Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Bagi-bagi Sarung

14 Mei 2020   22:46 Diperbarui: 14 Mei 2020   22:49 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Kain sarung (Sumber : inibaru.id)

Sudah ada dalam rencanaku jauh-jauh hari, bahwa pertengahan Ramadan nanti kami akan mudik. Lalu seperti tahun-tahun sebelumnya, di tanggal 27 Ramadan, aku akan mengumpulkan anak-anak kampung di rumahku, berbuka puasa bersama mereka. Lalu setelah sholat, aku akan minta mereka berkeliling membagikan sarung yang sudah kusiapkan di tas-tas buah tangan cantik yang kubeli dari pasar grosir di Jakarta.

Setiap tahun, bagi-bagi sarung pada warga kampung adalah tradisi sedekah Ramadanku. Aku memulai tradisi itu sejak mendapatkan pekerjaan yang layak di kota. Sarung-sarung itu biasanya akan dipakai pria-pria di kampung saat hari Idul Fitri  nanti. Dan tas-tas cantik bisa dipakai mama-mama untuk belanja di pasar. Betapa senang aku membayangkan semringah di wajah mereka setiap kali berpapasan dan melihat mereka menyandang sarung atau menenteng tas yang aku bagikan.

Sebulan sebelum Ramadan tiba, aku dan istri sudah ke pasar memilah-milih sarung-sarung yang akan kami sedekahkan itu. Kami membawa pulang  10 lusin sarung. Keesokannya, kami membawa ke jasa pengiriman barang yang menjadi langgananku.

---

Siang itu seperti di guyur petir, aku mendengar kabar tentang kedatangan tamu tak diundang itu. Dua hari berikutnya, aku batuk-batuk. Dengan penuh kesadaran aku membeberkan semua histori perjalananku selama 14 hari terakhir. Lalu aku dijemput orang-orang berpakaian putih-putih, mengetesku dan istri. Kami dikarantina di sebuah tempat. Katanya aku dan istri terinfeksi.

Kami tidak tahu tertular dari siapa. Dalam sebulan terakhir aku pergi ke banyak tempat, bertemu banyak orang. Bahkan baru beberapa hari yang lalu aku masih bertemu penjual sar..

Astaga, penjual sarung itu berjabat tangan denganku. Sarung-sarung itu juga aku pegang untuk mengecek kualitas kainnya saat memilah-milih yang mau dibeli. Aku panik. Segera aku meminta akses untuk menelpon istriku di ruangan sebelah.

"Sarung-sarung itu apa sudah dikirim?" tanyaku saat telepon sudah tersambung

"Sudah, laporan pengiriman, saat ini di Makassar, mungkin besok sudah sampai Ambon."

"Astaga, kalau begitu harus telepon orang rumah di kampung. Tidak usah bagikan sarung-sarungnya. Itu kemungkinan besar sudah terkontaminasi." Kataku dengan napas terburu-buru

Istriku mengikut saja, ia menelpon orang rumah di kampung yang kuberi tanggung jawab menjemput paketnya. Memberi tahunya bahwa sarung-sarung yang diambil nanti urung dibagikan ke warga, khawatir tidak steril. Aku juga menelpon saudara di kampung, memastikan kalau ada paket yang datang tidak usah mereka buka.

---

14 hari setelah dikarantina, hasil tes menunjukkan sudah tidak ada lagi Covid di tubuhku dan istri. Aku diperbolehkan pulang, namun harus tetap melakukan karantina mandiri di rumah selama kurang lebih sebulan. Aku dan istri menjalani hari-hari di rumah saja. Lebaran pun kami lewati dengan tidak kemana-mana.

Setelah 3 bulan, pemerintah akhirnya melonggarkan PSBB. Mereka yang sudah memenuhi hasil pemeriksaan bebas Covid juga sudah boleh mudik. Maka aku dan istri pun pulang ke rumah kami di daerah, dengan rindu yang meluap-luap. 

---

Aku dan istri sampai di pintu masuk perbatasan kampung dengan kampung tetangga. Ternyata sedang dijaga ketat oleh pemuda kampung. Dengar-dengar setiap kampung memang memeriksa dengan teliti siapapun yang akan masuk dan keluar dari kampung masing-masing. Salah seorang memeriksa data kami, ia berpakaian lengkap dengan masker bermotif kotak yang warnanya adem itu. Ia mengenaliku saat aku turunkan sedikit masker pelindungku. 

Ia pun turut membuka masker pelindungnya lalu  tersenyum. Mempersilahkan aku melewati perbatasan itu  dan melambaikan maskernya ke arahku. Ia berteriak, "Makasih, Bang."

Tiba di rumah, aku tak menyangka. Rumah dipenuhi mama-mama yang sedang menjahit. .

"Sedang bikin apa mama?" Tanyaku.

"Bikin masker Bang?" Jawab salah seorang dari mereka. 

Aku memperhatikan masker yang ia pakai saat menjahit, sepertinya itu juga hasil jahitannya sendiri. 

"Wah, ini sejak kapan rumah saya dijadikan tempat pembuatan masker?"

"Ya sejak kamu ngirim bahan bakunya" celetuk mereka

Hah? Kapan?  Seingatku aku tidak pernah mengirimkan bahan baku masker.

Aku masuk ke dapur dan menemui ibu.

"Bang, tidak usah kaget. Itu amal jariyahmu." katanya sambil tersenyum.

Aku masih tak mengerti, sampai aku melihat istriku menghambur ke arahku, memelukku dan  menunjukkan guntingan bahan masker yang sudah dipola.

Itu sarung.

---

Terinspirasi dari suami yang tahun ini belum bisa bagi-bagi sarung seperti tahun-tahun sebelumnya. 

21 Ramadan 1441H. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun