Pasti pernah mendengar atau bahkan pernah nonton dan menikmati drakor kan?
Serial terbaru yang habis masa tayangnya kemarin berjudul The World of The Marriage cukup menarik, karena ceritanya sederhana dan memang sering ditemukan terjadi dalam kehidupan umat manusia di seluruh belahan dunia manapun.Â
Cerita tentang kehidupan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian karena pasangan hidup memiliki affair dan anak menjadi korban, lalu semua pada akhirnya kehilangan orang- orang terkasih, Â keluarga tercerai berai. Klise ya.
Tulisan ini ingin membahas sedikit hal terkait keadaan Joon Young, dan pentingnya mengambil pelajaran dari tontonan agar tetap ada manfaat.
Joon Young adalah anak semata wayang dari pasangan Lee Tae Oh dan Sun Woo. Lee Tae Oh, ayah yang tergoda dan menikah lagi dengan wanita bernama Da Kyung, di akhir cerita ditinggalkan oleh istri pertama, istri kedua dan anaknya.Â
Sun woo, seorang dokter dan istri yang tetap setia walau sudah bercerai dengan Lee Tae Oh, diceritakan sebagai perempuan kuat dan terkesan masih mencintai Lee Tae Oh.
 Setelah memutuskan bercerai dengan suaminya, Sun Woo walau sempat mengalami banyak tragedi akhirnya memutuskan untuk meningalkan semua demi mendapatkan kehidupan baru untuk Joon Young.
Ada apakah dengan Joon Young?
Anak laki-laki ini super cute dan sangat penurut. Hubungan dengan orangtua dan teman-teman di sekolahnya sangat baik, sampai saat konflik perselingkuhan ayahnya terbongkar dan orangtuanya berselisih. Â Â
Dari siswa yang patuh menjadi berulah mengambil barang-barang milik teman-temannya di kelas. Dari anak rajin yang selalu mengikuti kegiatan di sebuah Akademi usai jam sekolah menjadi anak yang sering menghabiskan waktunya di game center.Â
Anak yang sopan menjaga perilaku dan perkataan tiba-tiba bisa membentak ayah ibunya dan pergi kabur dari rumah.  Joon Young mulai  mengetahui perselingkuhan ayahnya saat peringatan ulang tahun sang ayah. Â
Saat ayah ibu sedang menguruskan proses perceraian, diperlihatkan sebuah scene dimana Joon Young mengatakan sebuah kalimat , "ayah meninggalkan ibu, bukan (meninggalkan) aku." Â Kemarahan kepada ayah dan ibunya dimulai sejak itu.
Bagaimana bisa?
Semua orang, tua muda atau anak maupun dewasa, Â memiliki dunia masing-masing dalam pikiran dan hatinya. Dunia itu tidak bisa dilihat oleh siapapun kecuali melalui perilakunya.Â
Joon Young menyimpan rahasia perselingkuhan ayahnya di dalam dunianya sendiri yang kemudian tampak dalam perilaku mulai menjauhi ayahnya. Ia juga menyimpan kemarahan kepada ibunya di dalam dunianya yang akhirnya tampak dari perilaku membentak ibu dan meninggalkan rumah.
Di dalam dunianya ia menyimpan kemarahan kepada ayah, menyimpan kemarahan kepada ibu, menyimpan kemarahan kepada selingkuhan ayahnya. Di dalam dunianya ia menyimpan kekecewaan mendalam dan kebencian terhadap mereka. Di dalam pikirannya ia menyimpan banyak hal serta kejadian-kejadian yang tidak ia mengerti alasannya.Â
Di dalam dunianya ia menyimpan pikiran-pikirannya sendiri, yang salah satunya diterjemahkan dengan perilaku menguntil. Mengambil barang-barang pribadi milik teman sekelasnya. Bahkan ketika tertangkap basahpun ia tidak mengakui perbuatannya.Â
Sebagian barang ia buang karena menurutnya tidak berarti. Sebagian barang mewah, yang kelak ia kembalikan, disimpannya di rumah di dalam sebuah kotak khusus yang disimpan di atas lemari di kamar tidurnya.
Sesuatu di dalam dunianya membuat ia membolos dari akademi, dan memancing kekhawatiran ayah ibunya hingga harus berurusan dengan pihak berwenang. Kejadian ini membuatnya semakin marah, kecewa dan benci kepada ayah ibu. Perilaku  berikutnya diperlihatkan dalam sebuah ruang game center saat ia tertidur dan terbangun dini hari.
Dunia ini, sebagian orang menyebutnya dengan pikiran atau alam bawah sadar.
Di sana tersimpan memori yang terhimpun sejak manusia masih dalam rahim sampai hari kembalinya kepada Sang Khalik. Memori baik dan memori buruk tanpa kecuali. Memori yang masuk melalui semua indera manusia.Â
Semua yang terlihat oleh mata masuk ke dalam memori. Semua yang terdengar oleh telinga masuk ke dalam memori. Semua yang dikecap lidah, yang dicium oleh hidung, juga yang teraba oleh sentuhan dan kulit masuk menjadi memori.Â
Tersimpan didalam ingatan setiap manusia dan bisa muncul atau dimunculkan setiap saat data atau memori itu dibutuhkan.Â
Dalam keadaan tertentu tanpa dikehendaki  data-data di memori ini bisa tiba-tiba  muncul dalam bentuk perilaku atau berupa reaksi dalam tubuh.Â
Perilaku Joon Young yang membentak ibunya diakibatkan oleh ketidaksadaran diri yang dipicu oleh amarah. Saat ia sadar sepenuhnya, ia selalu bersikap sopan dan selalu bersikap manis di depan ibunya dan di depan semua orang yang dikenalnya. Dari sini kita mengenal, pikiran/alam sadar dan pikiran/alam bawah sadar.
Pikiran sadar Joon Young mencegahnya dari menyakiti ayah, ibu dan teman-temannya. Ia selalu menampilkan perilaku yang baik dan hormat. Namun desakan kemarahan, kebencian dan kekecewaan mendorongnya melakukan hal yang sebaliknya  yaitu menyakiti ayah, ibu dan teman-temannya sendiri.
Hal apakah yang penting untuk dipelajari dari seri drama Korea ini?
Setiap orang pasti memiliki kesan yang berbeda.
Bagi penulis, keadaan Joon Young menjadi perhatian utama. Mengapa? Interaksi sehari-hari bersama guru dan siswa-siswa di sekolah sedikit banyak mempengaruhinya. Di sekolah-sekolah banyak siswa yang dianggap tidak mampu mengikuti pembelajaran di kelas-kelas, dibandingkan dengan teman-teman lainnya, ternyata bukan disebabkan  oleh ketidak mampuan intelektualnya tetapi ketidak mampuan mengelola emosinya.
Beberapa 'masalah' berkaitan dengan belajar di sekolah antara lain adalah siswa malas-malasan, siswa tidak mengerjakan tugas, siswa lupa membawa pekerjaan rumah, siswa sering terlambat, siswa tidur di sekolah, siswa bolos, siswa kabur, siswa menguntil, siswa malak, siswa melakukan atau menjadi korban perundungan, dan lain sebagainya.Â
Ketika dikonfirmasi dengan orang tua banyak jawaban serupa semisal, memang anaknya malas, tidurnya malam, susah bangun pagi, tidak nurut atau sering melawan.Â
Sebagian mengatakan anak-anak lebih menurut sama temannya, berbeda dengan kakak atau adiknya, dan lain sebagainya. Orangtua merasa sudah melakukan yang terbaik bahkan sampai putus asa tidak tahu harus melakukan hal apa lagi. Lalu, bagaimana dengan keadaan atau perasaan anak terhadap reaksi orangtuanya?
Dari beberapa kasus yang terjadi dan ditangan oleh guru, wali kelas dan terapis sekolah muncul kalimat-kalimat yang menghenyak di hati. Sebagian dari siswa pada akhirnya menceritakan keadaan hubungan ayah ibu yang tidak harmonis.Â
Kekhawatiran mereka terhadap keadaan baik ayah maupun ibunya, tanpa keberpihakan kepada siapapun, membuat mereka gelisah.Â
Ketakutan mereka terhadap perpisahan ayah ibu, keseharian mendengar pertengkaran yang berujung hardikkan kepada anak, merasa tidak disayang lagi, merasa tidak ada tempat nyaman lagi di rumah, merasa 'ditinggalkan' oleh ayah ibu, bahkan perasaan bersalah bahwa pertengkaran itu adalah karena mereka (anaknya).Â
Anak tidak mampu menyampaikan pendapatnya, bila tidak diajarkan dari kecil, berusaha menyembunyikan perasaannya. Dalam waktu yang lama, ibarat sebuah panci yang dipanaskan di atas kompor terus menerus dalam keadaan tertutup rapat tanpa pelepasan uap, perasaan yang disembunyikan itu mencari jalan keluar.
Meluap. Meletup. Meledak.
Luapan, letupan, ledakan itu bisa berupa perilaku yang beragam.
Anak menjadi lebih pendiam. Anak sering mengurung diri. Anak pura-pura tidak mendengar. Anak  sering menghindar atau beralasan kalau dipanggil mendekat. Anak lebih suka bermain gadget atau main game. Anak lebih suka menghabiskan waktu dengan teman-temannya.Â
Dalam keadaan tertentu anak bisa melawan atau lari dari rumah bahkan menggunakan zat/kegiatan adiktif yang berbahaya bagi perkembangannya. Walau anak-anak tertentu mampu memainkan emosinya dengan baik tampak tetap manis dan baik di depan orang tua dan gurunya, namun dalam perilaku keseharian yang rutin dan panjang mereka akan menampakkan pengaruh kurang positif  tanpa mereka sadari.
Kembali kepada perilaku mereka di sekolah dimana nilai akademik selalu menjadi tolok ukur keberhasilan dan siswa yang tidak mencapai standar kelulusan dianggap tidak berprestasi, sementara keadaan psikologis mereka tidak diindahkan.
Lalu apa yang akan terjadi pada mereka? Sebagai orangtua, sebagai guru, sebagai pendidik upaya apa yang bisa dilakukan bersama agar semua anak mampu berprestasi sesuai kemampuan mereka dan bahagia hatinya? Â
Rupanya ini masih menjadi PR bagi kita semua sebagai orang tua, orang-orang yang sudah lebih tua usia untuk mulai 'turun gunung' dan melihat mencermati keadaan orang-orang terdekat terkasih.Â
Mengoreksi kesalahan yang pernah dilakukan kepada mereka, meminta maaf atasnya, merubah sudut pandang dan merubah perilaku dengan memperbanyak kasih, memperbanyak pelukan, memperbanyak senyum, , memperbanyak doa, memperbanyak pemberian dalam bentuk apapun walau hanya berdiam menahan diri demi menghargai anak cucu.Â
Salah satu kunci utamanya ada di orangtua. Berbesarhatilah untuk berubah dan melihat kebutuhan orang lain, lalu ikuti dengan sepenuh hati semampunya dengan ikhlas.
Di akhir cerita, Joon Young pergi meninggalkan ayah dan ibunya.
Son Woo menyadari saat itu bahwa ia sudah kehilangan anaknya. Ia tidak mengejar tidak mencari anaknya, seperti sebelumnya ia selalu ngotot berusaha membawa kembali anaknya ke rumah. Ia tahu kapan harus berhenti.Â
Digambarkan betapa merananya ia, seorang ibu yang ditinggalkan anak kandung semata wayang...
Hingga beberapa waktu berselang setelah cukup lama, digambarkan melalui potongan rambut Sun Woo yang memanjang, Joon Young kembali ke rumah.
Jauh sebelum itu, Joon Young pernah berkata, " aku rindu Ibu.'.
Anak yang terdidik baik sejak kecil akan tetap baik.
Insya Allah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H