Rintik hujan masih setia menemani langkah yang belum berujung. Mentari masih bersembunyi di balik awan, membiarkan sang hujan menampakkan dirinya. Aku tak benar-benar ingin meninggalkan kampus sore ini, tapi kejadian pagi tadi ketika melihat ketua himpunan mahasiswa di jurusan ku yang juga seorang kekasihku, Galang bersama perempuan lain. Aku ingat jelas bagaimana ia berdongeng tentang tidak ingin menyakiti ku lebih dalam dengan menyembunyikan ketertarikan nya kepada perempuan lain. Tiap rintik hujan yang jatuh di helai rambut ku rasanya sebanding dengan banyaknya pikiran yang terus melaju. Lucu memang, aku sengaja menciptakan drama ini, payung berwarna putih bercorak bunga sakura yang dibelikan Mama sebelum aku sampai di Kota Bogor, ku biarkan nyaman di dalam tas yang saat ini bertengger basah di lengan kananku, biarlah agar aku dapat mengevaluasi diriku.
"Santi, perempuan itu memang cantik, lembut, suka mengalah, ah iya dia banyak membaca buku, jelas dia akan lebih berilmu dan dibutuhkan oleh Galang untuk himpunan jurusan. Sementara aku, rasanya aku hanya perempuan yang bawel dan suka mengeluh. Siapa yang benar-benar butuh itu. aku mengerti sekarang aku harus menjadi lebih baik aku akan lebih sering berolahraga agar aku memiliki tubuh yang langsing, les berdandan, membaca lebih banyak buku dan belajar bersabar.... Hahaah banyak sekali yaaa PR ku" aku hanya dapat mengomel sambil menendang kubangan air yang ada di sekeliling kakiku.
Langkahku terhenti pada kondisi hujan yang tidak lagi menusuk kepalaku. Tapi, mengapa sekelilingku tetap basah oleh air hujan.
"Maaf ukhti tidak bawa payung? kenapa hujan-hujanan begini?" ternyata ada sesosok malaikat di hadapanku. Perempuan cantik berhijab dengan payung hijau ditangan kanannya, Annisa aku tahu namanya, dia adalah mahasiswi berprestasi yang kemarin meraih penghargaan internasional menjadi penghafal Quran 30 juz, kalau tidak salah hafidzah sebutannya dan digadang-gadang sebagai calon istri idaman di kampusku karena juga sudah memiliki bisnis dan memiliki kepribadian yang baik.
"Ukhti?" sapaannya menyadarkanku lagi dari lamunan tentangnya.
"Oh, gua bukan ukhti. Hera, nama gua Hera" aku menjulurkan tanganku yang basah. Tak kusangka ia akan meraih lengan yang sudah begitu dingin.
"Hehe aduh kamu lucu Hera, ukhti itu sebutan buat perempuan dalam islam. Oh iya aku Annisa" senyum dan tawanya pun lucu aku terpaku, semakin banyak orang yang harus aku tiru.
"Eh kenapa lihatnya begitu aku keterlaluan ya? akuu...."
"nggak ko hehe, nggak gitu. Luu..."
"Allahu akbar, allahu akbar" aku belum selesai menyelesaikan kalimatku kumandang azan bersuara. Seketika Annisa menghentikan ucapanku.
"Eh udah azan kita solat yuk, kamu ga lagi haid kan? kebetulan aku bawa baju ganti soalnya malam ada kajian tadinya takut basah bajuku. Tapi kamu lebih butuh kayaknya" ia meraih lengaku dan kami menuju ke masjid. Aku tak kuasa menolaknya.
Aku sedikit lelah menunggu Annisa berdoa, padahal aku telah menyelesaikan doa ku dari 10 menit yang lalu, bahkan aku sudah berdandan berganti dengan pakaian yang Annisa berikan sebelum wudhu tadi. Telalu lama menunggu, terutama kondisi batinku sedang tidak baik membuatku menghampiri Annisa, kulihat ia menangis begitu dalam. Aku begitu haru melihatnya. Ku peluk ia dan kusapu punggungnya dengan lenganku.
"Eh Hera, maaf yaaa aku kelamaan yaa. Kamu ga pakai hijabnya?" ia melepas mukenanya dan melipatnya.
"Hehe belum biasa. Harus banget ya?"
"Oh, maaf maaf aku ga bermaksud menghakimi kamu ko"Annisa begitu menjaga tata bahasa dan ucapannya dapatkah aku bersikap lembut seperti Annisa agar aku bisa lebih baik didepan Galang, mantan pacarku yang jahat itu.
"Nggak ko ga apa-apa, lu kebanyakan minta maaf. Gua bingung kenapa lu nangis hehe. Jujur yaa nis, sebenarnya gua lagi ada masalah dan harusnya gua yang nangis, hehe"
"Oh, itu juga kenapa kamu tadi ujan-ujanan?"
"Hehe iya, tapi gua udah coba evaluasi diri gua sih tadi selama hujan nis, hehe gua tau apa kesalahan gua dan udah mikir yang harus gua lakuin"
"Serius? kamu butuh teman cerita ga? kalau kamu mau cerita aku siap dengerin ko. Kita kan saudara"
"Saudara? kita saudara yang terpisah gitu?" aku lihat Annisa tertawa kecil lagi. Aduh mengapa pertanyaan bodohku selalu muncul dikondisi tidak tepat, memalukan.
"hehe sesama islam kan bersaudara Hera, jadi gimana? mau cerita?"
"Ngga apa-apa ko nis, tapi tadi kenapa lu nangis nis?"
"Oh, tadi aku itu, muhasabah diri semacam yang kamu lakuin tadi. Aku evaluasi diri di waktu ashar, karena waktu ini doa kita dihijabah Allah. Aku..."
"Wait? lu evaluasi diri disaat lu udah segini baeknya"
"Ra, aku tuh ga lebih dari seorang hamba Allah. Justru keren yang tadi kamu bilang bikin aku selalu muhasabah diri, aku takut semua yang udah aku dapat yang sejatinya cuma titipan bikin aku kufur sama Allah dan merasa udah hebat. Aku selalu takut Ra, ada dosa-dosa yang nggak aku tahu dari sikap, kata, dan pikiran aku" aku menyentuh lengannya berusaha menguatkannya agar tidak kembali menangis.
"Syuut jangan nangis lagi ya Nis, kamu bisa setakut itu ya. Aku yang kayak gini nangis masih gara-gara hal sepele kayaknya kalau dibanding kamu"
"Tiap orang punya porsi masing-masing buat jadi lebih baik Ra, hakikatnya muhasabah buat aku cuma perjalanan buat terus lebih baik dimata penciptaku"
"Aku pengen bisa berubah lebih baik Nis, aku pengen perbaiki hidup aku"
"Kalau mau memperbaiki seluruh hidup coba perbaiki dulu solat kita, aku pernah baca itu Ra. Siapa tau bisa bantu kamu".
Aku tertegun mendengar bait kata yang terucap dari Annisa. Di saat aku berpikir bagaimana membuat lebih baik diriku untuk hal semacam Galang, Annisa mengharap lebih baik di hadapan Robb-Nya. Ketika tiap kata dan tubuh lelah dihempas rasa kecewa oleh manusia, Annisa justru menangis takut akan dosa. Kini, aku mulai menemukan arti pengharapan, mulai tersadar menemukan yang harusnya aku perjuangkan untuk kembali.
Sore itu aku memang belum mengenakan hijab, aku masih sayang dan mencintai Galang, aku masih ingin terlihat lebih cantik, aku masih ingin membuktikan bahwa aku dapat menjadi seorang dengan argumen yang berisi. Namun, setidaknya sore itu aku menemukan arti sejati siapa diriku dan kepada siapa semua itu seharusnya diberikan. Kami berjalan menyusuri jalan masing-masing dan berpisah di pertigaan yang mengantakanku ke kost dan Annisa menuju kampus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H