Mohon tunggu...
Eudia Viona Fransiska
Eudia Viona Fransiska Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Eudia Viona Fransiska, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan mengusai Peminatan Hukum Ketatanegaraan. Selama berkuliah, aktif dalam berbagai kepanitiaan, perlombaan, dan organisasi. Lomba yang pernah diikuti, seperti Lomba Surat Gugatan, Lomba Essay, Lomba Debat. Organisasi yang pernah diikuti seperti Komunitas Debat dan Riset Mahasiswa (Departemen Kajian Strategis) , Komunitas Anti Korupsi(Departemen Media Interaktif), dan Lembaga Belajar Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Divisi Akademik). Pengalaman Magang MBKM Tahun 2022 bersama Bantuan Hukum Tentrem, Magang di ICJR, Magang di Kantor Notaris dan PPAT dan LawFirm serta Asisten Dosen Tahun 2021.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Lembaga Peradilan Kembali Bersinar" 20 Tahun MK: Catatan dan Harapan Baru

17 Juli 2023   10:51 Diperbarui: 17 Juli 2023   11:04 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan lembaga negara dengan memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam penyelenggaraan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir. Dalam sejarah, konstitusi merupakan hukum dasar tertulis (UUD) dan tidak tertulis (konvensi). Isi konstitusi suatu negara sangat bergantung bagaimana sifat kekuasaan itu sendiri. Artinya konstitusi di suatu negara demokrasi berbeda dengan konstitusi di negara non demokrasi (otoriter). Indonesia merupakan negara demokrasi sesuai ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang".

Prinsip konstitusi di negara demokratis terdapat empat prinsip yaitu adanya jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan syarat mutlak di dalam negara demokratis dan negara hukum, susunan negara yang fundamental yang memiliki arti pokok, prinsip, dan mendasar, dan adanya pembagian dalam rangka pembatasan kekuasaan. 

Pembagian dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut setelah amandemen, konstitusi Indonesia mengenal adanya dua pembagian kekuasaan secara vertikal yang  meliputi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, dan secara  horizontal setelah amandemen UUD 1945 terdapat 7 (tujuh) lembaga tinggi negara (Sapta as Politica) yang terdiri Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia  yang kedudukannya sejajar, maka bukan lembaga tertinggi negara.

Aspek historis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dimulai 13 Agustus 2003 DPR bersama Presiden menyetujui dan disahkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316. Kemudian tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melantik hakim konstitusi pertama melalui Keputusan Presiden Nomor 147/7M Tahun 2003 dilanjutkan sumpah jabatan pada tanggal 16 Agustus 2003. Sehingga sejak 15 Agustus 2003 menandai bahwa salah satu cabang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang selanjutnya disebut MKRI  sudah mulai beroperasi.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang terdiri dari pengujian Undang-undang, Legal standing merupakan pihak-pihak yang mempunyai hak untuk mengajukan di Mahkamah Konstitusi RI, permohonan terdiri dari permohonan online dan offline, pembuktian seperti yang dikatakan oleh Prof.dr.Eddy dalam menyampaikan teori tentang pembuktian "bukti harus lebih terang dari cahaya", pengambilan keputusan yang diadakan sidang pleno tertutup dan pada saat putusan dilakukan sidang terbuka.

 Ketentuan Kewenangan MKRI terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang bersifat paradigmatik, yaitu;

1. Pengujian Undang-undang

Pengujian paradigmatik ketatanegaraan karena Undang-undang adalah tafsir formal konstitusi (UUD) yang dilakukan oleh lembaga legislatif (Presiden dan DPR). Mengingat UUD pasca amandemen IV, tidak dijumpai adanya bagian penjelasan. Oleh sebab itu, harus ada lembaga yang diberi kekuasaan kehakiman dan memiliki kewenangan menafsirkan Undang-undang terhadap UUD.

2. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Disebut persoalan paradigmatik ketatanegaraan karena Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar". Ketentuan semacam ini memunculkan tafsir teologis, yaitu tafsir yang mengarah pada perkembangan ke depan bahwa setiap lembaga yang disebut di dalam UUD merupakan menjejawantahan kedaulatan rakyat. Dan oleh sebab itu, diperlukan lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan untuk memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.

3.Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU)

Disebut paradigmatik ketatanegaraan karena melalui pemilu, organ negara yang utama dalam penyelenggaraan kedaulatan dan demokrasi dilaksanakan. Organ yang dimaksud tidak lain adalah Presiden, DPR, dan DPD. Dalam pemilu di Indonesia representasi kedaulatan rakyat diwujudkann melalui :

a. Representasi kedaulatan rakyat bidang pemerintahan yaitu memilih presiden dan wakil presiden;

b. Representasi di bidang kedaulatan rakyat dalam perspektif politis memilih anggota DPR/DPRD;

c. Representasi kedaulatan rakyat dalam perspektif kewilayahan yaitu memilih anggota anggota DPR;

d. Representasi seperti ini juga merupakan syarat berdirinya negara dalam perspektif internal. Jika eksternal yaitu pengakuan dari negara lain.

Oleh sebab itu, sengketa perselisihan hasil pemilu harus diselesaikan oleh pemegang kekuasaan yudikatif yang memiliki kewennagan paradigmatik yakni MKRI.

4. Pembubaran Partai Politik (Parpol)

Disebut sebagai paradigmatik sistem ketatanegaraan karena walaupun parpol hanya disebut dalam UUD NRI 1945 sebanyak 3 pasal, namun posisi dan fungsi parpol sebagai infrastruktur politik menduduki peran yang sangat strategis karena calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik dan atau gabungan partai politik serta peserta pemilu DPR/DPRD adalah partai politik. Oleh sebab itu, kendati partai politik dapat membubarkan sendiri namun jika ada kehendak dari negara (pemerintah) untuk membubarkan partai politik keputusannya harus melalui proses peradilan yang dilakukan oleh kekuasan yudikatif dengan wewenang yang sangat besar.

5. Pemakzulan

Disebut sebagai paradigmatik karena dalam sistem presidensiil, presiden berkedudukan sebagai kepala negara, simbolisasi (personifikasi negara) dan kepala pemerintahan. Oleh sebab itu, ketika presiden melakukan pelanggaraan hukum berat maka peradilannya harus melalui Forum Previligiatum yaitu hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan pengadilan negeri.

Adanya 5 kewenangan inilah yang menjadi latar belakang konstitual munculnya peradilan konstitusi negara RI berdasarkan UUD NRI 1945.

Lambat tahun krisis kepercayaan masyarakat terhadap negara menurun dengan dimulainya skandal penggelapan dan pemalsuan mulai menyerang dunia peradilan pada periode Ketua MKRI Mahfud MD. Pada tahun 2010 Andi Nurpati mantan anggota Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU, dengan perkara penggelapan dan pemalsuan surat dalam sengketa pemilihan anggota Dewan Perwakilan Raykat yang selanjutnya disebut DPR. Pada tahun 2013 Indonesia mengalami bencana demokrasi. 

Saat itu Komisi Pemberantasan Korupsi yang selanjutnya disebut KPK berhasil menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar dengan perencanaan penyerahan sejumlah uang untuk diserahkan kepada pihak yang berperkara dalam sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Berselang empat tahun, MKRI jatuh kembali pada lubang yang sama. Hakim MKRI, Patrialis Akbar tertangkap KPK dengan perkara penyuapan terhadap permohonan pengujian Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan akhirnya dihukum penjara selama 8 tahun, namun hukumannya dipotong setahun menjadi 7 tahun oleh Mahkamah Agung yang selanjutnya disebut MA

Babak baru di dunia peradilan konstitusi dengan mencetak pertama dalam sejarah 9 Hakim MKRI dilaporkan ke polisi atas dugaan tindak pidana pemalsuan dan substansi putusan yang sengaja diubah dengan frasa "demikian" diubah menjadi "ke depan" dalam substansi putusan uji materi perkara Nomor 103/PUU-XX/2022. Masalah ini ditangani oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MKMK. Tertanggal 1 Februari 2023, MKMK sudah mulai menyelesaikan kasus tersebut dan selesai selama 30 hari.

Kendati demikian, Hakim Konstitusi sampai saat ini menduduki tempat yang terhormat. Hakim MKRI dituntut untuk memiliki sifat kenegaraan. Karena melalui hakim MKRI maka teori-teori konstitusi, pengembangan konstitusi dan pemahaman konstitusi digali secara terus-menerus melalui putusannya. Jadi hakim relative memiliki wibawa cukup yaitu hakim Mahkamah Konstitusi. Hakim MKRI diawasi oleh Majelis Etik dari Mahkamah Konstitusi. Goresan noda yang pernah menimpa MKRI, kini saatnya berganti menjadi obat sekaligus bentuk refleksi dalam dua dekade perjalanan MKRI dalam dunia peradilan.

Apakah MKRI rela mengorbani hati nurani rakyat? Segenggam harapan seluruh elemen masyarakat terhadap penjaga konstitusi sebagai The guardian of constitution MKRI sebagai pengawal konstitusi Indonesia, the final interpreter of constitution sebagai kewenangan MKRI menafsirkan konstitusi, the guardian democracy MKRI sebagai penjaga demokrasi, the protector of citizen MKRI sebagai penjaga hak kostitusional warga negara dan the protector of human rights MKRI sebagai pelindung hak asasi manusia. "Dua dekade MKRI, MKRI pulih".  

Kepercayaan masyarakat kembali pulih dan harapan baru menjadi lembaran baru bagi MKRI di dunia demokrasi mewujudkan Pemilu sebagai agenda negara dalam merespresentasikan demokrasi yang sebenarnya. MKRI diharapkan tidak tergiring kepentingan tertentu, golongan tertentu, tujuan lain sehingga tetap dalam penekanan berada dalam Undang-undang. Pilar utama  dalam pesta demokrasi 2024 mendatang, dan tentunya tetap mampu mengjangkau cakrawala kepentingan dan kebutuhan demokarasi Indonesia mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun