Ikatan Orang Basudara
Konon ceritanya, sejak zaman dahulu sudah tercipta hubungan yang saling menguntungkan antar negeri di tanah raja-raja. Masyarakat saling mengangkat sumpah dalam bahasa adat mereka yang mengikat mereka menjadi saudara.  Negeri-negeri di tanah raja-raja beraneka budaya, suku dan agama. Ketika negeri Salam (Islam) membangun mesjidnya mereka mengundang saudara Pela-nya  dari negeri Sarani (Kristen). Masyarakat negeri Sarani pun datang tanpa tangan kosong. Mereka membawa kayu dan papan untuk pembangunan Mesjid. Beberapa waktu kemudian negeri Sarani juga membangun gereja. Warga negeri Salam datang menyumbang keramik. Ini bukan barter, ini wujud ikrar sebagai ikatan orang basudara di tanah raja-raja.
Narasi-narasi sejarah seperti demikian mungkin harus kembali dituliskan untuk menghidupkan lagi kehidupan sosial antar orang-orang basudara di Maluku. Adat Pela Gandong adalah kearifan lokal Maluku yang menjadi basis tata laku kehidupan bermasyarakat. Acara Panas Pela yang telah berlangsung lama dan turun temurun adalah sebuah ritual pengambilan sumpah sakral persaudaraan antar negeri-negeri Pela. Sumpah untuk saling menjaga dan tidak bertengkar, memelihara lingkungannya dan lain sebagainya. Sumpah dalam bahasa adat itu terdengar begitu magis. Kegiatan serupa Sumpah Pela ini tergolong dalam ranah interaksi sosial ummat atau di Islam dikenal dengan muamalah.
Sumpah Pela itu sendiri biasanya dilakukan di rumah adat atau Baileo. Saya paham bahwa kontroversi yang terjadi baru-baru ini menitik-beratkan pada lokasi serta kemasan acara yang dalam bentuk ibadah bersama itu. Hal tersebut menjadi sangat kontroversial tidak lain karena isu tentang agama adalah sebuah topik sensitif di daerah bekas tragedi seperti Maluku. Padahal dulunya adat  "baku maso" ke masjid dan gereja adalah sesuatu yang lumrah.Â
Tragedi konflik berdarah lah yang akhirnya menjadikan perbedaan agama sebagai pisau tajam dikotomi masyarakat adat Pela Gandong. Ditambah dengan kedatangan para pendatang Laskar Jihad, dikotomi itu semakin meruncing dengan digadang-gadangnya ekslusifisme dalam beragama yang tidak dibarengi dengan inklusifisme dalam hidup bermuamalah dengan umat agama yang berbeda. Terjadilah pengharaman masuk gereja, pengharaman menyentuh mereka yang non-muslim dan sebagainya (akan sangat banyak contohnya, silahkan dibuat daftar list sendiri). Menurut saya, justru  menggunakan tempat ibadah sebagai tempat sumpah sakral seperti Panas Pela, berarti telah mengangkat ritual adat tersebut ke level yang lebih tinggi. Karena ikrar sumpah apa lagi yang lebih tinggi dibandingkan sumpah di hadapan Tuhan?
Mungkin kita perlu mencontoh kehidupan muamalah kaum Muhajirin dan Anshor, yang tergambar dalam rangkaian Q.S. Al-Imran : 102-110 yang menjelaskan bahwa orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman serta selalu berpegang kepada 'tali' Allah akan menjadi bersaudara dan menjadi umat terbaik. Mereka disebut sebagai saudara seiman, meskipun memiliki latar belakang agama dan sosial yang berbeda.
Satu poin lagi yang perlu penulis kemukakan dalam hal muamalah orang basudara ini, para religius yang berkoar-koar tentang 'toleransi yang kebablasan' dikarenakan azan dan pembacaan rawi disisipkan dalam ibadah di gereja Amahusu dengan tagline ibadah bersama mungkin lupa bahwa, dalam kehidupan toleransi hingga saat ini, masyarakat Indonesia sudah sejak lama membudayakan ibadah bersama dalam bentuk doa bersama menurut keyakinan masing-masing pemeluk agama.Â
Hampir di setiap upacara-upacara, dihadirkanlah lima pemuka agama untuk memimpin doa dengan khidmat. Masing-masing syahdu, ada yang menundukan kepala, ada yang menadahkan tangan, ada yang mengatupkan jari jemari kanan dan kiri, dan ada pula dan menyedekapkan telapak tangan. Dan hal tersebut sama sekali jauh dari praktik sinkretisme karena masing-masing mengisyaratkan doanya kepada kepercayaan masing-masing. Begitulah juga yang terjadi di Gereja Imanuel.Â
Kita mungkin terlalu judgemental terhadap Gereja, atau terhadap tagline "ibadah bersama" sehingga buru-buru mencapnya sebagai sinkretisme. Padahal yang terlihat tetaplah hadirin yang takzim mendengarkan setiap lantunan azan dan pembacaan rawi, seperti layaknya hadirin non-Muslim yang takzim dan ikut menundukkan kepala ketika doa bersama dipimpin oleh seorang Muslim dalam acara-acara yang menghadirkan berbagai kelompok masyarakat.
Antiklimaks Â
Dalam setahun ini saya telah merasakan atmosfir kemarahan kelompok Islam di negara ini. Mungkin karena ini juga tahun politik, yang membuat sedikit saja tersulut maka terbakarlah emosi kita. Seperti juga kejadian azan di gereja Imanuel Amahusu, banyak yang langsung marah, menghujat, menghakimi dan tak tanggung-tanggung ada yang langsung ingin memboikot para tokoh yang terlibat di dalamnya. Padahal Rasulullah junjungan kita, bukanlah pribadi yang pemarah. Ini membuat saya merenung, dari mana asal sikap pemarah kita ini? Darimana sikap suka tersinggung itu kita warisi? Mungkin memang benar, kita ini jumlahnya banyak, tapi hanya seperti buih di lautan. Atau kita memang terlalu monolitik, kurang berbaur, kurang bersentuhan dengan keragaman, padahal sengaja Allah ciptakan keragaman itu agar kita saling mengenal, saling memahami, lalu mengasihi. Ataukah iman kita kepadaNya yang terlalu rapuh, sehingga kita takut bersentuhan dengan yang lain, takut iman itu menyerpih, takut ia hilang. Lupakah kita bahwa, keimanan baru akan kuat dan kokoh ketika bersentuhan dengan apa yang menguji keimanan itu.