Mohon tunggu...
EUSEBIUS PURWADI
EUSEBIUS PURWADI Mohon Tunggu... Pengacara - ADVOKAT

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2000. Kecil-kecilan buka kantor hukum bersama rekan-rekan lainnya. Banyak melakukan kegiatan advokasi rakyat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa yang Salah dengan Sistem Proporsional Terbuka?

9 Februari 2023   22:03 Diperbarui: 12 Februari 2023   16:31 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Data dari KPU Kota Surabaya : https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu

Sesungguhnya, UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak menjelaskan apapun pengertian ataupun definisi dari "Sistem Proporsional Terbuka" walaupun di dalam Pasal 168 Ayat (2) UU Pemilu menyebutkan:

Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Ada banyak pihak yang mengatakan, lawan dari sistem proporsional terbuka adalah sistem proporsional tertutup. Ada yang mengatakan bahwa sistem proporsional terbuka lebih partisipasif daripada sistem proporsional tertutup. Ada yang mengatakan sistem proporsional tertutup lebih mengedepankan kepentingan partai daripada kepentingan rakyat. Ada yang mengatakan sistem proporsional terbuka lebih mengedepankan kepentingan individu.

Semua bebas menafsirkan dan tidak ada yang salah, karena pada prakteknya semua penafsiran tersebut akhirnya tergantung dari dinamika di masyarakat, selain memang  tidak ada penjelasan yang normatif dari UU Pemilu itu sendiri. 

Kalau saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menguji ketentuan Sistem Proporsional Terbuka yang di atur dalam Pasal 168 UU Pemilu sementara tidak ada penjelasan yang normatif dari sistem proporsional terbuka, maka dari sisi normatif manakah dari sistem proporsional terbuka yang diatur dalam Pasal 168 Ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan norma-norma  UUD 1945?

Selain Pasal 168 Ayat (2),  ada pasal lain yang diatur dalam UU Pemilu yang menjadi kunci masalah, di mana pasal tersebut sering diidentikan sebagai pelaksanaan sistem proporsional terbuka walaupun hal yang identik itu belum tentu benar, yaitu pasal Pasal 422 UU Pemilu:

Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di satu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara.

Pasal 422 UU Pemilu, menurut saya mengabaikan Pasal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 UU Pemilu. Singkatnya, Pasal 422 mengedepankan semangat individual atau liberal, sedangkan Pasal asal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 mengedepankan semangat gotong royong. 

Pasal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 menempatkan pemilik club sepakbola, pemain sepak bola, tim official bergotong royong dalam satu tim dengan mencurahkan fisik maupun mental  untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya di gawang lawan.

Tapi dengan adanya ketentuan Pasal 422, yang  menerima hadiah atau bonus kemenangan hanya pemain yang mencetak gol di gawang lawan.

Menurut anda, apakah ini adil?

Pasal 1 Angka 27:

Peserta Pemilu adalah Partai Politik untuk Pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten/Kota, Perseorangan untuk Pemilu Anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Peserta pemilu legislatif adalah Partai Politik dan bukan calon legislatif (caleg). Apakah semua partai politik bisa bertarung? Ternyata tidak. Yang bertarung adalah partai politik yang lolos verifikasi administratif dan faktual.

Artinya, partai politik mulai bertarung bukan pada saat kampanye atau pencoblosan, tapi sejak partai politik menyiapkan administrasi dan pembiayaan pembangunan partai politik. Partai politik yang bisa bertarung pada saat pemilu 2024 adalah partai politik yang lolos verifikasi administrasi maupun verifikasi faktual. 

Dalam proses ini, persiapan administrasi tidak membutuhkan adanya caleg.  Kalau suatu partai politik lolos sebagai peserta pemilu, maka partai politik tersebut tetap menjadi peserta pemilu walaupun tidak mempunyai caleg. Kalau seseorang memenuhi persyaratan administrasi menjadi caleg, maka semua itu tiada guna  kalau partai politiknya tidak lolos menjadi peserta pemilu.

Dan satu hal yang sangat penting, bahwa untuk lolos administrasi dan faktual, tidak bisa dikerjakan oleh satu orang tapi oleh banyak orang yang tergabung dalam partai politik. 

Caleg pada prinsipnya ada dalam satu rumah dan bukan di luar rumah. Baik dan buruknya akibat dari tindakan seorang caleg terpilih, yang menanggung akibat baik dan buruknya bukan hanya caleg terpilih tapi parpol yang menjadikannya sebagai caleg terpilih.

Sebagai peserta pemilu, partai politik  mengumpulkan seluruh anggota partai, semua caleg partai, relawan partai, dan lain-lainnya untuk bersama-sama melakukan kampanye  dan mempengaruhi massa pemilih dengan tujuan  partai politik memperoleh kursi legislatif sebanyak-banyak.  Tidak akan ada caleg terpilih kalau tidak kursi yang diperoleh oleh partai politik dalam satu daerah pemilihan.

Pasal 419:

Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota Partai Politik peserta pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan pasal 414 di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Tuh, coba baca kembali Pasal 419 tersebut di atas. Perolehan jumlah kursi anggota legislatif bukan ditentukan berapa banyak suara sah yang diperoleh oleh masing-masing caleg, melainkan berapa banyak sah yang diperoleh Partai Politik.

Suara sah partai politik meliputi total penjumlahan suara sah dari pemilih yang mencoblos gambar partai politik dan suara sah dari pemilih yang mencoblos masing-masing gambar caleg partai yang ada dalam surat suara.

Perhitungan suara tersebut diatur dalam Pasal 1 Angka 26 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum (PKPU No.3 Tahun 2019).

Penghitungan Suara adalah proses penghitungan Surat Suara oleh KPPS untuk menentukan suara sah yang diperoleh Partai Politik dan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, calon perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Surat Suara yang dinyatakan tidak sah, Surat Suara yang tidak terpakai dan Surat Suara rusak/keliru dicoblos.

Tabel di bawah ini merupakan hasil penghitungan KPU Kota Surabaya terhadap suara sah dari pemilih yang mencoblos gambar Partai Golkar dan Pemilih yang mencoblos gambar caleg Partai Golkar dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kota Surabaya tahun 2019 dari Daerah Pemilihan I Kota Surabaya.

Dari tabel tersebut, pemilih yang mencoblos gambar Partai Golkar sebanyak 5.194 Suara Sah. Jumlah pemilih yang mencoblos masing-masing gambar caleg Partai Golkar sebanyak 14.608 Suara Sah. Jadi total jumlah pemilih yang mencoblos gambar Partai Golkar dan mencoblos gambar caleg-caleg Partai Golkar sebanyak 19.802 Suara Sah.

Jumlah total suara sah yang diperoleh partai Golkar inilah yang dijadikan amunisi bagi Partai untuk perang dengan partai politik lainnya memperebutkan kursi anggota DPRD Kota Surabaya di Daerah Pemilihan I Kota Surabaya pada Pemilu Caleg 2019. 

Selanjutnya memasuki tahap penentuan perolehan kursi anggota legislatif berdasarkan tahapan penghitungan yang diatur dalam Pasal 420 UU Pemilu.

Penetapan perolehan jumlah kursi tiap Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dilakukan dengan ketentuan:

a. penetapan jumlah suara sah setiap Partai Politik Peserta Pemilu di daerah pemilihan sebagai suara sah setiap partai politik.
b. membagi suara sah setiap Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3;5;7; dan seterusnya. 
c. hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak.
d. nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.

Dan tabel di bawah ini merupakan hasil penghitungan KPU Kota Surabaya terhadap adalah perolehan suara sah yang diperoleh setiap partai politik untuk perang memperebutkan kursi anggota DPRD Kota Surabaya di Daerah Pemilihan I Kota Surabaya pada Pemilu Caleg 2019.

Sumber Data Dari KPU Kota Surabaya: https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu
Sumber Data Dari KPU Kota Surabaya: https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu

Sesuai dengan ketentuan Pasal 420 huruf b UU Pemilu, langkah selanjutnya adalah KPU Surabaya membagi suara suara sah dari setiap partai politik dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3;5;7; dan seterusnya.

Metode penghitungan ini dikenal dengan Metode Saint League. Dan hasil pembagian suara sah dari setiap partai politik yang ada di Daeraeh Pemilihan 1 Kota Surabaya adalah sebagai berikut:

Sumber Data dari KPU Kota Surabaya : https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu
Sumber Data dari KPU Kota Surabaya : https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu

Hasil pembagian suara sah tersebut menurut Pasal 420 huruf c UU Pemilu, oleh KPU Kota Surabaya diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak dengan ketentuan: Nilai banyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di Daerah Pemilihan (Dapil) habis terbagi. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:

Sumber Data Dari KPU Kota Surabaya : https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu
Sumber Data Dari KPU Kota Surabaya : https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu

Berdasarkan hasil urutan suara terbanyak tersebut di atas,  Partai Golkar mendapatkan Kursi Ketujuh. Setelah ini, muncul pertanyaan yang sangat mendasar yang akhirnya menjadi persoalan saat ini. Yaitu, Apakah perolehan 1 (satu) kursi anggota DPRD Kota Surabaya tersebut milik Partai Golkar atau Caleg Partai Golkar? Kalau milik Partai Golkar, maka siapakah yang menentukan caleg Partai Golkar yang mengisi Kursi Anggota DPRD Kota Surabaya tersebut?

Untuk menentukan calon terpilih, KPU mendasarkan pada ketentuan Pasal 422 UU Pemilu,  yaitu bukan berdasarkan caleg yang ditetapkan Partai Golkar melainkan berdasarkan caleg yang memperoleh suara terbanyak di antara caleg Partai Golkar lainnya yang ada di Dapil I Kota Surabaya. Dalam hal caleg terpilih tersebut adalah DRA.EC.HJ.PERTIWI AYU KRISHNA,MM dengan memperoleh suara sah sebanyak 6.285 orang.

Ketentuan Pasal 422 ini seharusnya ditiadakan atau diubah karena ketentuan ini tidaklah fair dan tidak adil. Perolehan 1 (satu) kursi Partai Golkar yang merupakan hasil kontribusi suara sah dari pemilih yang mencoblos gambar Partai Golkar dan gambar caleg Partai Golkar lainnya TELAH DIABAIKAN dengan adanya ketentuan Pasal 422. 

Karena DRA.EC.HJ.PERTIWI AYU KRISHNA,MM sebagai pemilik suara sah terbanyak diantara caleg partai golkar lainnya, tidak akan pernah menjadi anggota DPRD Kota Surabaya jika penghitungan perolehan kursi anggota dewan sebagaimana yang dimaksud Pasal 419, tidak melibatkan suara sah dari pemilih yang mencoblos gambar Partai Golkar dan suara sah dari pemilih yang mencoblos gambar caleg Partai Golkar lainnya.

Jika jumlah pemilih yang mencoblos gambar partai golkar sebanyak 5.194 Suara Sah tidak dihitung, maka Partai Golkar sama sekali tidak memperoleh Kursi Anggota DPRD Kota Surabaya dari Dapil I Kota Surabaya.

Begitu pula dengan keberadaan suara sah dari pemilih yang mencoblos caleg Partai Golkar lainnya. Tanpa ada suara sah dari pemilih yang mencoblos gambar caleg Partai Golkar yaitu Hj.DJAYATI, maka Partai Golkar tidak memperoleh Kursi Anggota DPRD Kota Surabaya.

Tanpa ada ada suara sah dari pemilih yang mencoblos caleg Partai Golkar yaitu NIKODEMUS MARCO HADI SURYA dan TEDDY GANESHA TAHAPARY,S.IP., Partai Golkar pasti kehilangan kursi anggota DPRD Kota Surabaya dan direbut oleh Partai Demokrat.

Sumber Data dari KPU Kota Surabaya : https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu
Sumber Data dari KPU Kota Surabaya : https://kota-surabaya.kpu.go.id/arsip/96/hasil-pemilu

Dengan gambaran tersebut diatas, seharusnya  penetapan calon terpilih ditetapkan oleh KPU berdasarkan calon terpilih yang ditetapkan Partai Politik.

Mengapa demikian? Karena pada prinsipnya “Peserta Pemilu” yang diatur dalam Pasal 1 Angka 27 UU Pemilu adalah partai politik. Jika kita ingin sistem pemilu yang adil dan fair maka ketentuan Pasal 422 harus diubah menjadi:

Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Partai Politik di satu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara.

Namun jika tetap mempertahankan atau tidak mengubah ketentuan Pasal 422 UU No.7 Tahun 2017 maka untuk mencapai pemilu legislatif yang adil dan fair maka perlu mengubah beberapa pasal yang ada dalam UU No.7 Tahun 2017, antara lain:

Mengubah isi Pasal 1 Angka 27 UU Pemilu menjadi:

  • a. Peserta Pemilu adalah calon Anggota DPR, Calon Anggota DPRD Provinsi, Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
  • b. Peserta Pemilu adalah perseorangan untuk Pemilu Anggota DPD.
  • c. Peserta Pemilu adalah Pasangan yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Mengubah Pasal 419 UU Pemilu menjadi:

Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota didasarkan atas hasil penghitungan suara sah terbanyak yang diperoleh dari setiap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang diusulkan oleh Partai Politik di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Mengubah Pasal 42o UU Pemilu menjadi:

Penetapan perolehan jumlah kursi tiap Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dilakukan dengan ketentuan:

  • a. penetapan jumlah suara sah setiap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di daerah pemilihan sebagai suara sah setiap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
  • b. hasil penetapan jumlah suara sah sebagaimana dimaksud pada huruf a diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak.
  • c. nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.

Dengan usulan perubahan Pasal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 maka Pasal 422 tidak berubah. Kalau ada yang mengatakan bahwa usulan perubahan Pasal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 telah menempatkan Partai Politik hanya menjadi batu loncatan. Maka memang demikian adanya.

Hanya saja dengan perubahan pasal tersebut, pertarungan pemilu legislatif lebih fair karena perolehan kursi yang diperoleh caleg terpilih tidak menggunakan atau meminjam suara sah dari pemilih yang mencoblos caleg partai politik yang ada dalam satu partai dan/atau tidak meminjam atau menggunakan suara sah yang mencoblos gambar Partai Politik.

Kalau memang masih mempertahankan ketentuan Pasal 422 tanpa mengubah Pasal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 maka penetapan calon terpilih anggota dewan dengan menggunakan suara sah dari pemilih suara sah Partai Politik dan pemilih suara sah caleg partai dengan tujuan memperoleh kursi anggota dewan merupakan MANIPULASI POLITIK YANG DILEGITIMASI UNDANG-UNDANG. Karena penggunaan suara sah tersebut tanpa izin dari pemilih yang mencoblos gambar Partai Politik dan caleg partai politik bersangkutan secara sah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun