Aris mendekat ke arahku dengan senyum yang sungkan. Aku balas tersenyum ke arahnya, sebelum ekspresiku berubah sama tertegun seperti dirinya tadi, ku lihat Aris memakai kalung salib.
Tubuhku langsung lemas. Ujian apalagi yang harus aku tempuh demi menemukan sosok pendamping hidup? Kali ini, perbedaan keyakinan sepertinya akan menjadi penghalang kami.
Meski aku belum yakin Aris memiliki perasaan yang sama denganku, tapi aku sudah di titik mencapai putus asa. Aku memutuskan pasrah dan menyerah detik ini juga.Â
Umurku boleh mencapai dewasa dan tidak masalah kalau dikatakan kadaluarsa, tapi standar kebahagiaan bukan hanya sekedar mencapai target pernikahan. Memiliki sahabat yang asyik dan sefrekuensi seperti Aris adalah bentuk kebahagiaan yang bisa aku syukuri. Setidaknya, nasib kami kali ini juga sama.
Maafkan Mara, mak.. pak... tapi urusan jodoh jodohan ini sudah enggan aku pikirkan lagi.