Kita harus belajar untuk hidup bersama sebagai saudara atau kita akan binasa bersama-sama sebagai orang bodoh (Martin Luther King)
Pluralitas. Sebuah kekayaan yang tercipta di negeri Indonesia. Sungguh keberagaman yang tiada taranya ditemukan di tanah air tercinta. Semua itu menjadi satu kesatuan dan membentuk bangsa yang utuh.
Di Pesantren Al Furqon, suasana pagi itu diwarnai kesibukan para siswa SMA Kolese Kanisius yang tengah berkemas. Tas-tas mereka mulai dipenuhi barang bawaan, sementara percakapan ringan mengiringi setiap gerakan. Tak jarang, tawa kecil terdengar saat teman-teman pesantren dan para Kanisian bersenda gurau bersama. Â
Keakraban yang tercipta selama kebersamaan mereka begitu terasa, meski berasal dari latar belakang yang berbeda. Perbedaan keyakinan maupun budaya tak menghalangi persahabatan yang terjalin. Percakapan tentang pengalaman selama beberapa hari terakhir pun mengalir lancar, mempererat hubungan mereka. Â
Saat semua persiapan hampir selesai, suasana mulai mengarah pada perpisahan yang hangat. Tak ada kesedihan yang mendalam, karena mereka tahu ini bukanlah akhir. Persahabatan yang telah terbangun akan terus hidup, melampaui jarak dan waktu yang mungkin memisahkan.
Persahabatan terjalin di tengah perbedaan. Perbedaan bukanlah permasalahan untuk menjalin kebersamaan.
Kehangatan di Al Furqon
Di Pesantren Al Furqon, persahabatan tumbuh di tengah perbedaan yang seolah tidak berarti apa-apa. Para Kanisian yang mayoritas beragama Katolik disambut dengan hangat oleh para santri, khususnya santriwan. Kehadiran mereka bukan hanya menjadi tamu, melainkan saudara baru dalam pengalaman hidup yang berbeda. Dengan semangat terbuka, para santri tidak ragu untuk berbagi cerita, tradisi, bahkan keseharian mereka, mulai dari sholat berjamaah hingga berbagi cara makan dalam nampan besar.
Hari-hari yang dilalui penuh dengan tawa dan keakraban. Kanisian yang awalnya canggung dengan cara hidup di pesantren perlahan menyesuaikan diri, duduk makan bersama, bahkan hingga belajar Bahasa Arab bersama. Di sisi lain, para santri pun antusias mengenal lebih jauh tentang Kanisian, menjalin percakapan, dan bermain bersama dalam waktu senggang. Momen-momen ini memperlihatkan bagaimana perbedaan keyakinan dan latar belakang mampu diterima dengan penuh kehangatan.
Keakraban yang terjalin tidak hanya melalui aktivitas serius, tetapi juga dari hal-hal sederhana seperti berbagi cerita sebelum tidur atau bermain bersama. Pesantren yang awalnya terasa asing bagi para Kanisian menjadi rumah baru, tempat mereka belajar tentang nilai persaudaraan yang sejati. Semua ini membuktikan bahwa persahabatan sejati dapat melampaui sekat-sekat perbedaan agama atau budaya.
Indahnya Pluralitas
Kebersamaan yang terjalin di Pesantren Al Furqon adalah cerminan nyata dari pluralitas Indonesia. Dalam ekskursi keagamaan ini, para siswa Kanisius dan santri menunjukkan bagaimana keberagaman tidak menghalangi, tetapi justru memperkaya hubungan antarindividu. Seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika, mereka menjadi bukti bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk menciptakan harmoni.
Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya, agama, dan tradisi, perjumpaan semacam ini menjadi sangat penting. Pengalaman berbagi dan bekerja sama antara Kanisian dan santri menciptakan ruang dialog yang menghapus prasangka dan melahirkan rasa saling percaya. Dengan saling belajar, mereka tidak hanya memahami perbedaan tetapi juga menemukan nilai-nilai universal yang menyatukan, seperti kerja sama, kejujuran, dan rasa hormat.
Keberagaman Indonesia adalah kekuatan, bukan kelemahan. Miniatur persatuan yang terlihat di Al Furqon ini menunjukkan bahwa generasi muda mampu membawa semangat perbedaan dan cinta akan kekayaan dalam keberagaman di masa depan. Dengan membangun titik temu melalui ruang-ruang perjumpaan seperti ini, mimpi tentang persatuan Indonesia akan terus terjaga. Persahabatan yang tumbuh di Al Furqon menjadi teladan kecil dari potensi besar bangsa ini untuk terus berdiri kokoh di tengah segala perbedaannya.
Keserasian dalam Perbedaan
Indonesia adalah negeri yang dibangun atas dasar keberagaman. Ribuan pulau, suku, agama, dan budaya membentuk mozaik yang indah dan unik. Namun, keindahan ini hanya dapat bertahan jika setiap perbedaan mampu hidup berdampingan dalam harmoni. Pesan penting ini tercermin dengan jelas dalam pengalaman di Pesantren Al Furqon, tempat di mana siswa SMA Kolese Kanisius dan para santri menunjukkan bahwa keserasian dalam perbedaan bukan sekadar idealisme, melainkan sesuatu yang dapat diwujudkan. Â
Di tengah suasana pesantren, persahabatan tumbuh dengan indah. Para siswa yang mayoritas Katolik dan para santri yang beragama Islam menemukan banyak titik temu dalam keseharian mereka. Dari makan bersama dalam satu nampan hingga berbincang tentang kehidupan sehari-hari, mereka belajar bahwa nilai-nilai persahabatan, saling menghormati, dan kerja sama adalah hal yang universal. Perbedaan agama dan latar belakang tidak menjadi penghalang, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan memahami. Â
Pengalaman ini mengingatkan kita bahwa kebersamaan tidak memerlukan keseragaman. Justru, perbedaan memperkaya interaksi manusia dan memberi kesempatan untuk saling belajar. Di Pesantren Al Furqon, para Kanisian dan santri menunjukkan bahwa dengan hati yang terbuka, perbedaan dapat menjadi sumber kekuatan untuk menciptakan persatuan. Hal ini sesuai dengan semboyan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, yang menegaskan bahwa kita dapat berbeda namun tetap satu. Â
Keserasian dalam perbedaan juga menjadi refleksi penting bagi bangsa Indonesia. Sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa, Indonesia membutuhkan generasi muda yang mampu membangun dialog lintas budaya dan agama. Dengan saling berjumpa dan berkolaborasi, seperti yang dilakukan di Al Furqon, kita dapat menciptakan ruang yang mendukung terciptanya harmoni sosial. Generasi muda harus menyadari bahwa masa depan Indonesia terletak pada kemampuan untuk menjaga keserasian ini di tengah perbedaan yang ada.Â
Melalui pengalaman ini, tersampaikan pesan bahwa keberagaman bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti atau dihindari. Sebaliknya, ia adalah warisan yang harus dirawat dan dilestarikan. Keserasian dalam perbedaan tidak hanya relevan untuk Al Furqon atau Kolese Kanisius, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia. Karena pada akhirnya, seperti kata Martin Luther King, kita harus belajar hidup bersama sebagai saudara atau binasa bersama sebagai orang bodoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H