"Aku bukan orang jahat. Kalau tidak mau, aku pergi. Kabarnya di sini sering ditemui wanita berambut panjang dengan kaki tidak menyentuh tanah."
"Baiklah." Aku tidak punya pilihan lain. Aku mengutuk diri, kenapa bisa tersesat ke taman yang sudah lama ditutup. Tidak ada kendaraan yang lewat dan jauh dari pemukiman warga. Patah hati memang sejahat itu.
Di sepanjang perjalanan dengan setiap bahagia yang pernah ada dengan Arie, terkenang satu-satu di kepala. Motor besar yang dikemudikan pria itu seperti melambat jalannya, dicegat oleh kenangan-kenangan pahit yang mungkin akan abadi di catatan hidupku.
"Kita belum berkenalan, Nona. Namaku Darel. Darellano"
Darel---pria itu menurunkanku di alamat yang kusebutkan tadi, tentunya di depan rumahku. Ia pemuda yang manis ternyata, tidak seperti kekhawatiranku konyolku di jalan tadi.
"Mairy Sofia. Kau bisa memanggilku May."
"Cantik. Seperti pemiliknya."
Bibirku melengkung sedikit, mungkin karena pujian Darel. Kupikir berhari-hari aku tidak akan tersenyum, nyatanya hanya pujian sesederhana itu aku bisa tertawa.
"Terimakasih untuk hari ini, Darel. Seandainya tidak ada kamu, saya akan bertemu perempuan yang kakinya tidak menapak di tanah itu."
"Hei, saya hanya bercanda."
"Ha, kau hampir bikin jantungku copot tadi. Sialan kau."