Di masa-masa kuliah S1 dulu, saya pernah sangat gandrung akan novel metropop, yakni salah satu genre novel  Indonesia yang biasanya mengisahkan cerita  kehidupan orang-orang di kota-kota besar.Â
Ika Natassa adalah salah satu penulis genre ini yang saya baca karyanya setidaknya sejak sepuluh tahun yang lalu. Dan tidak butuh banyak pertimbangan untuk mengkategorikan novel-novelnya sebagai karya favorit. Ika berhasil membuat saya jatuh cinta terhadap karakter-karakter rekaannya.
Tapi saat itu, tidak terlintas sedikipun dalam kepala saya bahwa salah satu karya populernya yang saya baca, berjudul Divortiare, akan beranak-pinak dengan menghasilkan Twivortiare dan Twivortiare 2.Â
Yang unik lagi adalah proses kreatif munculnya kedua buku lanjutannya itu adalah melalui sebuah platform media sosial "Twitter".
Tentunya sepuluh tahun yang lalu pula, belum ada cerita sukses mengenai sebuah novel yang lahir dari kicauan twitter. Namun, booming-nya twitter tentu saja membuat orang-orang yang berkicau mulai mengeksplorasi banyak hal dengan medium ini.Â
Muncullah istilah twitterature, setelah banyak penulis aforisme, puisi, bahkan fiksi pendek, dan kombinasi atau kolaborasi karya sastra lain yang menggunakan layanan microblogging twitter.
Istilah twitterature mungkin dipopulerkan pertama kali lewat artikel di majalah TIME. Kata mungkin saya gunakan karena memang belum cukup banyak referensi yang saya dapatkan membahas mengenai asal-muasal istilah ini, jadi mungkin saja asumsi saya itu meleset.Â
Dalam artikelnya tersebut, majalah TIME mengartikan istilah twitterature secara bebas sebagai satu usaha untuk menghidupkan kembali penulis, tokoh-tokoh rekaan para penulis, hingga isi dari karya mereka, ke dalam suatu bentuk realitas.Â
Kenyataan tersebut mendorong munculnya penggunaan istilah ini untuk merujuk pada suatu karya sastra yang dimunculkan kembali melalui Twitter dan merujuk pada karya aslinya.
Alexander Aciman dan Emmett Rensin adalah contoh dua penulis yang sukses berkolaborasi menciptakan karya dengan metode ini untuk menghidupkan kembali karya-karya penulis-penulis terkenal seperti Pablo Neruda, Ernest Hemingway, Shakespeare dan Bahkan J. K Rowling.Â
Twitter memang memungkinkan penulis untuk menjelajahi ruang imajinasi pembacanya semakin jauh lagi. Twitter mampu menghadirkan tokoh-tokoh rekaan penulis menjadi entitas yang hidup. Â
"Inilah babak baru dalam kehidupan sastra Indonesia. Beberapa orang mungkin masih berkutat dengan persoalan pantas tidaknya kumpulan twit yang dibukukan itu memenuhi syarat menjadi sebuah karya sastra."
Demikian adanya sehingga tidak terlalu salah untuk mengambil kesimpulan dan menyebutnya sebagai twitterature, gabungan dari kata "twitter" dan "literature"
Di Indonesia sendiri buku-buku dari kumpulan twit tentu juga sudah banyak beredar sejak lama, namun Ika Natassa dengan Twivortiare - nya memang agak sedikit berbeda.
Dalam Twivortiare, Ika menampilkan koleksi twit tokoh rekaannya dari buku Divortiare yang bernama Alexandra Rhea Wicaksono, Â seorang bankir super sibuk yang baru saja rujuk dengan mantan suaminya Beno, seorang dokter spesialis jantung yang juga tak kalah sibuknya.Â
Twit Alexandra adalah celotehan tentang kehidupan sehari-hari yang berkutat antara karir dan  rumah tangganya. Dan meskipun dalam beberapa hal cuitan-cuitan tersebut bisa membosankan saya, namun saya juga tidak bisa berhenti membacanya.Â
Secara ajaib, kicauan twitter itu memiliki plot dan semua unsur-unsur intrinsik sebuah novel, mengalir apa adanya, dan memainkan emosi saya sebagai pembaca.Â
Pantas saja buku ini disambut dengan suka cita oleh para penikmat karya Ika Natassa yang memang sudah mengenal baik karakter Alexandra dan Beno.Â
In fact, Ika Natassa uses @alexandrarheaw very well, sehingga tokoh Alexandra tampil begitu hidup dan para pembaca pun diajak untuk benar-benar terlibat dalam dunia fiksi yang dibangun oleh frame set and field of experience dari Divortiare-Twivortiare.Â
Inilah babak baru dalam kehidupan sastra Indonesia. Beberapa orang mungkin masih berkutat dengan persoalan pantas tidaknya kumpulan twit yang dibukukan itu memenuhi syarat menjadi sebuah karya sastra.Â
Namun sementara orang-orang tersebut berusaha menjawabnya, karya sastra memang akan terus bergerak seperti udara yang mencari celah untuk menempati ruang.
Dan Ika Natassa juga terus mencari ruang-ruang untuk membesarkan karya sastranya. Di Agustus nanti, kita akan melihat proses kreatif Divortiare-Twivortiare itu dalam bentuk ejawantah visual.Â
Yup, Twivortiare sudah dipastikan akan tayang di bioskop pada Agustus 2019 nanti. Dan saya menjadi salah satu yang menunggu-nunggu tiketnya di-release.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H