Mohon tunggu...
Eva Resti
Eva Resti Mohon Tunggu... Penulis - _

Aku adalah puisi paling sunyi yang kadang menjadi puisi paling berisik. Aku ingin mengabadikan setiap moment dalam hidup menjadi puisi. Agar jika suatu saat aku tiada, aku masih tetap ada.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kumpulan Puisi: Luka di Bulan November

24 Januari 2025   12:27 Diperbarui: 24 Januari 2025   15:28 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. LEWOTOBI DAN DUKA BULAN NOVEMBER 

Karya: Evaresti 

Malam jatuh tepat di kaki Lewotobi

Dingin menyelimuti raga penghuni gubuk-gubuk kecil

Tetesan hujan dan gemuruh guntur serta kilat menggema di cakrawala

Bukan nyatanya itu bukan hujan biasa

Gemuruh tak kunjung surut namun terus bergema 

Hujan batu dan pasir menyirami seluruh kampung 

Di bawah kaki Lewotobi mereka sempat pasrah

Pada kenyataan yang mungkin saja melenyapkan semua nyawa

Api membakar rumah tempat banyak kisah

Batu menghantam setiap dinding-dinding rumah

Pekikan minta tolong dan tangisan berhamburan

Ada yang kehilangan nyawa dengan tragis

Sungguh malam yang pekatnya tak bisa dijelaskan 

Semuanya begitu memilukan 

Hati tersobek melihat tanah dan lembah hijau itu hilang

Yang kini menjadi sebuah kehancuran dan kepedihan

Akankah kembali atau semuanya menjadi sejarah paling kelam sepanjang perjalanan waktu??

Kini hanya bisa menatap dengan kesesakan 

Gemuruh itu belum berujung

Perjalanan api dan abu masih berlanjut 

Menyisakan sedih yang berkepanjangan 

Memberi trauma yang abadi dalam ingatan 

Sungguh Lewotobi melukai ribuan hati

Menyuguhkan cemas yang panjang

Melahirkan sejarah kelam

Yang akan abadi di setiap hati dan ingatan generasi

—12 November 2024

2. Wanita Berkerudung Biru(Sr. Nikolin SSpS)

Musim hujan telah tiba

Air mataku juga air mata mereka 

Tak tertahankan melihat kepergian mu 

Yang tiba-tiba saat gemuruh belum berujung

Setelah kabar tentang pergimu yang tak akan kembali

Sampai di telingaku; aku begitu terisak    

Sosok lembut dan ibu yang baik itu

Telah tiada saat ledakan alam menghancurkan tanah Hokeng

Tempatmu melayani sebagai mitra kerja Allah

Saat alam masih berontak dan mengikis kebahagian 

Suara tangis memilukan meneriaki namamu 

Sebagai salah satu dari beberapa korban

Akibat amukan alam yang mengerikan itu

Wanita manis berkerudung biru

Aku mengenalmu sebagai sosok yang lembut

Ibu yang penuh kasih 

Dan aku akan mengenangmu demikian 

Izinkan aku mengabadikan namamu dalam puisi ini

Dan menceritakanmu di setiap perjalanan

Engkau adalah anugerah bagi banyak orang 

Dan pantas abadi di hati yang pernah engkau sentuh oleh kasih dan cinta. 

Beristirahatlah dalam damai 

Kami mencintaimu

-November 2024

3. NOVEMBER YANG PERIH 

Detik waktu tak terasa

Bahkan aku terkadang terjebak 

Dalam lamunan-lamunan yang tak berguna

Lupa akan hal penting yang harus dilakukan 

Sebelum akhirnya sampai pada takdir yang sama yaitu tiada

(Ah ya aku tahu kita ini fana)

Air mataku tak terbendung 

Kala kesedihan menyentuh hatiku

Berita duka menendang gendang telingaku 

Di dinding media aku menatap dengan perih

Apa yang harus aku lakukan???

Aku tak bisa menjamah yang terluka

Dan tak bisa memeluk yang rapuh

Di sudut terpencil dari sekian sudut kehidupan 

Aku terisak menatap dari jauh 

Hanya mampu bersemoga agar berakhirnya derita

Bersemoga agar berhentinya tangisan dan jeritan

Serta akhirnya fenomena alam yang mengerikan itu

Dan mengapa alam begitu mengamuk??

Ah ya aku tak tahu alasannya 

Aku sadar bahwa keindahan alam pun tak abadi

Dan alam tak selalu menyuguhkan sejuk

Dia kadangkala memberi rasa sakit yang abadi dalam ingatan

November menyuguhkan luka yang mendalam bagi mereka 

Menghidangkan tangis dan derita 

Di meja kehidupan yang disebut kenyataan

Aku melihat derita yang akan selalu abadi dalam ingatan

Ya, November kali ini sangat mengerikan bagi mereka

Rangkul raga lemah dan penuh cemas itu Tuhan

Tolong akhirilah penderitaan mereka.

-November 2024

4. Ketika Alam Memberi Luka 

Ketika malam jatuh, ada kecemasan yang muncul dan tak pergi. Itulah yang meraka rasakan— Resah dan gelisah, rindu dan tangis serta banyak tanya yang muncul di ruang pikiran.  

Ini akan menjadi derita yang panjang dan trauma yang abadi. Bagaimana setelah ini, kemana setelah ini dan kapan ini berakhir. Sedang gemuruh itu belum berujung dan tangisan masih terdengar pilu. 

Dari jauh, rinduku begitu subur pada tempat yang pernah menjadi tempatku bermain dan memetik kebahagiaan yang selalu kusyukuri. Aku hanya sebentar, bagaimana dengan mereka? Ya mereka pemilik rumah itu, pemilik tempat itu dan pemilik kisah yang sebenarnya tak ingin usai namun diakhiri oleh kenyataan.  

Tuhan, rangkul mereka dalam cinta dan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa semuanya akan berlalu dan derita mereka akan segera berakhir. 

~November  2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun