Kami tertawa bersama di malam hening yang mungkin semua penghuni komplek-ku telah lelap bersama mimpi-mimpinya.
"May, boleh minta nomor kamu?"
Sebelum Darel pergi, kusebutkan nomor ponselku dengan harapan bahwa ini pertemuan pertama yang akan menjadi pertemuan-pertemuan di hari-hari berikutnya. Aku senang dengannya yang konyol.
Dan harapanku terkabul, ia rutin menghubungi dengan cerita-cerita konyolnya yang menghiburku di malam-malamku yang sepi.Â
Arie---ia menghilang di pikiranku bersama kemarau berganti hujan. Benar yang dikatakan Darel, ia bukan siapa-siapaku, tak berhak untuk kutangisi.
Hari-hari indah yang terlalui di dua bulan ini dengan Darel mengalir begitu saja saat kusajikan tiga gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng. Kabar Darel pagi tadi yang ingin bertemu orang tuaku cukup mengagetkan. Bermacam-macam pikiran berkelelindan di kepalaku.
"Pak, Ibu. Saya ingin mengatakan sesuatu yang penting malam ini."
"Apa itu, Nak Darel?" tanya Papa.
"Saya ingin membawa orang tuaku Minggu depan ke sini, untuk melamar Mairy."
Kulihat wajah Papa dan Mama tersenyum, ia tampak bahagia. Kejutan yang diberikan Darel malam ini, paling indah di sepanjang hidupku.
***