Mohon tunggu...
Evie Usman
Evie Usman Mohon Tunggu... Guru - Yang berkali-kali jatuh cinta padamu

Aku wajib untuk tidak melukai hati orang-orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjaga dari Dunia Lain

12 Juni 2023   20:59 Diperbarui: 15 Juni 2023   19:46 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selalu sebut namanya, di manapun kau berada!

***

Aku menyumpahi langit yang tiba-tiba memperdengarkan gemuruh dan petir di siang ini, lalu menurunkan hujan lebat beserta angin kencang. Pagi tadi cuaca baik-baik saja, lalu kenapa siang ini langit seperti ingin menghancurkan bumi saja.

Satu jam lalu, saat naik ke kapal Ferry langit begitu bersih tanpa ada awan yang merusak keindahannya. Lalu, kenapa sekarang terjadi sebaliknya? Langit seluruhnya menghitam.

Aku mulai merasakan kapal Ferry yang kutumpangi bersama ratusan penumpang lainnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Sudah menjadi hukum alam; jika angin kencang bertiup akan menimbulkan gelombang di lautan.

Kulirik jam di ponsel, masih menyisakan dua jam perjalanan lagi. Masih lumayan lama. Doa-doa mulai kurapal, meminta pada yang punya kuasa untuk menghentikan hujan dan angin yang menguasai bumi saat ini. 

Kulihat penumpang lainnya juga terlihat panik. Angin semakin menggila. Pemberitahuan dari awak kapal bahwa terjadi badai, semakin membuat nyaliku menciut. Mungkin seisi kapal lainnya merasakan ketakutan yang sama. Beberapa ABK nampak menenangkan penumpang yang histeris. Siapa yang akan tenang berada di situasi seperti ini.

Bagaimana jika kapal tenggelam? 

Aku mulai mengingat dosa-dosaku. Pernah memfitnah Anggie mengambil uang di dompetku padahal aku hanya lupa menaruhnya. Pernah berbohong pada Ibuku kerja tugas di rumah Rita, padahal aku lagi pergi kencan dengan Ai---pacarku. Pernah menindas Rudi agar mengerjakan makalahku. Masih banyak lagi dosa-dosa lainnya yang tak bisa kusebut. Belum lagi, kewajiban salat lima waktu sering kutinggal. 

Kapal semakin oleng. Seluruh penumpang hanya bisa pasrah di ombang-ombingkan oleh kapal yang bergerak mengikuti arah gelombang. Tangisan mulai terdengar di mana-mana. Situasi makin mencekam. 

Aku merayap mencari pegangan, memejamkan mata sambil tetap berdoa. Bukan lagi doa keselamatan, tapi Tuhan mengampuni segala dosaku agar tidak dimasukkan ke neraka.

Bunyi dinding yang patah, bunyi lantai yang retak, suara kursi yang terlempar ke sana kemari semakin menguatkan pemikiranku, bahwa kematian sebentar lagi akan datang. Aku bahkan merasa Malaikat Maut sudah berjalan ke arahku. 

Mataku masih memejam. Aku tidak sanggup jika gelombang datang menghancurkan seluruh isi kapal yang akan mengirim kami ke akhirat.

"Buka matamu, tidak akan terjadi apa-apa."

Aku berusaha membuka mata, peganganku tetap erat di besi sekat antara ruang duduk dan ruang tidur. Laki-laki berwajah serupa ayahku mendatangiku dan duduk di depanku. Dari pakaian yang dikenakannya, ia adalah kapten kapal. Ia tersenyum, lalu berdiri pergi menuju ruang kemudi.

Keajaiban terjadi. Seketika angin berhenti, bersamaan dengan hujan. Cuaca mulai cerah kembali. Seisi kapal berseru hamdalah. Pria itu, sering datang di saat aku dalam masalah. Apa badai ini berhenti karena kedatangannya?

Lima bulan lalu, saat ketika ke kampus, aku lupa memakai helm karena terburu-buru. Apesnya, terjadi sweeping di tengah jalan. Ketika motorku ingin diamankan oleh seorang polisi muda, ia datang. Polisi muda itu tidak jadi menahan motorku, setelah pria itu berbicara dengannya.

Pria gagah, mungkin berusia sekitar 30 puluh tahun. Misterius dan seorang penyelamat untuk Kainawa.

Setelah kapal merapat di pelabuhan yang dituju, aku meminta izin untuk masuk ke ruang kemudi. Mencari sosok yang tadi mendatangiku, tapi tak kutemukan. 

Aku menanyakannya pada kapten, pada awak kapal lainnya dan memberi tahu ciri-cirinya, tapi mereka tidak mengenalnya. 

Aneh.

***

Di sinilah aku berada, tempat kelahiran ayahku. Beberapa kali nenek menghubungi lewat telepon untuk datang ke kampungnya jika liburan semester. Bukan apa, perjalanan ke sini cukup jauh, harus lewat darat dan laut. Itulah yang membuatku malas mengunjunginya. Hanya ayah dan ibu setahun sekali datang ke sini.

Nenek tinggal sendiri. Di usianya yang 60 tahun, ia masih tampak begitu sehat dan cekatan bekerja. Anaknya hanya dua orang, ayahku dan Tante Liana yang juga tinggal jauh dari nenek. Semenjak berada di rumahnya, lidahku di manjakan olehnya. Ayam kampung lawara', kue Tape ketan hitam, cendol beras dan penganan lainnya yang enak. Sepertinya di liburan-liburan berikutnya, aku akan berkunjung ke sini.

Di hari kedua---di sore hari---aku yang baru saja pulang dari memetik Rambutan di kebun belakang rumah, melihat nenek minum teh bersama pria yang sering menemuiku di teras samping. Ia menoleh padaku dan menyunggingkan bibir, aku membalas senyumannya.

Rasa penasaranku akhirnya terjawab. Laki-laki itu pasti pulang menemui nenek. Apakah ia anaknya nenek? Berarti ia pamanku.

Aku buru-buru masuk ke rumah, meletakkan buah di keranjang buah dan mandi dengan terburu-buru. Jika bukan karena badanku gatal-gatal akibat di gigit semut di kebun, aku langsung menemui pria itu.

Kutemui nenek di teras samping, tapi laki-laki itu tidak ada di sana. Mataku mencari ke segala arah, tapi tetap tidak ada.

"Nek, laki-laki yang duduk di depan nenek, ke mana?"

"Laki-laki? Tidak ada, Kainawa. Dari tadi nenek sendiri di sini." Nenek tampak kebingungan.

"Ada, Nek. Ia duduk di samping nenek. Bahkan ia tersenyum sama saya."

"Memang seperti apa yang duduk dekat nenek?"

"Laki-laki. Mirip ayahku. Cuma dia masih muda."

Aku melihat ada perubahan pada wajah keriput nenek. Ada apa ini, jelas-jelas aku melihat laki-laki itu di sini, kenapa langsung menghilang begitu saja. Bahkan nenek tidak melihatnya.

"Kau beruntung bisa melihatnya. Dia hanya akan menampakkan diri pada orang yang dikasihinya."

"Maksud nenek?"

Ya, Tuhan. Aku semakin tidak mengerti. 

"Dia anak nenek. Adik ayahmu."

"Tapi ayah bilang, dia cuma bersaudara."

Nenek tidak menjawabnya, ia berjanji akan menceritakannya selepas Isya.

Katanya, di usia delapan bulan kehamilannya, tiba-tiba perutnya kempes seperti habis melahirkan. Keesokan malamnya, ia bermimpi melihat bayi laki-laki tampan dan ia diberitahu itu adalah anaknya.

"Nenek percaya?"

Rasanya ini seperti cerita dongeng. Aku sulit memercayainya. Tapi, kehadirannya yang tiba-tiba di saat aku membutuhkan pertolongan, mustahil untuk tidak memercayainya.

Nenek mengangguk. "Apakah dia sering menemuimu?"

Aku menceritakan pada nenek tentang kedatangannya. Wajahnya dan pekerjaannya yang berubah.

Nenek kulihat menitikkan air mata mendengar ceritaku. Lalu berganti senyum.

"Kainawa. Allah itu maha kuasa. Ia bisa memberikan kelebihan pada manusia yang dikehendakinya. Termasuk pamanmu, Muhammad Amin." 

Jika benar begitu, Paman Muhammad Amin sangat beruntung, dipilih oleh Tuhan dijadikan sosok istimewa.

"Kainawa. Sebut selalu nama pamanmu jika kamu dalam kesulitan!"

"Pasti." []

Wallahu A'lam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun