“Kamu ke mana aja, Sayang?”
“Ambil bola.”
“Kenapa nggak izin dulu?”
“Papa lagi ngobrol, mau cari mama, tapi nggak tau mama di mana.”
Aku menarik senyum tipis. “Nih bola kamu,” ujarku sembari menyerahkannya kepada Rey. “Kakak duluan, ya.”
“Makasih, ya.” Kali ini Ibu-nya yang bersuara. Aku tersenyum saja dan berjalan menjauh.
Ada perasaan hampa yang hadir. Penilaianku terhadap mereka salah. Melihat perdebatan tadi, sepertinya mereka sering melakukannya. Berarti perbincangan manis yang kulihat tadi, tidak abadi. Entah mengapa tiba-tiba aku kehilangan selera untuk berolah raga, aku ingin pulang.
***
Selesai. Aku menyelesaikan puzzle yang aku beli untuk mengusir rasa sepiku. Masih pukul empat sore, aku sudah beli makanan untuk makan malan, jadi tidak akan keluar kamar hingga setidaknya besok pagi.
Aku memilih merebahkan tubuhku, meraih ponsel, dan membuka media sosial. Betapa terkejutnya ketika yang aku temukan pertama kali adalah berita seorang pria yang terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Video itu diambil tadi pagi. Yang menyebalkannya adalah orang itu sama dengan orang yang kulihat tadi. Ada sebuah akun yang mengomentari, mengaku sebagai teman pria itu, ia menjelaskan bahwa pria itu dilarikan ke rumah sakit karena terlalu berlebihan berolah raga karena ingin membuktikan kepada teman-teman lamanya bahwa ia dapat berubah. Ya Tuhan….
Aku mematikan ponsel dan memejamkan mata. Baru kali ini aku mau memandang orang-orang, benar-benar memerhatikannya, yang ternyata mereka tidak juga memiliki hidup yang sempurna. Apakah pemilik kedai makanan itu juga tidak sempurna? Apakah ia memiliki utang sehingga ia sibuk berjualan? Atau jangan-jangan ia juga sama seperti diriku yang ingin mengangkat perekonomian keluarga?