Dikutip dari Detik.News, ada sebanyak 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode januari hingga oktober 2023. Data tersebut berdasarkan Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Puskinas).
Sementara secara Global, data yang diperoleh dari WHO, menunjukan lebih dari 700.000 orang meninggal  karena bunuh diri per 28 agustus 2023.
Kasus tersebut menunjukkan tren yang mengkhawatirkan jika tidak teratasi. Fenomena ini memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga kesehatan jiwa, maupun masyarakat umum.
Fenomena bunuh diri ini terjadi dengan bermacam-macam alasan mulai dari gaangguan kesehatan mental, stress dan tarauma hingga keputusasaan terhadap hidup yang dijalani yang tidak selaras dengan apa yang diinginkan.
Di tengah fenomena atau situasi tersebut, filosofi kuno Stoikisme dapat menawarkan panduan dan strategi untuk menghadapi keputusasaan dan tekanan hidup.
Apa itu Stoikisme?
Stoikisme adalah aliran filsafat yang berasal dari Yunani kuno, didirikan oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.
Stoikisme merupakan aliran filsafat Yunani yang digemari banyak orang saat ini. Namanya mulai terdengar usai banyak orang yang menerapkan prinsip stoikisme tersebut.
Banyak anak-anak muda membaca literatur tentang filsafat Stoa, yang dianggap sebagai alat yang berguna untuk mencapai kehidupan bahagia.
Stoikisme dianggap sebagai salah satu jenis metode terapi karena ajarannya mengarahkan seseorang untuk hidup selaras dengan alam.
Filosofi ini menekankan ketenangan, pengendalian diri dan kebajikan sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati. Stoicisme mengajarkan bahwa kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi pada kita, tapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita bereaksi terhadapnya atau merespon apa yang terjadi pada kita.
Sederhananya, Stoikisme mengajarkan kita untuk mengendalikan atau mampu mengontrol apa yang tergantung pada kita dan apa yang tidak tergantung.
Beberapa tokoh yang terkenal dalam aliran ini yakni, Epictetus, Seneca, dan Kaisar Romawi Marcus Aurelius.
Prinsip-prinsip Stoikisme dalam menghadapi keputusasaan
1. Dikotomi Kendali
Stoikisme mengajarkan bahwa ada dua hal di dunia ini: hal-hal yang dapat kita kendalikan dan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan. Berfokus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita, seperti pikiran, sikap, dan tindakan, dapat membantu mengurangi kecemasan dan tekanan mental.
Ketika seseorang dihadapkan pada situasi sulit, mengingat bahwa dirinya mampu mengendalikan reaksinya sendiri dapat memberikan kekuatan dan ketenangan.
2. Menerima Nasib (Amor Fati)
Stoikisme mengajarkan penerimaan sepenuhnya terhadap nasib atau takdir (amor fati). Artinya kita menerima segala sesuatu yang terjadi, baik atau buruk, sebagai bagian dari perjalanan hidup kita dengan penuh cinta dan lapang dada.
Penerimaan tersebut bukan berarti bersikap pasif, melainkan mengembangkan sikap proaktif menghadapi tantangan dan mencari hikmah dari setiap pengalaman.
3. Latihan Mental
Kaum Stoa (stoik) sering melakukan latihan mental untuk bersiap menghadapi situasi sulit. Misalnya, mereka mungkin mempertimbangkan skenario terburuk yang mungkin terjadi (premeditatio malorum) agar lebih siap secara emosional ketika hal itu menghampiri.
Latihan ini dapat membantu mengurangi rasa takut dan cemas yang berlebihan.
4. Kebajikan Sebagai Jalan Hidup
Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari hidup dengan kebajikan, yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri.
Saat menghadapi tekanan hidup, coba untuk fokus pada pengembangan kebajikan, hal tersebut dapat memberikan makna dan tujuan yang lebih dalam, sehingga dapat mengurangi perasaan putus asa.
Stoikisme dan Dukungan Sosial
Selain prinsip-prinsip yang disebutkan di atas, penting juga untuk menyadari peran dukungan sosial dalam mengatasi keputusasaan.
Stoikisme tidak akan menolak pentingnya komunitas dan hubungan antar sesama. Sebaliknya, filosofi ini mendorong orang untuk mencari dukungan dan menawarkan dukungan kepada orang lain.
Dalam konteks modern, ini mungkin berarti mencari bantuan profesional dari psikolog atau konselor dan membangun hubungan positif dengan keluarga dan teman.
Fenomena bunuh diri merupakan permasalahan kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin dalam penanganannya.
Stoikisme, dengan prinsip pengendalian diri, penerimaan, dan kebajikan, dapat menjadi instrumen yang dapat diandalkan untuk mengatasi stres dan keputusasaan dalam hidup.
Meski tidak bisa menggantikan bantuan profesional, namun filosofi ini dapat memberikan pola pikir yang dapat membantu masyarakat menemukan kekuatan dan kedamaian di tengah kesulitan.
Dengan memadukan kebijaksanaan kuno dan dukungan modern, bersama-sama kita dapat mengurangi angka bunuh diri dan meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H