Mohon tunggu...
Evan Tobias Tanoni
Evan Tobias Tanoni Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Illustrator, Designer, Visual Artist

Hanya seorang siswa penggiat seni yang gemar akan dunia visual tanpa batas.

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Eloknya Karya Seni A.I: Bagaimana Nasib Seniman?

12 Februari 2023   16:33 Diperbarui: 15 Februari 2023   11:13 1656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar A.I. yang mengalahkan karya seniman lain dalam ajang perlombaan seni Colorado, Amerika Serikat (Sumber: Belinda Teoh, 2022)

Teknologi sekarang telah berkembang di luar nalar kita, dengan adanya artificial intelligence (A.I.) yang mulai merajarela di dunia modern. Secara ironisnya tangan manusia yang sejak dahulu terus berusaha mengembangkan teknologi A.I. tersebut kini berusaha untuk menyainginya kembali baru-baru ini.

Memang betul bahwa A.I. tersebut banyak membantu umat manusia dalam mensejahterakan hidupnya dengan seluruh kemudahan yang ditawarkan. Namun, manusia kini sadar, bahwa keunggulan tersebut tidaklah selamanya menguntungkan, khususnya para seniman.

Efisiensi dan kecepatan menjadi salah dua hal yang unggul dari sebuah A.I. Sudah satu dekade para seniman beradaptasi dengan perkembangan teknologi, dengan munculnya cabang-cabang seni baru seperti seni digital, lukisan digital menggunakan teknologi drawing pen, dan bahkan hal sederhana seperti Google. 

Dari hal sesederhana Google inilah para seniman kini dapat menjelajahi milyaran referensi untuk mengembangkan karyanya. Tentu dari seluruh perkembangan ini, nyatanya seniman dan teknologi saling berkerja sama membentuk karya-karya yang unik dan berbeda dari tahun ke tahun. Namun ternyata, perubahan teknologi kini datang jauh lebih cepat dari ekspektasi kita semua, khususnya para seniman.

Di sinilah persoalan mengenai pesatnya perkembangan teknologi mulai melonjak, terlebih karena prospek para seniman modern khususnya designer dan illustrator yang berada di ambang keterpurukan persaingan. Ya benar, semua dikarenakan perkembangan artificial intelligence (A.I.)

Tonggak Sejarah Seni Internasional

Pada tahun 2022 dunia digegerkan dengan kemenangan sebuah karya A.I. pada perlombaan the Colorado State Fair’s annual art competition (Perlombaan Seni Annual di Colorado, Amerika Serikat). Namun, hasil juara perlombaan lukisan tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dan cukup mengejutkan.

Jason M. Allen, seorang partisipan lomba dari bagian Barat Pueblo, Amerika Serikat, mengangkat trofi penghargaan pada ajang tersebut. Namun, rupanya karya tersebut tidaklah berasal dari goresan kuas oleh tangannya, melainkan merupakan karya dari A.I.

Cukup mengejutkan bagaimana sebuah program A.I. dapat menghasilkan karya seni yang dapat mengalahkan seniman lainnya di ajang tersebut, dengan masih bersifat orisinil dan sah. Dapat dilihat rincian berita yang dipaparkan oleh Next 9 NEWS di bawah ini:


"Saya tidak akan meminta maaf akan kemenangan tersebut. Saya menang, dan saya tidak melanggar peraturan apapun,” ujar Allen saat pihak New York Times mewawancarainya.

Pada awalnya Allen hanyalah coba-coba saja atas dasar “iseng”. Dari situlah ia tidak percaya akan karya yang ia coba buat. Baginya, merupakan hal yang mengejutkan seorang amatiran seperti dirinya mampu melihat karya A.I. semenakjubkan itu. 

Midjourney, sebuah program yang digunakan oleh Allen dalam membuat karya tersebut, memang sangatlah canggih dan efisien. Pada dasarnya memang program A.I. tersebut dapat membuat sebuah karya seni berdasarkan sepenggal kalimat saja.

Pengguna hanya tinggal menuliskan sebuah kalimat yang mendeskripsikan karya yang ingin mereka buat, lalu dalam hitungan menit karya tersebut akan dihasilkan.

Segala komputansi dan algoritma yang diimplementasikan dalam program tersebut mampu mengubah kata-kata menjadi karya visual, dengan menggunakan proses kompleks yang disebut sebagai “difusi”.

Proses difusi inilah yang mengubah kata-kata menjadi gambar yang sungguh realistis dan relevan dengan penggalan kalimat yang dimasukkan.

Dalam mekanismenya, program akan melihat seluruh gambar yang relevan dengan kata kunci pada kalimat yang diberikan, sepenggal demi sepenggal. Lalu, dalam beberapa detik kemudian sebuah karya seni akan muncul, yang merupakan gabungan dari berbagai referensi yang relevan tersebut dari internet.

“Saya sendiri tidak percaya atas apa yang saya lihat,” ucap Allen saat dengan ‘iseng’ mencoba program tersebut untuk pertama kalinya.

Dari situ pun Allen memiliki ide untuk berpartisipasi dalam sebuah kompetisi seni, dan sadar bahwa memang peraturan mengenai penggunaan A.I. tidak ada. Dan ternyata, seonggok keisengan tersebut membuahkan hasil yang menggegerkan dunia seni.

Benar, sebuah program baru saja mengalahkan ribuan hingga puluhan ribu seniman profesional dan semi-profesional untuk pertama kalinya di sejarah dunia seni.

Perang Dunia Seni (Akan) Telah Dimulai

Selain menggegerkan dunia, nyatanya fakta tersebut membuat para kritik, penggiat seni, maupun seniman mengerutkan wajahnya. Mereka sadar bahwa sebuah ancaman yang sejak revolusi industri keempat telah diwanti-wanti datang lebih cepat di depan muka mereka.

Seluruhnya sekarang khawatir akan nasib mereka di dunia seni yang akan datang. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah pekerjaan seniman akan digantikan oleh A.I” sudah menjadi hal yang lumrah dalam perbincangan media sosial pada masa kini.

Kelumrahan tersebut pada akhirnya memercikkan batin para seniman untuk memulai sebuah gerakan virtual. Bahkan dalam sebuah unggahan twitter, Joyce Da Silva dengan nama akun @joysilvart mengagumi keindahan bentuk protes yang dilakukan oleh para seniman secara virtual.

Gerakan-gerakan unjuk rasa virtual seperti “No to A.I Generated Image” tersebut akhirnya merajarela di media sosial. Berbagai seniman-seniman terkemuka pun nampak turut serta menyokong ide untuk menolak pembuatan karya visual dengan fasilitas A.I yang sesungguhnya telah bebas digunakan oleh siapapun secara percuma.

Semua seniman merasa tak sudi dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh A.I yang berpotensi menjatuhkan para seniman secara utuh. Seluruh kerja keras seniman dalam studinya di bidang tersebut akan dianggap musnah.


Pada dasarnya, saya sebagai penggiat seni saja merasa tidak nyaman, apalagi para seniman professional di seluruh dunia, termasuk pemilik akun instagram di atas, @jojoesart, yang memaparkan argumennya dalam menentang A.I secara penuh.

Pertanyaan Besar: Bagaimana Nasib Seniman?

A.I dengan seluruh kecanggihannya tidak dapat dipungkiri memiliki efisiensi serta keindahan yang berpotensi melebihi manusia. Dalam segi teknik dan pengambilan referensi, menurut saya A.I adalah jagoannya. Program tersebut dapat melihat seluruh gambar yang relevan beserta referensinya dan menuahkan hal tersebut dalam karyanya.

Namun sadarkah anda bahwa A.I tersebut perlu diberikan sepenggal kalimat oleh penggunanya?

Ya, betul. A.I tidak memiliki kreativitas. Seorang pengguna program dapat saja menuliskan apapun yang mereka hendaki berdasarkan imajinasi mereka.

Secara harfiahnya, program tersebut akan mentranslasikan imajinasi tersebut menjadi seonggok karya. Sungguh tidak ada bedanya bukan, dengan teknologi yang sudah bertahun-tahun berkerja sama dengan para seniman. 

Secara konseptual seluruh pemikiran dan imajinasi dituangkan oleh para seniman dalam membuat sebuah karya ilustrasi digital dengan bantuan teknologi seperti komputer dan drawing pen.

Kita dapat menggunakan konsep ini dan menyimpulkan bahwa memang bukan komputer tersebut yang menggambar apa yang digambar oleh para seniman, melainkan seniman itu sendiri yang menuangkan idenya. Komputer dan drawing pen terkesan tak lebih sebagai sebuah alat untuk memudahkan penuangan kreativitas tersebut.

Dalam kasus baru-baru ini, program artificial intelligence terlihat layaknya dewa yang dapat menghasilkan karya dengan instan. Namun banyak yang belum sadar bahwa sesungguhnya mereka hanyalah alat belaka. Seluruh idenya lagi dan lagi berasal dari para pengguna, yakni dengan mengetikkan sepenggal kalimat.

Namun pertanyaan yang lain muncul kembali: “Apakah semua orang dapat menghasilkan karya luar biasa dengan A.I?” Jawabannya menurut saya belum tentu.

Para seniman dalam seluruh jerih payah studinya dalam bidang seni tentu mengembangkan apa yang dinamakan sebagai taste atau insting seni.

Seni memang bersifat subjektif, namun dari fakta tersebutlah para seniman dengan instingnya mampu mengeluarkan ide-ide kreatif yang membuat subjektivitas semua orang takjub akan karyanya.

Akhir kata, di masa yang akan datang mungkin semua orang dapat mengakses program-program A.I yang mampu mengkreasikan karya dalam sekejap.

Namun, belum tentu karya tersebut dapat mencakup seluruh subjektivitas yang ada dalam para penikmat. Dan sadarlah, bahwa seorang seniman tidak sebatas hanya menghasilkan karya seni, melainkan juga menyodorkan ide kreatifnya.

Di akhir hari, A.I hanyalah sebuah mesin yang melaksanakan apa yang menjadi komando dari manusia. A.I bukanlah sebuah makhluk dengan kreativitas dan martabat. A.I bukanlah sebuah program yang dapat mengembangkan imajinasi di luar apa yang telah diprogram untuk mereka. Itulah yang merupakan fungsi teknologi pada dasarnya. Diprogram untuk menuruti.

"Segala perkembangan teknologi ini tak dapat mengubah sebuah fakta yaitu bahwa seniman atau manusia merupakan makhluk ciptaan yang tak tersandingi, bahkan oleh A.I tercanggih sekalipun. Kreativitas adalah kuncinya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun