilangan kekasih, bertemu laki-laki yang menyebalkan. Kulirik ponsel, sudah jam 9 malam. Kubuka aplikasi ojol, tapi sinyal kurang bagus. Aku berkali-kali sial hari ini.
"Sudah hampir larut, Nona. Mari kuantar pulang. Aku khawatir, jangan sampai kau bunuh diri."
Ya, Tuhan, kenapa makhluk tampan di sampingku ini begitu menyebalkan. Aku ingin sekali mencabik-cabik mulutnya yang tidak beretika itu. Dari cahaya temaram pun, aku bisa mengakuinya tampan. Rahang tegas dengan janggut di dekat dagu yang menunjukkan kematangannya sebagai laki-laki. Tubuh tinggi tegap dengan rambut pendek.