Dalam kasus baru-baru ini, program artificial intelligence terlihat layaknya dewa yang dapat menghasilkan karya dengan instan. Namun banyak yang belum sadar bahwa sesungguhnya mereka hanyalah alat belaka. Seluruh idenya lagi dan lagi berasal dari para pengguna, yakni dengan mengetikkan sepenggal kalimat.
Namun pertanyaan yang lain muncul kembali: “Apakah semua orang dapat menghasilkan karya luar biasa dengan A.I?” Jawabannya menurut saya belum tentu.
Para seniman dalam seluruh jerih payah studinya dalam bidang seni tentu mengembangkan apa yang dinamakan sebagai taste atau insting seni.
Seni memang bersifat subjektif, namun dari fakta tersebutlah para seniman dengan instingnya mampu mengeluarkan ide-ide kreatif yang membuat subjektivitas semua orang takjub akan karyanya.
Akhir kata, di masa yang akan datang mungkin semua orang dapat mengakses program-program A.I yang mampu mengkreasikan karya dalam sekejap.
Namun, belum tentu karya tersebut dapat mencakup seluruh subjektivitas yang ada dalam para penikmat. Dan sadarlah, bahwa seorang seniman tidak sebatas hanya menghasilkan karya seni, melainkan juga menyodorkan ide kreatifnya.
Di akhir hari, A.I hanyalah sebuah mesin yang melaksanakan apa yang menjadi komando dari manusia. A.I bukanlah sebuah makhluk dengan kreativitas dan martabat. A.I bukanlah sebuah program yang dapat mengembangkan imajinasi di luar apa yang telah diprogram untuk mereka. Itulah yang merupakan fungsi teknologi pada dasarnya. Diprogram untuk menuruti.
"Segala perkembangan teknologi ini tak dapat mengubah sebuah fakta yaitu bahwa seniman atau manusia merupakan makhluk ciptaan yang tak tersandingi, bahkan oleh A.I tercanggih sekalipun. Kreativitas adalah kuncinya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H