naturalisasi pemain Timnas Indonesia menjadi isu hangat belakangan ini. Di satu sisi, ada yang merasa bahwa naturalisasi mencederai nasionalisme, seperti pandangan Tommy Welly, Peter Gontha, hingga Rocky Gerung yang menganggap kemenangan Timnas Indonesia dengan pemain naturalisasi sebagai bentuk "kemenangan palsu" atau "tidak orisinil." Mereka merasa bahwa Indonesia sebagai bangsa besar seharusnya mampu melahirkan pemain sepak bola berkualitas dari dalam negeri, bukan mengandalkan "pemain luar".
Debat tentangNamun, kenyataannya, banyak negara saat ini, termasuk yang memiliki tradisi sepak bola kuat, juga memanfaatkan pemain naturalisasi. Pada Piala Dunia 2022 yang lalu di Qatar, terdapat 137 pemain naturalisasi. FIFA mengizinkan praktik ini selama sesuai dengan aturan yang berlaku.Â
Selain itu, ada juga timnas yang hampir seluruhnya diisi oleh pemain imigran dan diaspora, seperti Timnas Prancis yang diperkuat oleh pemain-pemain berdarah Afrika. Di sepakbola internasional, khususnya di Eropa, keberadaan pemain naturalisasi, imigran, dan diaspora dalam sebuah timnas adalah hal yang lumrah. Oleh karena itu, anggapan bahwa naturalisasi merupakan bentuk "kemenangan palsu" tidak memiliki dasar yang kuat dalam dunia sepak bola internasional.
Secara umum, masyarakat kita mendukung program naturalisasi pemain dan tidak merasa keberatan dengan keberadaan pemain diaspora yang kebanyakan berasal dari Negeri Belanda. Istilah seperti "Timnas Pusat" untuk Timnas Belanda dan "Timnas Cabang" untuk Timnas Indonesia sering muncul di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter (X), dan TikTok.Â
Dari pengamatan saya, mayoritas yang mengomentari hal ini adalah generasi muda (Gen Y, Gen Z, dan seterusnya), yang umumnya tidak keberatan dengan program naturalisasi. Sebaliknya, protes terhadap program ini lebih sering datang dari generasi yang lebih tua.
Generasi pendahulu masih mengharapkan kehadiran bintang-bintang lokal seperti Andi Ramang, Kwee Kiat Sek, Omo Suratmo, Roni Patinasarani, Bob Hippy, Maulwi Saelan, Robby Darwis, Soetjipto Soendoro, Iswadi Idris, Hendro Kartiko, Kurniawan Dwi Yulianto, Bambang Pamungkas, hingga Boaz Solossa.Â
Namun, meskipun mereka adalah legenda sepak bola Indonesia, tidak satu pun dari mereka berhasil membawa Indonesia menjadi juara Asia (Piala AFC) atau bahkan Asia Tenggara (Piala AFF). Dan yang lebih menyakitkan, setelah Indonesia merdeka, kita belum pernah tampil di Piala Dunia.
Terlepas dari generasi mana pun, kerinduan untuk melihat Indonesia berlaga di Piala Dunia adalah impian bersama masyarakat Indonesia. Dalam kualifikasi Piala Dunia 2026, Indonesia memiliki peluang besar untuk lolos. Jika pasukan Shin Tae-yong bisa menjaga konsistensi dan lebih efektif di depan gawang lawan, prediksi mendiang Gus Dur tentang kelolosan Indonesia ke Piala Dunia mungkin bisa menjadi kenyataan.
Kembali lagi ke masalah pemain naturalisasi. Masuknya pemain naturalisasi membantu meningkatkan standar dan memberikan contoh bagi pemain muda di akademi-akademi lokal. Naturalisasi dianggap sebagai salah satu cara untuk membawa Indonesia bersaing di kancah internasional. Kita tidak bisa pungkiri bahwa liga sepak bola Indonesia belum mampu mencetak pemain bintang di level internasional, baik karena keterbatasan fisik, teknik, atau mentalitas pemain lokal.
Belum lagi berbagai problematika sepak bola Indonesia yang seolah tak kunjung usai. Mulai dari fenomena star syndrome yang sering menimpa calon bintang Timnas sebelum mereka benar-benar berkembang, hingga rivalitas antar klub yang terkadang berujung pada tragedi.Â
Ditambah dengan sisa-sisa carut-marut yang pernah terjadi di PSSI, jadwal liga yang sering berantakan, kualitas stadion yang kurang memadai, mutu wasit yang dipertanyakan, serta minimnya teknologi pendukung pertandingan seperti VAR. Semua ini merupakan tantangan besar bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Menurut saya, membenahi semua aspek ini bisa memerlukan waktu sekitar setengah abad jika dilakukan dengan benar-benar serius.
Perlu untuk dicatat bahwa perbaikan sepak bola nasional tidak hanya bisa dilakukan dari akar rumput (bottom-up) dengan meningkatkan kualitas pembinaan pemain muda, tetapi juga bisa secara top-down. Naturalisasi pemain yang sudah punya pengalaman di liga-liga top dunia bisa menjadi katalis, meningkatkan standar dan memotivasi pemain lokal. Ketika standar permainan meningkat, pemain lokal pun akan termotivasi untuk mengejar level yang lebih tinggi.
Memang benar, kita perlu membenahi sepak bola dari level akar, menciptakan sistem pembinaan yang lebih baik di daerah-daerah seperti Papua, Maluku, dan lainnya yang punya potensi besar. Namun, strategi top-down melalui naturalisasi juga harus dilihat sebagai langkah pragmatis dalam dunia sepak bola modern. Naturalisasi bukanlah bentuk penipuan atau penghinaan, melainkan bagian dari evolusi sepak bola global.
Terkait pemain naturalisasi, saya memiliki pandangan tersendiri. Selama mereka memilih untuk berjuang dan memberikan kemampuan terbaik demi Timnas Indonesia, terlepas dari latar belakang atau alasan mereka, mereka pantas dihargai sebagai bagian dari tim. Yang terpenting adalah komitmen dan dedikasi mereka di lapangan, asal-usul mereka itu nomor sekianlah.
Jika ditanya siapa pemain naturalisasi favorit saya, jawabannya adalah Maarten Paes. Dengan fisik, refleks, dan kemampuan shot-stopping yang hampir setara dengan kiper-kiper liga top Eropa, kehadirannya di Timnas Indonesia terasa seperti kepingan puzzle yang selama ini hilang di lini pertahanan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H