Mohon tunggu...
Euri Ametsa
Euri Ametsa Mohon Tunggu... -

Come to my digital home adelwanblog.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bidadari Plastik

30 Januari 2017   23:40 Diperbarui: 31 Januari 2017   09:52 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah kepala desa, aku mendengar dia mewawancarai seseorang yang suaranya tidak aku kenal. Aku yakin, pasti dia orang dari pihak kepolisian. Setelah memberi komentar tentang para pembuat dosa yang dilaporkan oleh kepala desa kepada pihaknya. Suara kembali beralih kepada si wartawan yang meminta kepala desa mengizinkannya untuk meliput sang bidadari. Baiklah, sekarang giliranku untuk dikenal sebagai seorang bidadari telah tiba.

Suara langkah menuju kamar tempat aku berada terdengar pelan dan berat. Para perempuan yang menjagaku segera merapikan pakaian mereka dan tentu saja pakaianku. Entah mengapa aku merasa sedikit gugup. Pintu kamar dibuka perlahan, mataku bertatapan dengan seorang wanita berkulit putih, berambut keriting, dengan sebuah microfon dipegang di tangan kanannya. Dia memperlihatkan ekspresi terkejut. Sebuah ekspresi yang wajar. Tidak ada satu orangpun yang tidak terkejut melihat keindahan dan kecantikanku.

 Kemudian, sesosok tubuh berseragam kepolisian juga masuk, dan dia memperlihatkan ekspresi yang sama. Aku semakin bangga melihatnya, apalagi, setelah itu mereka berdua saling memandang, dan tidak bergerak sama sekali. Setelah beberapa detik yang sunyi, mulut wartawan televisi itu bergerak, mengucapkan sesuatu dengan nada yang sedikit bergetar.

“Pak...”

Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya kepada polisi tersebut.

“Inikan boneka seks?”

***

Akhirnya, aku memang masuk televisi dan bahkan disiarkan oleh berbagai macam televisi nasional. Tapi, bukan sebagai bidadari, tapi sebagai boneka seks yang dianggap sebagai bidadari oleh masyarakat desa yang, kata-katanya sedikit diperhalus, polos. Aku dibawa ke kantor polisi dan kemudian dikembalikan ke desa. Setelah itu datang beberapa dokter yang khusus didatangkan dari kota untuk menjelaskan apa itu boneka seks kepada para penduduk desa. Konyol memang, tapi begitulah adanya. 

Aku yakin, nanti pasti ada orang-orang desa yang kesepian, mengumpulkan uang mereka sedikit demi sedikit, berniat membeli boneka seks sepertiku apapun caranya. Juga, mantan pacar kembang desa yang sebelumnya memutuskan pacarnya karenaku, akhirnya menjadi bahan ledekan oleh kembang desa dan pacar barunya. Malu dengan ketololannya, dia bunuh diri dengan cara melompat dari atap rumah ibadah yang bertingkat dua setelah sebelumnya meletakkan sebuah batu besar dan tajam di bawahnya.

Setelah beberapa hari di kantor polisi, aku dikembalikan lagi ke desa, ke rumah nenek dan kakek Hesa. Namun, aku hanya sebentar berada di sana karena kepala desa memintaku untuk ditempatkan di rumah kakek Zaenal. Oh ya, si kakek Zaenal itu meski telah ketahuan kalau dia berbohong, tetap saja pengaruhnya tidak hilang. Dia bisa mengembalikan kepercayaan tersebut dengan mengatakan kalau tuhan telah membawa sang bidadari ke surga karena tidak ingin bidadarinya menjadi sumber fitnah seperti yang telah terjadi di desa mereka. Penduduk desa yang polos itu, baiklah, maksudku yang bego itu, percaya saja dan kembali beraktivitas kembali seperti tidak terjadi apa-apa.

Manusia pertama yang memakaiku di desa ini, tidak perlu kamu susah untuk menebaknya, yaitu si kakek Zaenal, kepala desa, yang ketiga agak sedikit mengejutkan, Kakek Hesa, kemudian berlanjut ke hampir seluruh penduduk desa yang laki-laki. Yah, dulu mereka memanggilku biadadari, sekarang mereka memanggilku boneka seks. Tidak mengapalah, setidaknya, tidak seperti pemilikku yang pertama, mereka selalu memakaikanku baju yang berbeda setiap minggu. Kurasa, itu sudah lebih dari cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun