Kasus bullying kian marak. Pola asuh orang tua serta pengawasan pihak sekolah menjadi PR besar dalam membentuk karakter anak.
Tanggal 21 Mei 2024 kemarin seorang anak perempuan bernama Aldelia Rahma (11) harus meregang nyawa setelah bertahan selama kurang lebih tiga bulan akibat luka bakar di sekujur tubuhnya.
Aldelia merupakan siswi Sekolah Dasar Negeri 10 Durian Jantung di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat yang harus menderita luka bakar di tubuhnya akibat menjadi salah satu korban keisengan teman sekelasnya.
Kronologi singkatnya terjadi pada tanggal 23 Februari 2024 lalu, ketika di sekolah Aldelia diadakan kegiatan gotong royong membersihkan kelas.
Di luar, seorang guru membakar sampah dan siswa mengelilingi api untuk bergantian melemparkan sampah.
Naas, seorang siswa laki-laki berniat iseng dengan menyiramkan pertalite ke tubuh Aldelia. Api pun menyambar cepat ke pakaian gadis kecil tersebut.
Aldelia lalu lari ke kamar mandi dengan maksud memadamkan api dengan air, namun malangnya pintu kamar mandi terkunci.
Ia pun kemudian berlari dengan panik ke ruang kelas dengan sebagian tubuh yang sudah terbakar api.
Guru olahraga yang melihat kejadian tersebut berupaya memadamkan api di tubuh Aldelia.
Aldelia segera dilarikan ke puskesmas dan kemudian di rujuk ke RSUD Lubuk Basung karena luka bakar serius. Tubuh Aldelia terbakar hingga lebih dari 80%.
Aldelia sempat dirawat di rumah sakit hingga satu bulan lamanya, namun kemudian dipulangkan untuk selanjutnya dilakukan perawatan di rumah.
Namun, pada 21 Mei 2024 kemarin Aldelia tidak sanggup bertahan dan akhirnya meninggal dunia di RSUP M. Djamil Padang.
Kasus kematian Aldelia kini menjadi perhatian dari sejumlah pihak. Karena menurut isu yang beredar, sebelum kejadian ini pun Adelia kerap menjadi korban keisengan dan kenakalan teman-temannya.
Menurut keterangan pihak kepolisian, kasus ini berpotensi akibat adanya kelalaian dari pihak sekolah.
"Berpotensi ada kelalaian pihak sekolah. Kami akan mintai pertanggungjawaban pidana, kami akan selidiki dan gelar perkara. Kami mintai keterangan dari pihak sekolah dan anak yang menyiram nanti," kata Kasat Reskrim Polres Kota Pariaman, Iptu Rinto Alwi seperti dikutip dari Kumparan, pada Jumat (24/5) lalu.
Polisi juga sudah mengagendakan pemanggilan terhadap guru yang mengadakan kegiatan gotong royong tersebut beserta anak yang menyiram pertalite ke tubuh Aldelia.
Kasus kenakalan anak dan bullying kian meningkat di Indonesia.
Menurut data KPAI, per Agustus 2023 saja sudah tercatat sekitar 723 kasus kekerasan yang ada kaitannya dengan satuan pendidikan.
Dari kasus-kasus tersebut, 487 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual yang melibatkan anak sekolah. Miris dan memprihatinkan.
Lalu sebenarnya faktor apa yang menyebabkan anak-anak semakin berperilaku brutal?
Peran dan pengawasan orang tua serta tenaga pendidik sebenarnya menjadi kunci utama yang tidak boleh dibiarkan luput sedikit pun.
Anak-anak memiliki fitrah dan naluri rasa keingintahuan yang besar untuk mencoba sesuatu hal yang baru.
Kebebasan bersosial media, tingkat disiplin rendah dan pembiaran oleh orang tua dengan memaklumi kondisi anak yang seringkali berpikiran "namanya juga anak-anak" serta lemahnya pengawasan di sekolah akibat keterbatasan tenaga pendidik dalam membersamai anak di luar jam belajar, menjadi faktor kenakalan anak dan kasus bullying semakin meningkat.
Lalu apa yang harus dilakukan?Â
Kenapa pemerintah seolah diam saja dengan kondisi memprihatinkan dari para generasi penerus ini?
Sebenarnya pencegahan dan penanganan kekerasan di tingkat sekolah sudah diatur oleh Permendikbud No. 46 tahun 2023.
Selain itu pelaku perundungan yang berujung pada kekerasan fisik dapat dijerat oleh Pasal 76C juncto Pasal 80 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 170 KUHP (pengeroyokan).
Pelaku bullying juga dapat dijerat oleh Pasal 5 UU No. 12 tahun 2022 tentang Kekerasan Seksual.
Namun, mengapa kasus bullying dan kenakalan anak justru kian merebak akhir-akhir ini?
Ternyata implementasi dari semua peraturan yang telah disusun oleh pemerintah tersebut belum optimal dilaksanakan.
Bahkan tenaga pengajar di setiap sekolah banyak yang belum memahami prosedur dari peraturan tersebut.
Kurangnya sosialisasi dan implementasi pada tahap pelaksanaan dan pengawasan menjadi faktor penyebab peraturan yang dibuat berjalan tidak efektif.
Selain itu, kebanyakan korban bullying enggan untuk melaporkan kepada pihak guru maupun orang tua mengenai kasus yang menimpanya.
Bisa jadi juga korban memilih tutup mulut karena merasa takut dan malu dengan kondisi yang dialaminya.Â
Ancaman dari pelaku menjadi hal yang sering membuat korban mengurungkan niat untuk melaporkan kasus perundungan yang terjadi.
Perlu disadari bahwa orang tua memiliki peran penting dalam memberikan pola asuh yang baik bagi anak.
Anak yang menjadi korban kekerasan di dalam lingkungan rumah cenderung menjadi pelaku kekerasan di luar.
Orang tua sebaiknya memberikan bimbingan dan kasih sayang kepada anak terutama memberikan pengetahuan ilmu agama sebagai pondasi akhlak.
Kehangatan dalam keluarga disertai dengan tindakan disiplin sesuai usia anak, harus dimulai dari lingkungan internal keluarga masing-masing.
Orang tua harus lebih memahami bagaimana karakter dan perilaku anak setiap hari. Perilaku anak yang agresif, aktif, ceria, atau bahkan perilaku anak yang cenderung pendiam sering murung perlu menjadi perhatian khusus bagi orang tua.
Orang tua juga perlu melakukan kerjasama dan komunikasi dengan tenaga pengajar di sekolah untuk mengawasi keseharian anak.
Hal ini bertujuan sebagai bentuk pengawasan awal dalam proses perkembangan dan perilaku anak.
Pelaku dan korban bullying sama-sama menjadi pihak yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus agar kasus serupa tidak terulang lagi.
Menurut Psikolog Klinis RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo, Elok Kartika Sari, M.Psi pada unggahan Instagram @duniaparentingdotid bahwa mengajarkan kepada anak untuk membalas pelaku bullying dengan kekerasan merupakan langkah tidak tepat, karena itu artinya membenarkan tindakan kekerasan terhadap orang lain.
Lalu bagaimana sebaiknya jika ada kekhawatiran kalau anak kita yang menjadi korban bullying oleh temannya?
"Baiknya adalah asertif dengan secara top.. harus asertif," tegasnya.
Mengajarkan anak untuk dapat mengungkapkan ekspresi atau rasa tidak suka yang tegas dan konsisten kepada pelaku bullying adalah langkah yang lebih tepat.
Point penting bagi orang tua adalah harus mengajarkan anak berani, asertif, percaya diri, tetap tenang dan jangan takut untuk meminta tolong serta melaporkan tindak bullying kepada guru atau orang tua.
Hal-hal tersebut perlu ditegaskan dan diingatkan kepada anak meskipun korban sudah mendapatkan ancaman dari pelaku bullying.
Pelaku bullying umumnya akan lebih segan kepada anak yang berani bertindak asertif dan masa bodo ketika di-bully.Â
"Ini akan menjadi upaya preventif supaya anak-anak kita tidak jadi korban," lanjut Elok.
Peran dan pola pengasuhan yang baik dari orang tua menjadi awal pembentukan karakter anak. Dukungan dan pengawasan dari pihak sekolah juga sama pentingnya dalam membentuk kualitas akhlak anak.
Mudah-mudahan tidak terulang lagi kasus-kasus bullying yang menghantui generasi penerus di Indonesia.Â
Dimulai dari rumah, kita sama-sama berusaha untuk membentuk karakter anak yang bertanggung jawab, berani, berperilaku positif dan berakhlak mulia.***
Sumber: Instagram @pikology dan @duniaparentingdotid , Artikel Isu Sepekan Bidang Kesra Komisi X DPR Minggu ke-5 Februari 2024 oleh Yulia Indahri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H