Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara.
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana.
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu.
Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku.
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku.
Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.
Puisi ini mengekspresikan kedekatan penulis dengan Tuhan melalui berbagai simbol alam dan pengalaman sehari-hari, mencerminkan perjalanan spiritual dari subuh hingga malam. (Dalam Doaku, Sapardi Djoko Damono)
Rabu, 30 November 2024. Hari itu mungkin terlihat normal bagi kebanyakan orang di Indonesia, namun hari tersebut merupakan hari pertama dalam kunjungan 3 hari beberapa siswa SMA Kolese Kanisius ke pondok pesantren Kebon Jambu Ciwaringin, Cirebon. Suatu pengalaman yang akan mengubah cara pandang siswa-siswa SMA Kolese Kanisius tersebut terhadap agama mereka, persahabatan mereka, bahkan seluruh hidup mereka sendiri.Â
Waktu pada saat itu menunjukkan sekitar jam 8.30. Para Kanisian pada saat itu mulai diajak untuk masuk ke dalam bis bersama para pendamping untuk segera menuju ke pesantren Kebon Jambu Ciwaringin. Selama perjalanan itu, banyak perasaan muncul dari benak hati para Kanisian. Ada yang semangat, antusias, tertarik, namun ada beberapa juga yang ingin segera pulang, malas mengikuti acara ini, dan masih banyak perasaan lain yang muncul.Â
Saat kita sampai pada tujuan, kami disambut dengan pandangan santri-santri yang sedang beristirahat dan bermain di sekitar area pondok pesantren. Dari luar, pondok pesantren tersebut terlihat seperti pondok pesantren yang cukup terawat dan modern, namun masih mempertahankan aspek kesederhanaannya.Â
Di pondok pesantren Kebon Jambu, kami menginap di ruangan di atas tempat mereka mencuci baju. Ruangan tersebut merupakan ruangan kosong yang cukup luas dan tertutup, dan di dalamnya lengkap dengan fasilitas seperti kipas angin, kamar mandi, serta matras untuk tidur.Â
Di hari pertama, kami disambut oleh anak dari ketua dari pondok pesantren tersebut dan dijelaskan sejarah dari pesantren tersebut, mulai dari awal didirikannya pondok pesantren tersebut, kenapa memiliki nama Kebon Jambu, bukan nama dalam bahasa Arab seperti pondok pesantren lainnya, adat dan tradisi di pondok pesantren ini, cara hidup mereka yang dapat dikatakan sederhana, dan masih banyak lainnya sembari disuguhkan makanan ringan dan minuman.Â
Kami sendiri pun ikut bercakap-cakap dengan anak dari ketua dari pondok pesantren tersebut dan sama-sama semakin kenal dengan satu dan lainnya. Setelah saling berkenalan, kami pun disuguhkan makan siang yang berisi nasi, ayam goreng, tahu, tempe, sambal, dan banyak variasi makanan lainnya.Â
Porsi yang disediakan cukup banyak dan kami pun bisa merasa kenyang makan makanan tersebut. Setelah itu, kami ditunjukkan ke ruangan kami. Kami pun terkejut saat mengetahui bahwa satu kelompok akan tidur bersama di satu ruangan.Â
Sebelum kami ditunjukkan ruangan kami, kami sempat mendengar sebuah obrolan antara salah satu dari pendamping kami, anak dari ketua pondok pesantren tersebut, dan dua dosen dari UIN. Obrolan tersebut dihadiri oleh satu kelompok kami dan banyak santri yang tinggal di pondok pesantren tersebut. Di obrolan inilah, kami mulai saling mengenal mengenai situasi antara santri dan para Kanisian dalam luasan yang lebih besar. Kami pun menjadi sadar bagaimana ada banyak masyarakat Indonesia yang situasi kehidupannya mirip dengan situasi para santri-santri, kedisiplinan yang harus mereka miliki untuk dapat menepati sholat lima waktu mereka, dan banyak lainnya.Â
Setelah kami beristirahat dan menaruh barang kami di ruangan kami, kami pun diajak untuk mengelilingi pondok pesantren tersebut untuk melihat keadaan pondok pesantren tersebut. Keesokan harinya, kami dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk masuk ke dalam kelas-kelas di dalam pondok pesantren tersebut. Disana, kami belajar bersama pelajaran-pelajaran seperti Bahasa Indonesia, matematika, dan pelajaran lainnya.Â
Disana, kami merasakan pendidikan yang masih kurang merata di Indonesia, materi yang kami sudah dapatkan di kelas 10 baru mereka pelajari di kelas 11, dan mereka pun banyak yang kurang sungguh-sungguh dalam belajar.Â
Pendidikan yang kurang merata inilah hal yang perlu segera diberantas oleh pemerintah dan harus menjadi fokus utama dalam mengembangkan Indonesia. Kesenjangan pendidikan ini merupakan salah satu alasan mengapa Indonesia sebagai suatu negara masih cukup terbelakang dan mengapa korupsi di daerah-daerah masih dapat dengan sangat mudah dilakukan.Â
Ketika Indonesia sudah membereskan masalah ini, maka Indonesia pun dapat fokus pada masalah-masalah lainnya dan berkembang menjadi negara yang lebih maju dengan lebih mudah.Â
Setelah belajar bersama, kami pun beristirahat, makan siang, dan kemudian ikut dalam acara pertunjukkan yang mereka lakukan yang berisi pujian-pujian terhadap Allah dan diiringi dengan musik. Setelah acara tersebut selesai, kami diajak untuk berbagi pengalaman kami di Jakarta, terutama di Kolese Kanisius.Â
Kami pun juga ditanyakan banyak pertanyaan mengenai cara pandang kami, sebagai orang yang tinggal di Jakarta dan berbeda agama, dan banyak pertanyaan lainnya. Setelah acara tersebut kami pun beristirahat dan keesokan harinya diajak untuk pergi dan melakukan sholawat dengan pondok pesantren lainnya. Setelah melakukan sholawat, kami segera pamit dengan para santri dan pengurusnya dan bergegas pulang.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI