Bunyi dinding yang patah, bunyi lantai yang retak, suara kursi yang terlempar ke sana kemari semakin menguatkan pemikiranku, bahwa kematian sebentar lagi akan datang. Aku bahkan merasa Malaikat Maut sudah berjalan ke arahku.Â
Mataku masih memejam. Aku tidak sanggup jika gelombang datang menghancurkan seluruh isi kapal yang akan mengirim kami ke akhirat.
"Buka matamu, tidak akan terjadi apa-apa."
Aku berusaha membuka mata, peganganku tetap erat di besi sekat antara ruang duduk dan ruang tidur. Laki-laki berwajah serupa ayahku mendatangiku dan duduk di depanku. Dari pakaian yang dikenakannya, ia adalah kapten kapal. Ia tersenyum, lalu berdiri pergi menuju ruang kemudi.
Keajaiban terjadi. Seketika angin berhenti, bersamaan dengan hujan. Cuaca mulai cerah kembali. Seisi kapal berseru hamdalah. Pria itu, sering datang di saat aku dalam masalah. Apa badai ini berhenti karena kedatangannya?
Lima bulan lalu, saat ketika ke kampus, aku lupa memakai helm karena terburu-buru. Apesnya, terjadi sweeping di tengah jalan. Ketika motorku ingin diamankan oleh seorang polisi muda, ia datang. Polisi muda itu tidak jadi menahan motorku, setelah pria itu berbicara dengannya.
Pria gagah, mungkin berusia sekitar 30 puluh tahun. Misterius dan seorang penyelamat untuk Kainawa.
Setelah kapal merapat di pelabuhan yang dituju, aku meminta izin untuk masuk ke ruang kemudi. Mencari sosok yang tadi mendatangiku, tapi tak kutemukan.Â
Aku menanyakannya pada kapten, pada awak kapal lainnya dan memberi tahu ciri-cirinya, tapi mereka tidak mengenalnya.Â
Aneh.
***