Komunitas gereja yang tergabung dalam Victorian Council of Churches sengaja mengundang komunitas Muslim berbuka puasa untuk bisa lebih saling mengenal. Sebelum menyantap makan malam, tamu Muslim dipersilakan untuk melaksanakan shalat Maghrib di tempat yang telah disediakan, yakni di ruangan belakang gereja yang tak memiliki tanda salib. Imam kelahiran Turki, Sheikh Mahmud Kurcu yang hadir saat itu berterima kasih atas undangan dari komunitas gereja tersebut, dan berharap bahwa kegiatan serupa akan mencapai tujuan yang bukan hanya sekedar toleransi namun juga penerimaan. Â Mahmud menjelaskan ketika sejumlah insiden, seperti aksi serang atau teror yang menyudutkan umat Muslim, seringkali pihak gerejalah yang pertama kali menanyakan kabar ke masjid-masjid. Demikianlah wujud tekad saling membantu sama lain. Bahkan Mahmud berniat di Ramadahan tahun berikutnya akan mengundang para jemaat gereja tersebut untuk berbuka puasa di Masjid.
Membaca peristiwa-peristiwa di atas telah memberi saya gambaran bahwa  melakukan azan di tempat ibadah agama lain itu tidak seburuk yang saya persepsikan. Apalagi, peristiwa-peristiwa itu memiliki maksud agung seagung azan itu sendiri. Keagungan yang justru tidak  boleh kita kerdilkan dengan penghakiman dan sikap judgemental. Selain itu, fakta bahwa ada para pemuka agama yang mendukung bahkan menjadi bagian dari penyelenggaraannya azan-azan di gereja di atas cukup mengimplikasikan bahwa para ulama memiliki pandangan beragam mengenai hal tersebut. Terburu-buru menentangnya bahkan hingga mengecamnya justru membuktikan ketidakluasan dan ketidakluwesan ilmu kita.
Azan sebagai Syiar Agama
Sebagai ibadah, azan adalah panggilan untuk sholat. Hukumnya sunnah ketika sholat dilakukan sendiri dan menjadi fardhu (wajib) bila sholat dilakukan secara berjamaah. Dari kaidah hukumnya saja, azan secara implisit maupun eksplisit memiliki fungsi syiar yakni menyampaikan atau memperkenalkan Islam.Â
Kalimat-kalimat yang dikumandangkan dalam azan pun mengandung ucapan-ucapan yang baik dan ajakan untuk mengingat kepada Allah. Namun menurut saya, melihat azan semata-mata hanya sebagai panggilan sholat sepertinya terlalu mempersempit hakikatnya. Karena dalam praktik masyarakat selain sebagai panggilan sholat, azan juga diperdengarkan di telinga bayi yang baru lahir serta pada saat menguburkan orang yang meninggal.
Dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa azan di gereja yang pernah terjadi, bila kita lihat dari sudut pandang syiar, umat Islam sesungguhnya patut bersyukur dan berbangga hati. Peristiwa-peristiwa tersebut telah cukup menunjukkan penerimaan dan pengakuan dari berbagai kelompok keagamaan terhadap Islam. Beberapa orang akan mencerca tulisan ini dan mengatakan "Kami tidak butuh pengakuan dari manusia, kami hanya butuh ridho Allah". Tapi, sebelum anda mencerca artikel ini, mari sejenak merenung. Apakah risalah Nabi Muhammad hanya dikhususkan untuk orang-orang Islam saja? Para pembaca akan sontak menjawab tentu saja tidak.Â
Rasulullah adalah rahmat bagi sekalian alam. Seluruh ajarannya adalah untuk alam dan seisinya. Tidak salah bila saya berani mengatakan bahkan azan pun adalah diperuntukkan untuk seluruh umat manusia di muka bumi. Lantas mengapa ketika azan dikumandangkan di gereja, banyak yang menjadi kesal dan tidak terima? Apakah azan hanya mereka yang punya? Eksklusifitas yang digaungkan oleh para religius Islam terhadap simbol-simbol risalah Nabi, telah menjadikan Islam jauh dari jangkauan umat-umat lain, bahkan membuat Islam sebagai momok. Alih-alih menjadikan semua ajaran Nabi sebagai syiar, kita terjebak dalam klaim kebenaran itu sendiri dan dengan mudah mengkafirkan, menyesatkan dan menghakimi perbedaan
Menjawab Persoalan Teologis
Ada sebuah pertanyaan teologis yang lebih dulu harus dijawab dengan jujur oleh para pemuka agama sebelum menghakimi mereka yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa kumandang azan di gereja-gereja ini. Pertanyaan itu adalah : Bila seseorang melakukan sebuah ibadah agamanya sendiri di tempat ibadah agama lain, apakah otomatis akan melunturkan akidah keimanannya? Saya bukanlah seorang ahli agama, namun tidak perlu menjadi seorang yang ahli agama untuk menjawab pertanyaan tersebut. Cukuplah dengan mengatakan, keimanan itu hanya Tuhan sajalah yang tahu. Yang dilakukan manusia adalah menjalankan risalah Allah yang dibawa oleh setiap Nabi zamannya dengan sebaik-baiknya.
Dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad Saw, tidak ada larangan spesifik untuk mengumandangkan azan di tempat ibadah agama lain, yang ada justru adalah hadist mengenai dibolehkannya sholat di gereja dalam kondisi sudah masuk waktu sholat apabila tidak ditemukan tempat lain untuk sholat. Beberapa ahli fiqih menganggap bila sholat diperbolehkan maka azan sebagai ibadah yang mendahului sholat juga tentunya termasuk di dalamnya. (Silakan pembaca proaktif mencari pendapat para ulama fiqih mengenai apa yang saya maksudkan di artikel ini)
Namun kebanyakan peristiwa-peristiwa azan di gereja-gereja seperti yang penulis paparkan di awal, adalah bukan untuk sholat melainkan untuk tujuan syiar, wujud protes dan penguatan hubungan persaudaraan antar sesama. Poin- poin tersebut dalam hukum Islam tidak dibahas dalam kategori ibadah melainkan kategori muamalah (interaksi sosial antar manusia). Â