Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Azan di Gereja-gereja: Sebuah Refleksi Akhir Tahun

31 Desember 2018   17:33 Diperbarui: 14 Maret 2019   23:01 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh penulis (Sumber : Youtube)

Seorang lelaki separuh baya itu berdiri di altar, mengenakan baju batik lengan panjang lengkap dengan kopiah. Tangan kanannya diangkat dan diletakkan dekat telinga kanan, lalu mulailah ia melantunkan dengung paling indah yang menyebut-nyebut kebesaran Allah, memanggil-manggil orang untuk sholat, menyeru makhluk menuju pada kemenangan. Lalu hadirin yang duduk menyaksikan dengan khidmat, mendengarkan dengan takzim. 

Kira-kira begitulah pemandangan yang saya lihat di sebuah tayangan video yang viral beberapa saat lalu. Kumandang azan itu diperdengarkan dari altar Gereja Jemaat GPM Imanuel Amahusu Ambon pada acara adat Panas Pela yang dikemas dalam Ibadah Adventus Pertama di bulan Desember tahun ini. Warga dari empat desa di Maluku yang terdiri dari dua desa muslim,  Tial dan Laha, serta dua desa Kristen yakni Amahusu dan Hatalai, duduk di satu rumah ibadat bersama. Tidak hanya azan, ada pula pembacaan barzanji yang diperdengarkan.

Bagi saya yang secara sosio-anthropologis besar dan hidup di tengah masyarakat Islam tradisional Maluku yang traumatik terhadap konflik berbau agama, ini memang pemandangan yang tidak biasa, nyentrik sekaligus mengundang perhatian. Video itu membuat saya bertanya-tanya: Bagaimana mungkin pria itu diizinkan mengumandangkan Azan di rumah ibadah agama lain? Lalu seperti orang-orang Maluku pada umumnya - yang tentunya melek medsos, tidak seperti yang dikatakan Shafiq Pontoh - saya membuka Facebook dan mendapati timeline saya diserbu oleh begitu banyak status mengenai peristiwa ini. 

Segelintir orang menyayangkan peristiwa ini dengan menyebut-nyebutnya sebagai toleransi yang kebablasan. Segelintir lagi bahkan merasa terusik dan mengecam tidak sepantasnya azan dikumandangkan di gereja, 'haram!' kata mereka. Sisanya adalah status-status yang netral, mengapresiasi wujud toleransi tapi juga ragu-ragu membela, mungkin takut dicap Kafir juga. Lalu dalam seminggu saja video viral ini berubah menjadi penghakiman terhadap beberapa tokoh tertentu. Rapat pun digelar, konferensi pers diadakan dan berujung pada permintaan maaf mereka yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

Okay, masalah itu sepertinya selesai sampai di situ. Dan untuk apa juga membahas lagi perkara yang sensitif itu. Tapi, saya masih belum puas karena pertanyaan saya -Bagaimana mungkin ada orang yang diizinkan mengumandangkan azan di rumah ibadah agama lain?- belum terjawab. Lalu berjelajahlah saya di google, membuka buku-buku terkait, menelusuri sumber-sumber yang bisa menjawab pertanyaan itu, dan yang saya dapati kemudian cukup membuat saya terhenyak. Ada beberapa poin yang perlu ditelaah dan dijadikan refleksi sehingga peristiwa azan di gereja itu tidak hanya dilihat -setidaknya oleh saya pribadi- dari kacamata halal haram semata.

All of this happened before and it will all happened again.

Begitulah kata-kata pembuka Novel James Matthew Barrie berjudul Peter Pan, yang seolah menyiratkan apa yang saya dapati dalam penelusuran saya. Gema azan di gereja ternyata sudah beberapa kali terjadi di berbagai negara, mulai dari negara sekuler seperti Amerika hingga negara Islam yang kita sebut-sebut sebagai saudara kita, Palestina.

Ada azan di  Gereja Marble Collegiate New York, bahkan dua kali dikumandangkan, yakni pada tahun 2007 untuk mengawali berlangsungnya dialog segitiga kalangan penganut agama Kristen, Yahudi dan Islam di New York. Dan di tahun 2009 yang kurang lebih sama tujuannya yakni kampanye toleransi antar agama di Amerika. Kegiatan lintas agama dan kampanye toleransi tersebut adalah bentuk solidaritas masyarakat di tengah kecamuk ketakutan non-muslim Amerika kepada Islam. Video kumandang azannya pun sempat viral di berbagai negara.

Pada pertengahan November 2016, gereja-gereja di Palestina secara kompak mengumandangkan azan sebagai respons atas rencana Pemerintah Israel untuk membatasi volume suara azan di masjid-masjid setempat. Tepatnya di Kota Nazareth seluruh gereja menunjukkan solidaritasnya dengan mengumandangkan azan. Sikap dewan gereja Palestina ini juga merupakan bentuk dukungan penuh terhadap hubungan harmonis antara warga Muslim dan Kristen di Palestina. Langkah gereja ini memicu kekaguman dari dunia Islam, yang melihatnya sebagai bentuk kehidupan yang harmonis antar umat beragama di Palestina. Insiden ini terdokumentasi dalam sebuah video yang menjadi viral di media sosial. Berbagai pujian dilayangkan terhadap aksi solidaritas itu, sementara, cemoohan terus menghujani pembatasan kebebasan beragama yang diatur oleh otoritas Israel.

Azan sebagai bentuk protes juga terjadi di Gereja di Amerika. Pada Januari 2017 masyarakat di Boston melakukan protes keras terhadap presiden Amerika, Donal Trump atas kebijakan rasisnya yang menolak Muslim dan para Imigran. Azan tersebut dikumandangkan di depan Gereja Trinity Church yang berlokasi di Copley Square tempat massa pendemo berkumpul. Protest yang diselenggarakan oleh CAIR Massachusetts, sebuah grup advokasi warga muslim di Amerika. Protes itu bahkan dihadiri oleh pembicara yang terdiri dari Walikota Walsh dan Senator AS Warren dan Markey.

Di Australia azan juga dikumandangkan di gereja. Pada Ramadhan di bulan Juni 2018, seorang muslim mengumandangkan azan maghrib ke arah kiblat, yang kebetulan sama arahnya dengan sebuah salib besar yang menggantung di Gereja Church All Nations milik komunitas Kristen Protestan di kota Melbourne.  Azan ini menandai acara buka puasa bersama komunitas muslim di Melbourne yang diadakan di gereja tersebut. 

Komunitas gereja yang tergabung dalam Victorian Council of Churches sengaja mengundang komunitas Muslim berbuka puasa untuk bisa lebih saling mengenal. Sebelum menyantap makan malam, tamu Muslim dipersilakan untuk melaksanakan shalat Maghrib di tempat yang telah disediakan, yakni di ruangan belakang gereja yang tak memiliki tanda salib. Imam kelahiran Turki, Sheikh Mahmud Kurcu yang hadir saat itu berterima kasih atas undangan dari komunitas gereja tersebut, dan berharap bahwa kegiatan serupa akan mencapai tujuan yang bukan hanya sekedar toleransi namun juga penerimaan.  Mahmud menjelaskan ketika sejumlah insiden, seperti aksi serang atau teror yang menyudutkan umat Muslim, seringkali pihak gerejalah yang pertama kali menanyakan kabar ke masjid-masjid. Demikianlah wujud tekad saling membantu sama lain. Bahkan Mahmud berniat di Ramadahan tahun berikutnya akan mengundang para jemaat gereja tersebut untuk berbuka puasa di Masjid.

Membaca peristiwa-peristiwa di atas telah memberi saya gambaran bahwa  melakukan azan di tempat ibadah agama lain itu tidak seburuk yang saya persepsikan. Apalagi, peristiwa-peristiwa itu memiliki maksud agung seagung azan itu sendiri. Keagungan yang justru tidak  boleh kita kerdilkan dengan penghakiman dan sikap judgemental. Selain itu, fakta bahwa ada para pemuka agama yang mendukung bahkan menjadi bagian dari penyelenggaraannya azan-azan di gereja di atas cukup mengimplikasikan bahwa para ulama memiliki pandangan beragam mengenai hal tersebut. Terburu-buru menentangnya bahkan hingga mengecamnya justru membuktikan ketidakluasan dan ketidakluwesan ilmu kita.

Azan sebagai Syiar Agama

Sebagai ibadah, azan adalah panggilan untuk sholat. Hukumnya sunnah ketika sholat dilakukan sendiri dan menjadi fardhu (wajib) bila sholat dilakukan secara berjamaah. Dari kaidah hukumnya saja, azan secara implisit maupun eksplisit memiliki fungsi syiar yakni menyampaikan atau memperkenalkan Islam. 

Kalimat-kalimat yang dikumandangkan dalam azan pun mengandung ucapan-ucapan yang baik dan ajakan untuk mengingat kepada Allah. Namun menurut saya, melihat azan semata-mata hanya sebagai panggilan sholat sepertinya terlalu mempersempit hakikatnya. Karena dalam praktik masyarakat selain sebagai panggilan sholat, azan juga diperdengarkan di telinga bayi yang baru lahir serta pada saat menguburkan orang yang meninggal.

Dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa azan di gereja yang pernah terjadi, bila kita lihat dari sudut pandang syiar, umat Islam sesungguhnya patut bersyukur dan berbangga hati. Peristiwa-peristiwa tersebut telah cukup menunjukkan penerimaan dan pengakuan dari berbagai kelompok keagamaan terhadap Islam. Beberapa orang akan mencerca tulisan ini dan mengatakan "Kami tidak butuh pengakuan dari manusia, kami hanya butuh ridho Allah". Tapi, sebelum anda mencerca artikel ini, mari sejenak merenung. Apakah risalah Nabi Muhammad hanya dikhususkan untuk orang-orang Islam saja? Para pembaca akan sontak menjawab tentu saja tidak. 

Rasulullah adalah rahmat bagi sekalian alam. Seluruh ajarannya adalah untuk alam dan seisinya. Tidak salah bila saya berani mengatakan bahkan azan pun adalah diperuntukkan untuk seluruh umat manusia di muka bumi. Lantas mengapa ketika azan dikumandangkan di gereja, banyak yang menjadi kesal dan tidak terima? Apakah azan hanya mereka yang punya? Eksklusifitas yang digaungkan oleh para religius Islam terhadap simbol-simbol risalah Nabi, telah menjadikan Islam jauh dari jangkauan umat-umat lain, bahkan membuat Islam sebagai momok. Alih-alih menjadikan semua ajaran Nabi sebagai syiar, kita terjebak dalam klaim kebenaran itu sendiri dan dengan mudah mengkafirkan, menyesatkan dan menghakimi perbedaan

Menjawab Persoalan Teologis

Ada sebuah pertanyaan teologis yang lebih dulu harus dijawab dengan jujur oleh para pemuka agama sebelum menghakimi mereka yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa kumandang azan di gereja-gereja ini. Pertanyaan itu adalah : Bila seseorang melakukan sebuah ibadah agamanya sendiri di tempat ibadah agama lain, apakah otomatis akan melunturkan akidah keimanannya? Saya bukanlah seorang ahli agama, namun tidak perlu menjadi seorang yang ahli agama untuk menjawab pertanyaan tersebut. Cukuplah dengan mengatakan, keimanan itu hanya Tuhan sajalah yang tahu. Yang dilakukan manusia adalah menjalankan risalah Allah yang dibawa oleh setiap Nabi zamannya dengan sebaik-baiknya.

Dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad Saw, tidak ada larangan spesifik untuk mengumandangkan azan di tempat ibadah agama lain, yang ada justru adalah hadist mengenai dibolehkannya sholat di gereja dalam kondisi sudah masuk waktu sholat apabila tidak ditemukan tempat lain untuk sholat. Beberapa ahli fiqih menganggap bila sholat diperbolehkan maka azan sebagai ibadah yang mendahului sholat juga tentunya termasuk di dalamnya. (Silakan pembaca proaktif mencari pendapat para ulama fiqih mengenai apa yang saya maksudkan di artikel ini)

Namun kebanyakan peristiwa-peristiwa azan di gereja-gereja seperti yang penulis paparkan di awal, adalah bukan untuk sholat melainkan untuk tujuan syiar, wujud protes dan penguatan hubungan persaudaraan antar sesama. Poin- poin tersebut dalam hukum Islam tidak dibahas dalam kategori ibadah melainkan kategori muamalah (interaksi sosial antar manusia).  

Ikatan Orang Basudara

Konon ceritanya, sejak zaman dahulu sudah tercipta hubungan yang saling menguntungkan antar negeri di tanah raja-raja. Masyarakat saling mengangkat sumpah dalam bahasa adat mereka yang mengikat mereka menjadi saudara.  Negeri-negeri di tanah raja-raja beraneka budaya, suku dan agama. Ketika negeri Salam (Islam) membangun mesjidnya mereka mengundang saudara Pela-nya  dari negeri Sarani (Kristen). Masyarakat negeri Sarani pun datang tanpa tangan kosong. Mereka membawa kayu dan papan untuk pembangunan Mesjid. Beberapa waktu kemudian negeri Sarani juga membangun gereja. Warga negeri Salam datang menyumbang keramik. Ini bukan barter, ini wujud ikrar sebagai ikatan orang basudara di tanah raja-raja.

Narasi-narasi sejarah seperti demikian mungkin harus kembali dituliskan untuk menghidupkan lagi kehidupan sosial antar orang-orang basudara di Maluku. Adat Pela Gandong adalah kearifan lokal Maluku yang menjadi basis tata laku kehidupan bermasyarakat. Acara Panas Pela yang telah berlangsung lama dan turun temurun adalah sebuah ritual pengambilan sumpah sakral persaudaraan antar negeri-negeri Pela. Sumpah untuk saling menjaga dan tidak bertengkar, memelihara lingkungannya dan lain sebagainya. Sumpah dalam bahasa adat itu terdengar begitu magis. Kegiatan serupa Sumpah Pela ini tergolong dalam ranah interaksi sosial ummat atau di Islam dikenal dengan muamalah.

Sumpah Pela itu sendiri biasanya dilakukan di rumah adat atau Baileo. Saya paham bahwa kontroversi yang terjadi baru-baru ini menitik-beratkan pada lokasi serta kemasan acara yang dalam bentuk ibadah bersama itu. Hal tersebut menjadi sangat kontroversial tidak lain karena isu tentang agama adalah sebuah topik sensitif di daerah bekas tragedi seperti Maluku. Padahal dulunya adat  "baku maso" ke masjid dan gereja adalah sesuatu yang lumrah. 

Tragedi konflik berdarah lah yang akhirnya menjadikan perbedaan agama sebagai pisau tajam dikotomi masyarakat adat Pela Gandong. Ditambah dengan kedatangan para pendatang Laskar Jihad, dikotomi itu semakin meruncing dengan digadang-gadangnya ekslusifisme dalam beragama yang tidak dibarengi dengan inklusifisme dalam hidup bermuamalah dengan umat agama yang berbeda. Terjadilah pengharaman masuk gereja, pengharaman menyentuh mereka yang non-muslim dan sebagainya (akan sangat banyak contohnya, silahkan dibuat daftar list sendiri). Menurut saya, justru  menggunakan tempat ibadah sebagai tempat sumpah sakral seperti Panas Pela, berarti telah mengangkat ritual adat tersebut ke level yang lebih tinggi. Karena ikrar sumpah apa lagi yang lebih tinggi dibandingkan sumpah di hadapan Tuhan?

Mungkin kita perlu mencontoh kehidupan muamalah kaum Muhajirin dan Anshor, yang tergambar dalam rangkaian Q.S. Al-Imran : 102-110 yang menjelaskan bahwa orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman serta selalu berpegang kepada 'tali' Allah akan menjadi bersaudara dan menjadi umat terbaik. Mereka disebut sebagai saudara seiman, meskipun memiliki latar belakang agama dan sosial yang berbeda.

Satu poin lagi yang perlu penulis kemukakan dalam hal muamalah orang basudara ini, para religius yang berkoar-koar tentang 'toleransi yang kebablasan' dikarenakan azan dan pembacaan rawi disisipkan dalam ibadah di gereja Amahusu dengan tagline ibadah bersama mungkin lupa bahwa, dalam kehidupan toleransi hingga saat ini, masyarakat Indonesia sudah sejak lama membudayakan ibadah bersama dalam bentuk doa bersama menurut keyakinan masing-masing pemeluk agama. 

Hampir di setiap upacara-upacara, dihadirkanlah lima pemuka agama untuk memimpin doa dengan khidmat. Masing-masing syahdu, ada yang menundukan kepala, ada yang menadahkan tangan, ada yang mengatupkan jari jemari kanan dan kiri, dan ada pula dan menyedekapkan telapak tangan. Dan hal tersebut sama sekali jauh dari praktik sinkretisme karena masing-masing mengisyaratkan doanya kepada kepercayaan masing-masing. Begitulah juga yang terjadi di Gereja Imanuel. 

Kita mungkin terlalu judgemental terhadap Gereja, atau terhadap tagline "ibadah bersama" sehingga buru-buru mencapnya sebagai sinkretisme. Padahal yang terlihat tetaplah hadirin yang takzim mendengarkan setiap lantunan azan dan pembacaan rawi, seperti layaknya hadirin non-Muslim yang takzim dan ikut menundukkan kepala ketika doa bersama dipimpin oleh seorang Muslim dalam acara-acara yang menghadirkan berbagai kelompok masyarakat.

Antiklimaks  

Dalam setahun ini saya telah merasakan atmosfir kemarahan kelompok Islam di negara ini. Mungkin karena ini juga tahun politik, yang membuat sedikit saja tersulut maka terbakarlah emosi kita. Seperti juga kejadian azan di gereja Imanuel Amahusu, banyak yang langsung marah, menghujat, menghakimi dan tak tanggung-tanggung ada yang langsung ingin memboikot para tokoh yang terlibat di dalamnya. Padahal Rasulullah junjungan kita, bukanlah pribadi yang pemarah. Ini membuat saya merenung, dari mana asal sikap pemarah kita ini? Darimana sikap suka tersinggung itu kita warisi? Mungkin memang benar, kita ini jumlahnya banyak, tapi hanya seperti buih di lautan. Atau kita memang terlalu monolitik, kurang berbaur, kurang bersentuhan dengan keragaman, padahal sengaja Allah ciptakan keragaman itu agar kita saling mengenal, saling memahami, lalu mengasihi. Ataukah iman kita kepadaNya yang terlalu rapuh, sehingga kita takut bersentuhan dengan yang lain, takut iman itu menyerpih, takut ia hilang. Lupakah kita bahwa, keimanan baru akan kuat dan kokoh ketika bersentuhan dengan apa yang menguji keimanan itu.

Bagaimanapun juga, tahun 2018 ini membuat saya belajar banyak hal, semakin membelalak mata saya, membuka lebar telinga saya untuk memahami realitas yang ada di sekeliling, bukan hanya dari permukaannya namun juga dari latar belakang apa yang mengilhami dan mempengaruhi realitas tersebut. Tahun depan masih akan penuh hingar bingar politik, namun semoga kita kurang-kurangkan amarah kita, dan kita perluas cakrawala berpikir kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun