Mohon tunggu...
Ety Budiharjo
Ety Budiharjo Mohon Tunggu... profesional -

Cinta Dengan Menulis, Menulis Dengan Cinta. My Blog is : etybudiharjo.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

BPJS Untuk Menyembuhkan Gotong Royong

30 Agustus 2015   21:23 Diperbarui: 30 Agustus 2015   21:30 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Matahari belum lagi muncul. Angkot yang saya tumpangi melaju lurus di jalan semi protokol. Terkadang berhenti jika ada penumpang yang ingin naik. Tapi terkadang tancap gas ketika ada teman yang sekaligus lawannya. Pemandangan itu hampir tiap hari saya jumpai di jalan pinggir kota Jakarta. Acara saya hari ini bukan untuk kopdar atau memenuhi undangan launching produk, tapi ingin menjenguk Bapak yang habis menjalani operasi katarak. Ini adalah kali kedua Bapak operasi katarak, pertama kalinya sudah setahun lalu. Dan enam bulan yang lalu, Bapak merasa matanya ( saya lupa sebelah mana ) pandangannya mulai kabur. Sayapun menyuruh Bapak untuk berobat ke Puskesmas. Dari Puskesmas Bapak dirujuk untuk berobat ke rumah sakit.

Setelah diperiksa ke rumah sakit, ternyata mata Bapak kena katarak. Dan dokter memutuskan untuk dioperasi. Sayangnya Bapak tidak bisa langsung dioperasi, tapi diminta untuk menunggu alias antri sampai 4 bulan ke depan. Setelah empat bulan berlalu, Bapak kembali menanyakan pada pihak rumah sakit kapan jadwal operasi kataraknya. Informasi yang didapat jadwalnya diundur dua bulan lagi. Dengan sabar Bapak menunggu untuk jangka waktu dua bulan. Waktu saya tanya sama Bapak tentang alasannya kenapa ditunda, Bapak juga nggak tau.

Melihat kondisi Bapak yang sudah berusia 70 tahun, iba rasanya membiarkan orang setua itu harus menunggu operasi katarak begitu lama. Emang sih, mata Bapak tidak sakit hanya penglihatnnya saja yang semakin buram. Saya lalu mengumpulkan adik-adik untuk berembug, gimana kalau Bapak dioperasi di klinik mata saja. Rembugan ini juga membicarakan masalah biaya yang harus dikeluarkan, dan itu akan kita tanggung bersama. Kisaran biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi katarak di rumah sakit swasta atau klinik sekitar 7 – 10 juta, bahkan ada yang lebih dari itu. Saya khawatir jadwal operasi katarak Bapak diundur lagi, kalau begitu bisa-bisa kataraknya semakin parah. Untuk menghindari hal itu makanya saya berencana untuk mengoperasi katarak Bapak di klinik mata swasta saja.

Keputusannya kami sepakat untuk mengoperasi katarak Bapak di rumah sakit lain, sayangnya Bapak menolak. Alasannya, mata Bapak masih bisa melihat meski buram. Jadi Bapak lebih memilih operasi di rumah sakit sebelumnya ketimbang bayar mahal. Bapak bersikukuh ingin menggunakan Kartu BPJS nya. Alasan lainnya Bapak tidak mau merepotkan anak-anaknya. Ah, ada-ada saja Bapakku ini, sungguh mulia hatinya.

Bapak adalah pensiunan PNS, dulu sebelum memiliki BPJS jaminan kesehatan Bapak bernaung di bawah PT. ASKES. Setelah ada peraturan baru dari Kementrian Kesehatan pada tangal 1 Januari 2014, PT. ASKES melebur ke dalam BPJS.

Mengapa Harus BPJS Kesehatan ?

Terus terang saya sangat miris melihat pelayanan pasien BPJS Kesehatan, termasuk kepada Bapak. Bayangkan, Bapak yang sudah diputuskan operasi masih harus menunggu lama. Nggak tanggung-tanggung lagi 6 bulan lamanya. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan dalam hati, apa sih sebenarnya yang terjadi ? Mengapa prosedurnya seperti itu ? Bukankah yang dilayani itu orang sakit bahkan ada yang sekarat pula ? Mengapa pelayanannya begitu lambat ? Pertanyaan-pertanyaan saya tersebut belum cukup. Masih banyak lagi yang ingin saya tanyakan tentang Kartu BPJS ini. Kartu sakti yang digadang-gadang bisa membantu rakyat kecil bebas dari biaya pengobatan.

Saya ingat tujuh tahun yang lalu, jauh sebelum BPJS Kesehatan lahir, Bapak juga pernah menjalani operasi Hernia. Pada saat itu Bapak masih menggunakan ASKES untuk jaminan kesehatannya. Sehabis pemeriksaan Bapak langsung disuruh operasi. Tanpa harus menunggu lama, bahkan tidak sampai berbulan-bulan Bapak sudah dioperasi. Mengapa setelah berganti menjadi BPJS Kesehatan prosedurnya malah semakin rumit. Sejatinya orang sakit itu harus segera mendapat pengobatan dan bukannya diulur-ulur. Kalau dibilang yang sakit banyak, dari dulu sampai sekarang orang sakit bertambah demikian pula dengan tenaga medis alias dokternya juga pasti bertambah. Pucuk dicinta ulam tiba, saat begitu banyak pertanyaan BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi bekerjasama dengan Kompasiana. Dan dari situlah saya banyak mendapatkan pencerahan tentang data dan fakta BPJS Kesehatan yang belum terakomodir di masyarakat Indonesia.

Kembali pada sub tulisan ini, Mengapa harus BPJS Kesehatan ? Berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2011, tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 14 : Kepesertaannya wajib bagi seluruh penduduk Indonesia dan WNA yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, maka sebenarnya BPJS Kesehatan ini adalah sebuah program unggulan dari Pemerintah untuk menyehatkan masyarakatnya secara menyeluruh. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya UU yang menyangkut tentang jaminan kesehatan. Sampai batas ini, saya masih juga bertanya, kalau ini program dari Pemerintah kenapa harus bayar ? Bukankah seharusnya dijamin seluruhnya oleh Pemerintah ?

Pertanyaan saya ini memang agak menggelitik, mengingat selama ini sebagai masyarakat saya terlalu terlena oleh sifat individualism sesaat. Pasalnya saya lupa bahwa masyarakat Indonesia memiliki tiga kasta, bawah, menengah dan atas. Dari ke tiga kasta tersebut, kasta bawahlah yang paling banyak. Mungkin dari sini jugalah timbul pemikiran bahwa BPJS Kesehatan dibuat berdasarkan ke tiga kasta tersebut. Dengan begitu lahirlah peserta jaminan kesehatan yang meliputi :

1. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan ( PBI ), mereka yang termasuk di sini adalah : fakir miskin dan orang tidak mampu.

2. Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan ( Non PBI ), mereka yang termasuk di sini adalah :

a. Pekerja penerima upah dan keluarganya yaitu : PNS, TNI, POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negri, Pegawai Swasta dan Pekerja lain yang menerima upah, termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 bulan.

b. Pekerja Bukan Penerima Upah dan keluarganya yaitu : Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja Mandiri dan Pekerja lain yang bukan penerima upah.

c. Bukan pekerja dan keluarganya yaitu : Investor, Pemberi Kerja, Penerima pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan, Janda, Duda atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan serta bukan pekerja lain yang membayar iuran.

Selain berdasarkan kasta, pemikiran saya yang lain yaitu ingin menggiatkan kembali rasa gotong royong. Sampai di sini, saya tepekur betapa selama ini saya sudah jarang sekali menemui rasa gotong royong yang merupakan warisan luhur nenek moyang bangsa ini. Terakhir kali saya lihat pada saat menjelang peringatan 17 Agustus kemarin, itupun hanya bersih-bersih selokan di lingkungan rumah. Tiba-tiba saja, semua pertanyaan di atas mendadak tidak perlu dijawab lagi. Mendengar kata Gotong Royong saya menghela napas panjang, rasanya ko makjleb ! Saya merasa ditampar oleh sebuah keadaan yang selama ini saya lupakan. Saya lupa bahwa ternyata gotong royong yang dimiliki oleh Bangsa ini tengah sakit. Oleh karena itulah BPJS Kesehatan hadir untuk menyembuhkannya sebagai refleksi dari rasa gotong royong skala Nasional.

Hal ini telah ditunjukkan oleh BPJS Kesehatan dengan menghimpun dana yang berasal dari Pemerintah, Pemberi Kerja dan Pekerja serta Kelompok Peserta bukan penerima upah sebesar 40,72 trilyun rupiah per 31 Desember 2014. Dana tersebut akan dikeluarkan untuk membantu peserta PBI yang tercatat mencapai 97,054,024 jiwa. Jadi peserta PBI jauh lebih banyak dari peserta Non PBI yang hanya berjumlah 52,118,141 jiwa. Bayangkan begitu banyak peserta PBI yang harus dibantu karena memang mereka tidak memiliki biaya sepeserpun untuk pengobatan.

Bukan dalam hal kepesertaan saja, hadirnya BPJS Kesehatan juga menimbulkan dampak positif dengan terbukanya lapangan kerja kesehatan seperti : dokter, perawat, ahli farmasi, ahli radiologi dan lain sebagainya. Pengaruh lainnya lagi yaitu terhadap pertumbuhan pasar obat-obatan atau dalam hal ini industri farmasi. Berdasarkan data yang dirilis dari BPJS pada tahun 2014 telah dikeluarkan biaya untuk pengadaan obat-obatan sebesar 43,65 trilyun rupiah. Ditambah lagi kebutuhan berupa alat-alat penunjang kesehatan dan laboratorium pada tiap-tiap rumah sakit. Sedangkan tenaga kerja yang berada di lingkup BPJS sendiri sampai saat ini tercatat sebanyak 6.274 orang.

Harus Punya BPJS Kesehatan

Sampai di sini rasanya saya pantas mengganti sub judul tulisan ini menjadi Harus Punya BPJS Kesehatan. Melihat dari data dan fakta yang terjadi di lapangan, saya sadar bahwa menjadi peserta BPJS Kesehatan lebih banyak membawa manfaat ketimbang mudoratnya. Simpang siur antara tantangan dan tentangan wajar saja terjadi, mengingat program yang dirilis pada tanggal 1 Januari 2014 ini memang masih tergolong baru. Padahal selama 23 tahun berturut-turut BPJS Kesehatan telah mendapatkan penghargaan dari Audit KAP dengan hasil Wajar Tanpa Modifikasian. Dan di tahun 2015 ini Mark Plus, Inc. telah memberikan penghargaan Gold Champion of Indonesia pada BPJS dalam kategori Health Insurance.

Penghargaan yang diterima oleh BPJS Kesehatan merupakan bukti bahwa selama ini BPJS Kesehatan tidak hanya mampu menghimpun dana saja, tapi juga berhasil menyalurkannya tepat sasaran. Dengan kata lain BPJS Kesehatan mampu memegang amanah masyarakat. Amanah yang telah direalisasikan oleh BPJS Kesehatan sebanyak 42,65 trilyun rupiah per 31 Desember 2014. Adapun dana tersebut dipergunakan untuk membiayai kesehatan masyarakat dengan rincian sebagai berikut :

1. 61,7 juta untuk pasien rawat jalan Tingkat Pertama di FKTP ( Puskesmas/Dokter/Keluarga/Klinik Pratama )

2. 511,475 ribu untuk pasien rawat Inap Tingkat Pertama ( RITP ) di FKTP

3. 21,3 juta untuk pasien Rawat Jalan Tingkat Lanjutan ( RJTL )

4. 4,2 juta untuk pasien Rawat Inap Tingkat Lanjutan ( RITL )

Total secara keseluruhan, dana tersebut digunakan untuk 92 juta kali pengobatan masyarakat. Malu rasanya jika kita masih terlilit oleh stigma kuno bahwa BPJS Kesehatan adalah produk akal-akalan. Di jaman serba keterbukaan seperti ini, sebenarnya masyarakat lebih banyak dituntut untuk kritis dan bukan apatis. Mengingat BPJS Kesehatan juga telah menunjukkan sikap terbukanya dengan mengundang Kompasianer dan membeberkan audit keuangannya secara fisik. Ada baiknya sikap tersebut kita acungi jempol dengan pengecualian, yaitu tetap mau dikritisi. Mengingat bahwa dana tersebut adalah berasal dari rakyat dan untuk rakyat, bukan untuk oknum. Adalah tugas masyarakat untuk mengawal dana tersebut dengan berbagai cara.

Kembali pada kisah saya di atas, tanpa saya sadari Bapak telah mengajarkan pada kami, anak-anaknya untuk bersikap baik dan positif. Baik karena harus sabar menunggu antrian pasien yang mau operasi katarak. Positif bahwa dana BPJS Kesehatan yang Bapak setorkan telah direalisasikan secara tepat sasaran. Lebih dari itu, Bapak juga bilang bahwa jangan pernah berkeinginan untuk sakit. BPPJS Kesehatan sebenarnya bukan untuk sakit tapi untuk beramal. Dengan membayar iuran per bulan, berarti kita telah membantu orang lain untuk tetap sehat. Dengan kesehatan maka orang tersebut bisa melakukan aktivitasnya kembali. Ah, wejangan Bapak ini membuat saya sadar atas tujuan utama hidup. Bapak yang usianya 70 tahun saja bisa berpikir positif begitu, mengapa saya tidak ?

Nggak ada orang yang menginginkan sakit, semua orang pasti memilih sehat agar dapat beraktivitas. Tapi nggak ada salahnya juga jika kita mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu penyakit datang. Seperti pepatah mengatakan Sekali Dayung Dua Tiga Pulau Terlampaui, maka begitulah gambaran tentang BPJS Kesehatan. Dengan memiliki BPJS Kesehatan berarti kita telah mendapatkan dua manfaat sekaligus, pertama menjaga kesehatan diri sendiri dan kedua membantu orang lain. Akhirnya sayapun memutuskan untuk bergabung dengan BPJS Kesehatan dengan maksud BUKAN UNTUK SAKIT !


@etybudiharjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun