Mohon tunggu...
Etika Fatana
Etika Fatana Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate

Senang membaca, menulis, dan menonton sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manusia dan Dosanya Terkurung dalam Bui

5 Juni 2024   13:03 Diperbarui: 5 Juni 2024   13:13 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"BUKA!"

"Tidak ada yang bisa melewati sel ini, kecuali atas izin atasan."

"BUKA SEKARANG JUGA. KAU BUTUH BAYARAN BERAPA, HAH?!"

Gebrakan yang diperbuat oleh tersangka kepada sel besi, tidak pernah menggetarkan hati penjaga untuk memberi akses keluar. Justru penjaga menjadi semakin paham bahwa orang-orang yang telah terjerumus ke dalam sel ini adalah orang-orang yang tidak pernah tahu rasa bersalah.

"Diam. Kau di sini atas perbuatanmu sendiri!"

Penjaga meninggalkan tersangka yang dikurung di sel nomor satu, membiarkannya berteriak mendeklarasikan bahwa ia memiliki segalanya dan sangat bisa menyuap penjaga-penjaga di sini dengan hartanya. Namun, sepertinya ia lupa atau mungkin tak tahu jika penjaga di sini memiliki sertifikat resmi yang akurat dan terpercaya nomor satu di seluruh penjuru dunia, penjaga di sini tidak akan sudi di suap puluan miliar sekalipun.

Tentang tersangka di sel nomor satu, sebenarnya ia tidak berbohong mengenai kekayaannya yang begitu melimpah, tapi cara dia untuk mengumpulkan kekayaan itulah yang salah. Usahanya bagus, taktiknya mulus, dalam sekejap mata usaha propertinya telah berjaya dan disegani banyak orang. 

Hanya saja ia telah melakukan satu kesalahan fatal, suatu hari ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan ekspansi pabrik, ia menggusur rumah orang-orang yang telah lama menetap di sana. Si tersangka memang memberikan uang ganti rugi, tapi harganya terlalu murah. Ia tahu, tapi jika tidak begitu profit yang ia terima tidak akan sebanyak itu.

Pertama, manusia memang tidak pandai bersyukur.

Kemudian penjaga berhenti di depan sel nomor dua. Masih juga dengan pemuda, tapi bedanya pemuda ini tidak berteriak-teriak seperti tersangka sebelumnya.

“Kau tau mengapa aku melakukan hal itu?” Pertanyaan yang sama setiap ada penjaga yang berkunjung. Penjaga risau jika dalam jangka waktu yang dekat, pemuda yang ini akan gila.

“Kau sudah bertanya puluhan kali dan jawabanku selalu ‘iya’.”

“Tapi kau tidak benar-benar mengerti.”

“Aku mengerti.”

“Tidak!”

“Berhentilah mengatakan hal itu. Kau tidak akan bisa keluar dari sini sebelum kau benar-benar suci. Berhenti membela diri, atasan sudah menetapkan bahwa kau bersalah. Atasan mengetahui segalanya mengenai kasusmu maka terimalah hukuman ini.”

“Kau harusnya tau tentang bisnisku yang memberikan banyak manfaat bagi banyak orang. Aku menyelamatkan banyak orang, aku telah berjasa kepada mereka. Lalu mengapa aku ditahan?”

“Tapi kau membakar hutan, tumbuhan-tumbuhan itu juga makhluk hidup, sama sepertimu.”

“Tapi aku melakukan itu demi hidup manusia yang sejahtera.”

“Sejahtera?”

“Ya, tentu saja!”

“Kurasa kau tidak benar-benar menyejahterakan mereka. Kebakaran hutan yang kau perbuat menimbulkan asap yang mengandung zat berbahaya seperti karbon monoksida dan sulfur oksida, kemudian menyebar ke kota-kota terdekat, rakyat di kota tersebut banyak yang terkena gangguan pernapasan. 

Oh, jika kau lupa, aku akan mengingatkmu bahwa di awal persidangan kau mengatakan bahwa kebakaran hutan itu terjadi karena faktor alam. Kau berbohong, jelas-jelas kau menyuruh orang untuk membakarnya.”

“Tolong, niatku baik. Aku hanya ingin membantu orang-orang memudahkan pekerjaannya sehingga aku membutuhkan lahan yang lebih luas untuk menuntaskan proyek ini.”

“Caramu yang salah.”

“Tuan….”

“Berhenti membela diri. Pembelaanmu tidak akan bermakna lagi di sini.”

Kedua, manusia selalu merasa benar.

“AKU TIDAK SUDI BERSAMAMU!”

Penjaga baru saja selangkah meninggalkan sel nomor dua, tetapi teriakan dari penghuni sel nomor tiga sudah terdengar di telinga penjaga. Kali ini di dalam sel berisi seorang wanita.

“TUHAN, AKU MENCINTAINYA!”

“Kenapa kau berteriak?”

“Tuan, tolong pertemukanku bersama lelaki itu. Aku yakin ia merindukanku, sudah lama kami tidak bertemu.”

“Pertama, kau tidak boleh menyebut Tuhan untuk dibawa-bawa ke dalam dosa-dosa zinamu. Kedua, lelaki itu juga dikurung di sel yang lain, dia dan kau seharusnya berbenah diri segera.”

“Kenapa aku harus berbenah diri? Aku dan dia saling mencintai, jadi apa salahnya?” Wanita itu terduduk di lantai, ada sisa-sisa air mata diujung matanya, bukannya si penjaga menatapnya iba, tapi ia malah menggelengkan kepala. Bukan cinta namanya kalau membuatmu berada di jalan yang salah.

“Sialan. Mengapa dulu dia yang selalu datang kepadaku, bukan malah kekasihku?!”

Sekarang wanita itu meracau hal yang lain. Penjaga tahu apa maksud wanita tersebut. Yang dimaksud adalah seorang pemuda baik hati yang beberapa kali terlihat melintas di depan gedung ini. Terkadang bertanya kabar tentang si penghuni sel nomor tiga, terkadang terlihat membagikan sesuatu kepada orang-orang di jalan secara sukarela. Kalau disimpulkan, pemuda itu sepertinya tertarik pada wanita yang tidak memiliki harga diri ini. 

Entah apa yang membuatnya tertarik pada wanita seperti ini, mungkin ia prihatin dan ingin mengubahnya? Mungkin saja. Namun, Tuhan tahu bahwa pemuda itu layak mendapatkan wanita yang lebih baik karena wanita yang berada di sel nomor tiga ini jauh dari kata baik dan yang menyedihkannya lagi ia tidak memiliki niat sedikit pun untuk berubah.

“Harusnya aku mendapatkan potongan tahanan karena aku sedang mengandung.”

“Tidak ada potongan tahanan untuk pezina sepertimu.”

Tidak ada getaran sedikit pun pada hati si tersangka. Sudah beberapa kali penjaga melemparkan kata-kata pedas seperti itu, tapi wanita itu benar-benar tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Nasihat yang diberikan oleh penjaga tidak pernah digubris oleh tersangka. 

Sebenarnya penjaga tahu bahwa menyuruh tersangka untuk mendengar adalah suatu perbuatan yang sia-sia, tapi ia tidak akan pernah berhenti melakukannya karena ia tidak akan menjadi seperti tersangka yang lain. Ia tidak akan memakan gaji buta seperti yang dilakukan oleh tersangka di sel nomor—ah, terlalu banyak orang-orang yang dikurung dalam sel. Tidak mudah mengingatnya satu per satu beserta dosa-dosanya.

Ketiga, manusia salah mengartikan bahwa kekasih adalah segalanya.

Secara logis, si penjaga harusnya istirahat sejenak, tapi ia tidak pernah merasa lelah. Dia terus berkelana menuju ke sel selanjutnya. Kali ini ketika penjaga telah sampai di depan sel tersangka nomor empat, ia terlihat sedang meringkuk di pojok ruang. Menekuk lulut dan memeluknya.

Yang ini perempuan lagi, tapi tersangka ini berbeda. Ia telah sadar. Syukurlah.

“Apakah aku bisa bertemu dengan ibuku?”

Tanpa mendongak dan terus menunduk, ia bertanya itu.

“Sayangnya tidak. Kalian berada di tempat yang berbeda.”

“Apakah aku bisa menyusulnya?”

“Bisa saja. Mengapa tidak?”

“Sekarang?”

“Tidak juga.”

“Lalu kapan?”

“Jika masa hukumanmu sudah sebanding dengan dosa-dosa yang telah kau lakukan dan itu masih lama.”

“Aku sudah tidak betah berada di sini. Lebih tepatnya aku tidak pernah nyaman berada di sini sejak detik pertama kau menjerumuskanku di sini.”

“Ya seharusnya memang seperti itu.”

“Aku menyesal telah membohongi kedua orang tuaku, terlebih pada ibu. Seharusnya aku menuruti apa katanya dan tidak pernah membantahnya. Sekarang, semua yang telah aku perbuat tidak pernah ada yang berjaya. Semuanya.” Tangis terdegar sampai ke telinga si penjaga. Penjaga hanya menatapnya tanpa ekspresi.

Mencuri. Banyak yang telah ia curi, diantaranya adalah uang dan kebahagiaan anak-anak panti asuhan. Miris. Ia juga membohongi kedua orang tuanya, mengatakan bahwa yang ia dapatkan adalah hasil membuka usaha bersama teman, nyatanya ia menggelapkan dana temannya yang seharusnya disalurkan kepada yayasan panti tersebut. 

Suatu waktu, kebohongannya tercium oleh Ibu, tapi apa wanita itu berhenti? Tidak, suara Ibu hanya dianggap angin lalu hingga suatu saat dia berhenti melakukan dosa itu karena terpaksa. Temannya tak lagi menitipkan dana itu kepadanya. 

Setelahnya, wanita itu memilih membuka usaha. Modal yang ia gunakan bukan miliknya, usaha yang dia bangun tidak pernah ada yang berkembang. Selalu gulung tikar di minggu-minggu awal.

Keempat, pada akhirnya manusia hanya bisa menyesal.

Beberapa tersangka tidak pernah sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar, beberapa lagi telah mengetahui kesalahannya. Namun, peraturan utama di sel ini: selama kesalahan yang telah kau perbuat belum setimpal dengan masa tahanan, jangan berharap kau dapat keluar. Dan jika diluar sana kau melakukan hal yang terlalu kejam, ucapkan selamat tinggal pada kehidupan yang damai, kau penghuni sel ini selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun