Mohon tunggu...
Evander Nathanael Ginting
Evander Nathanael Ginting Mohon Tunggu... Pengacara - Gadjah Mada University

Rationalist

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pro dan Kontra Naturaliasi Pemain Timnas Indonesia

16 September 2024   11:21 Diperbarui: 16 September 2024   13:25 1770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Debat tentang naturalisasi pemain Timnas Indonesia menjadi isu hangat belakangan ini. Di satu sisi, ada yang merasa bahwa naturalisasi mencederai nasionalisme, seperti pandangan Tommy Welly, Peter Gontha, hingga Rocky Gerung yang menganggap kemenangan Timnas Indonesia dengan pemain naturalisasi sebagai bentuk "kemenangan palsu" atau "tidak orisinil." Mereka merasa bahwa Indonesia sebagai bangsa besar seharusnya mampu melahirkan pemain sepak bola berkualitas dari dalam negeri, bukan mengandalkan "pemain luar".

Namun, kenyataannya, banyak negara saat ini, termasuk yang memiliki tradisi sepak bola kuat, juga memanfaatkan pemain naturalisasi. Pada Piala Dunia 2022 yang lalu di Qatar, terdapat 137 pemain naturalisasi. FIFA mengizinkan praktik ini selama sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Selain itu, ada juga timnas yang hampir seluruhnya diisi oleh pemain imigran dan diaspora, seperti Timnas Prancis yang diperkuat oleh pemain-pemain berdarah Afrika. Di sepakbola internasional, khususnya di Eropa, keberadaan pemain naturalisasi, imigran, dan diaspora dalam sebuah timnas adalah hal yang lumrah. Oleh karena itu, anggapan bahwa naturalisasi merupakan bentuk "kemenangan palsu" tidak memiliki dasar yang kuat dalam dunia sepak bola internasional.

Secara umum, masyarakat kita mendukung program naturalisasi pemain dan tidak merasa keberatan dengan keberadaan pemain diaspora yang kebanyakan berasal dari Negeri Belanda. Istilah seperti "Timnas Pusat" untuk Timnas Belanda dan "Timnas Cabang" untuk Timnas Indonesia sering muncul di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter (X), dan TikTok. 

Dari pengamatan saya, mayoritas yang mengomentari hal ini adalah generasi muda (Gen Y, Gen Z, dan seterusnya), yang umumnya tidak keberatan dengan program naturalisasi. Sebaliknya, protes terhadap program ini lebih sering datang dari generasi yang lebih tua.

Generasi pendahulu masih mengharapkan kehadiran bintang-bintang lokal seperti Andi Ramang, Kwee Kiat Sek, Omo Suratmo, Roni Patinasarani, Bob Hippy, Maulwi Saelan, Robby Darwis, Soetjipto Soendoro, Iswadi Idris, Hendro Kartiko, Kurniawan Dwi Yulianto, Bambang Pamungkas, hingga Boaz Solossa. 

Namun, meskipun mereka adalah legenda sepak bola Indonesia, tidak satu pun dari mereka berhasil membawa Indonesia menjadi juara Asia (Piala AFC) atau bahkan Asia Tenggara (Piala AFF). Dan yang lebih menyakitkan, setelah Indonesia merdeka, kita belum pernah tampil di Piala Dunia.

Terlepas dari generasi mana pun, kerinduan untuk melihat Indonesia berlaga di Piala Dunia adalah impian bersama masyarakat Indonesia. Dalam kualifikasi Piala Dunia 2026, Indonesia memiliki peluang besar untuk lolos. Jika pasukan Shin Tae-yong bisa menjaga konsistensi dan lebih efektif di depan gawang lawan, prediksi mendiang Gus Dur tentang kelolosan Indonesia ke Piala Dunia mungkin bisa menjadi kenyataan.

Kembali lagi ke masalah pemain naturalisasi. Masuknya pemain naturalisasi membantu meningkatkan standar dan memberikan contoh bagi pemain muda di akademi-akademi lokal. Naturalisasi dianggap sebagai salah satu cara untuk membawa Indonesia bersaing di kancah internasional. Kita tidak bisa pungkiri bahwa liga sepak bola Indonesia belum mampu mencetak pemain bintang di level internasional, baik karena keterbatasan fisik, teknik, atau mentalitas pemain lokal.

Belum lagi berbagai problematika sepak bola Indonesia yang seolah tak kunjung usai. Mulai dari fenomena star syndrome yang sering menimpa calon bintang Timnas sebelum mereka benar-benar berkembang, hingga rivalitas antar klub yang terkadang berujung pada tragedi. 

Ditambah dengan sisa-sisa carut-marut yang pernah terjadi di PSSI, jadwal liga yang sering berantakan, kualitas stadion yang kurang memadai, mutu wasit yang dipertanyakan, serta minimnya teknologi pendukung pertandingan seperti VAR. Semua ini merupakan tantangan besar bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Menurut saya, membenahi semua aspek ini bisa memerlukan waktu sekitar setengah abad jika dilakukan dengan benar-benar serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun