Sesungguhnya, UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak menjelaskan apapun pengertian ataupun definisi dari "Sistem Proporsional Terbuka" walaupun di dalam Pasal 168 Ayat (2) UU Pemilu menyebutkan:
Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Ada banyak pihak yang mengatakan, lawan dari sistem proporsional terbuka adalah sistem proporsional tertutup. Ada yang mengatakan bahwa sistem proporsional terbuka lebih partisipasif daripada sistem proporsional tertutup. Ada yang mengatakan sistem proporsional tertutup lebih mengedepankan kepentingan partai daripada kepentingan rakyat. Ada yang mengatakan sistem proporsional terbuka lebih mengedepankan kepentingan individu.
Semua bebas menafsirkan dan tidak ada yang salah, karena pada prakteknya semua penafsiran tersebut akhirnya tergantung dari dinamika di masyarakat, selain memang  tidak ada penjelasan yang normatif dari UU Pemilu itu sendiri.Â
Kalau saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menguji ketentuan Sistem Proporsional Terbuka yang di atur dalam Pasal 168 UU Pemilu sementara tidak ada penjelasan yang normatif dari sistem proporsional terbuka, maka dari sisi normatif manakah dari sistem proporsional terbuka yang diatur dalam Pasal 168 Ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan norma-norma  UUD 1945?
Selain Pasal 168 Ayat (2), Â ada pasal lain yang diatur dalam UU Pemilu yang menjadi kunci masalah, di mana pasal tersebut sering diidentikan sebagai pelaksanaan sistem proporsional terbuka walaupun hal yang identik itu belum tentu benar, yaitu pasal Pasal 422 UU Pemilu:
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di satu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara.
Pasal 422 UU Pemilu, menurut saya mengabaikan Pasal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 UU Pemilu. Singkatnya, Pasal 422 mengedepankan semangat individual atau liberal, sedangkan Pasal asal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 mengedepankan semangat gotong royong.Â
Pasal 1 Angka 27, Pasal 419, dan Pasal 420 menempatkan pemilik club sepakbola, pemain sepak bola, tim official bergotong royong dalam satu tim dengan mencurahkan fisik maupun mental  untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya di gawang lawan.
Tapi dengan adanya ketentuan Pasal 422, yang  menerima hadiah atau bonus kemenangan hanya pemain yang mencetak gol di gawang lawan.
Menurut anda, apakah ini adil?