Mohon tunggu...
Eusebius Purwadi
Eusebius Purwadi Mohon Tunggu... Konsultan - Advokat

Hello..nama saya Eusebius Purwadi. Saya bertempat tinggal di Kota Surabaya. Kehadiran saya di Kompasiana ingin banyak belajar dan pelajaran dari kawan-kawan yang tergabung dalam Kompasiana ini.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belum Diundangkan, RUU Perubahan UU No.30/2002 Belum Berlaku

19 Oktober 2019   05:05 Diperbarui: 19 Oktober 2019   05:13 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 5 September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Periode 2014-2019 melaksanakan Rapat Paripurna untuk mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002  Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[1] Sehingga dengan adanya pengesahan tersebut, revisi UU No.30/2002 resmi diusulkan oleh DPR kepada kepada Presiden 2002. Selanjutnya pada tanggal 17 September 2019, Presiden menyetujui RUU Perubahan Kedua UU No.30/2002.[2]

Hingga saat ini (19/10/2019), Presiden Jokowi belum mengesahkan RUU Perubahan Kedua UU No.30/2002 dan mengundangkan RUU Perubahan Kedua UU No.30/2002  dalam Lembaran Negara. Belum sampai pada proses pengesahan, tiba-tiba para Komisioner KPK mengundurkan diri (akhirnya tidak jadi) karena menolak RUU Perubahan Kedua UU No.30/2002 dan bersamaan muncul gelombang aksi mahasiswa besar secara serentak di kepulauan Jawa yang menolak RUU Perubahan Kedua UU No.30/2002.

Ditengah aksi mahasiswa tersebut muncul wacana agar Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas Perubahan Kedua UU No.30/2002. Dan hingga saat ini pula(19/10/2019), Presiden Jokowi tidak menuruti kemauan mahasiswa dan pakar-pakar Hukum Tata Negara. Sikap Presiden Jokowi yang tidak segera mengeluarkan Perppu dianggap mengolor-olor waktu.[3] Sementara Tjahyo Kumolo selaku Plt Kemenhunkam menegaskan belum ada rencana Presiden mengeluarkan Perppu.[4]

Jika Presiden Jokowi tidak mengeluarkan Perppu, lalu bagaimana nasib RUU Perubahan Kedua UU No.30/2002 yang diusulkan oleh DPR RI dan sudah mendapatkan persetujuan dari Presiden?

Jawaban atas pertanyaan di atas, dapat kita temui dalam Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945:

Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut telah disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Walaupun dalam waktu 30 hari Presiden tidak mengesahkan RUU tersebut, maka RUU Perubahan Kedua Atas UU No.30/2002 tetap sah menjadi undang-undang.

Pertanyaannya, jika sudah sah menjadi undang-undang, mengapa wajib diundangkan?

 

Jawabannya dapat kita ketahui pada Pasal 81 UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan : 

"Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundangundangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; c. Berita Negara Republik Indonesia; d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; e. Lembaran Daerah; f. Tambahan Lembaran Daerah; atau g. Berita Daerah."

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 82 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan, bahwa salah satu bentuk dari peraturan perundang-undangan  yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia  yaitu Undang-Undang. Dan menurut Pasal 85 UU No.11 Tahun 2011, bahwa Pengundangan Undang-Undang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Dan selanjutnya, Pasal 87 UU NO.12 Tahun 2011 menegaskan, bahwa Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Dengan ketentuan tersebut di atas, RUU Perubahan Kedua Atas UU No.30/2002 memang sudah sah menjadi undang-undang. Namun Undang-Undang yang sudah sah tersebut tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada setiap orang jika Presiden Jokowi tidak menetapkan tanggal diundangkannnya RUU Perubahan Kedua Atas UU No.30/2002 yang sudah sah tersebut.

Jika Presiden Jokowi tidak mengundangkan RUU Perubahan Kedua Atas UU No.30/2002, apakah artinya Presiden Jokowi boleh mengeluarkan Perppu?

Untuk hal ini, kita kembali pada pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi terkait dengan kedudukan Perppu itu sendiri. Menurut Hakim Konstitusi sebagaimana yang ada dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila: 

  • adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  • Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan okum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  • kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

 Mahkamah Konsitusi berpendapat tiga syarat di atas adalah syarat adanya "KEGENTINGAN YANG MEMAKSA" sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945,

Seharusnya para pakar-pakar Hukum Tata Negara jujur, sebenarnya tidak ada alasan obyektif yang digunakan Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Tentang Atas Perubahan UU No.30/2002 atau tidak ada alasan yang mendasar bagi Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu yang sesuai dengan keadaan "Kegentingan Yang memaksa".

Lalu, jika Presiden Jokowi tidak mengeluarkan Perppu apakah Presiden melanggar konstitusi? Perppu merupakan kewenangan atau Hak Konstitusi Presiden. Jadi selama Presiden tidak menggunakan haknya untuk mengeluarkan Perppu maka Presiden tidak melanggar Konstitusi. Yang terjadi sebaliknya, Presiden dianggap melanggar Konstitusi jika Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden tidak sesuai dengan kriteria "Kegentingan Yang Memaksa" sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Lalu, apakah Presiden Jokowi bisa dikatakan melanggar Konstitusi jika tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dimaksud Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, yaitu mengundangkan undang-undang yang sah?

Merujuk Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, Presiden Jokowi secara konstitusional mempunyai kewajiban mengundangkan RUU Perubahan Kedua Atas UU No.30/2002 yang sudah sah menjadi undang-undang. Kalau Presiden Jokowi tidak melaksanakan kewajiban Konstitusinya maka ada potensi Presiden Jokowi diimpeachment oleh DPR RI.

Apakah itu bisa terjadi? Tidak akan terjadi. Karena kewajiban untuk mengundangkan RUU Perubahan Kedua Atas UU No.30/2002 yang sudah sah menjadi undang-undang adalah kewajiban Presiden Jokowi pada masa periode kepimpinan 2014-2019. Bukan Presiden Jokowi pada masa Periode Kepempinan 2019-2024.

Surabaya, 19 Oktober 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun